Amicus Curiae: Erwin Arnada Vs. Negara Republik Indonesia

Delik Kesusilaan dan Kemerdekaan Pers dalam Perkara Majalah Playboy di Indonesia

IMDLN, ICJR, dan ELSAM

Unduh Amicus Brief disini

Kasus Erwin Arnada yang saat ini sedang masuk dalam tahap pemeriksaan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung RI atas dakwaan melanggar Primair: Melanggar Pasal 282 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) ke – 1 KUHP; Subsidair: Melanggar Pasal 282 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) ke – 1 KUHP; Lebih Subsidair: Melanggar Pasal 282 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) ke – 1 KUHP. Kasus ini telah menarik perhatian dari masyarakat Indonesia, karena brand atau merek Majalah Playboy yang dikenal umum sebagai Majalah yang dianggap berorientasi pada mengumbar kesusilaan ternyata juga beredar beredar di Indonesia meski dalam versi yang berbeda.

Majalah Playboy yang diterbitkan oleh PT. Velvet Silver Media ini dikomandoi oleh Erwin Arnada, Terpidana, telah diputus bersalah oleh Mahkamah Agung dan sedang menjalani hukumannya di LP Cipinang dan saat ini sedang menunggu proses pemeriksaan di tingkat Peninjauan Kembali. Kasus ini menarik, karena adanya tarik menarik antara kesusilaan dengan prinsip – prinsip Hak Asasi Manusia, terutamanya kebebasan pers dimana keberlakuan standar masyarakat dalam tindak pidana kesusilaan menghadapi tantangan berat.

Pertanyaan mendasar dari standar masyarakat ini adalah, apakah Mahkamah Agung telah tepat menggunakan standar Agama, khususnya Islam sebagai tolok ukur dalam menilai apakah dalam kasus ini Erwin Arnada, selaku Pemimpin Redaksi Majalah Playboy, telah bersalah karena melanggar kesusilaan. Kasus jelas merupakan ujian bagi keseriusan Negara Republik Indonesia untuk menghormati kewajiban – kewajiban Internasionalnya dalam melindungi kemerdekaan berekspresi  pasca diratifikasinya Kovenan Internasional Hak – hak Sipil dan Politik melalui UU No 12 Tahun 2005.

Dalam konteks ini Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)  menyerahkan Amicus Curiae dalam kasus Erwin Arnada Vs. Negara Republik Indonesia kepada Mahkamah Agung RI yang memeriksa Perkara antara Erwin Arnada Vs. Negara Republik Indonesia

Sementara untuk Indonesia, amicus curiae belum banyak dikenal dan digunakan, baik oleh akademisi maupun praktisi. Khusus untuk kebebasan berekspresi sampai saat ini, baru 3 amicus curiae yang diajukan di Pengadilan Indonesia, amicus curiae yang diajukan kelompok pegiat kemerdekaan pers yang mengajukan amicus curiae kepada Mahkamah Agung terkait dengan peninjauan kembali kasus majalah Time versus Soeharto, amicus curiae dalam kasus “Upi Asmaradana” di Pengadilan Negeri Makasar,[1] dimana amicus curiae diajukan sebagai tambahan informasi untuk majelis hakim yang memeriksa perkara, dan amicus curiae dalam kasus “Prita Mulyasari” di Pengadilan Negeri Tangerang, dimana amicus curiae diajukan sebagai informasi pelengkap bagi Majelis Hakim yang memeriksa perkara Prita Mulyasari.[2]

 

Walaupun amicus curiae belum dikenal dalam sistem hukum Indonesia, namun dengan berpegangan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat,” dapat menjadi dasar hukum bagi pengajuan amicus curiae. Selain itu dalam Pasal 180 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana juga dinyatakan, “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.” Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila mekanisme ini dapat digunakan sebagai salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengklarifikasi prinsip-prinsip hukum dan konstitusi, terutama kasus-kasus yang melibatkan berbagai undang-undang atau pasal-pasal yang kontroversial.

Melalui Amicus Curiae ini, IMDLN, ICJR, dan ELSAM ingin berpartisipasi dalam proses peradilan pada kasus Erwin Arnada Vs. Negara Republik Indonesia, dalam rangka memberikan pandangan kepada Majelis Hakim tentang Tindak Pidana Kesusilaan dengan menggunakan penilaian standar masyarakat dan uji kebahayaan (harm test) dihubungkan dengan prinsip – prinsip kebebasan berekspresi dan kebebasan pers

Untuk itu,  IMDLN, ICJR, dan ELSAM memberikan rekomendasi kepada Majelis Hakim Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung RI yang memeriksa perkara antara Erwin Arnada Vs. Negara Republik Indonesia sebagai berikut :

Pertama, bahwa pelanggaran terhadap kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 13 huruf a UU No. 40 Tahun 1999 tentu harus merujuk ketentuan dalam Buku Kedua Bab XIV KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Buku Ketiga Bab VI KUHP tentang Pelanggaran Kesusilaan.

Majalah Playboy Indonesia, yang diedarkan oleh PT. Velvet Silver Media, dimana penanggung jawab redaksi yaitu Erwin Arnada selaku Pemimpin Redaksi, dapat dikategorikan berfungsi sebagai media hiburan, yang tunduk pada keberlakukan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sepanjang PT. Velvet Silver Media sebagai penerbit Majalah Playboy memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 2 jo Pasal 9 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dewan Pers melalui Surat Keputusan Nomor 07/P-DP/IV/2006 Tentang Penerbitan Majalah Playboy Indonesia, pada pokoknya telah menyatakan, bahwa Majalah Playboy Indonesia dapat dikategorikan sebagai produk pers. Berdasarkan Pernyataan Dewan Pers tersebut maka secara formal Majalah Playboy Indonesia telah memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 2 jo Pasal 9 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga penerbitan dan pertanggungjawaban dari isi Majalah Playboy, keseluruhannya tunduk pada ketentuan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Oleh karena Majalah Playboy tunduk pada ketentuan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka isi dari Majalah Playboy harus mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 4 jo Pasal 7 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ketentuan ini mengharuskan bahwa isi dari Majalah Playboy dibuat dengan ketaatan dan kepatuhan yang tinggi terhadap Kode Etik Jurnalistik.

Berdasarkan hal–hal tersebut penilaian atas isi dari penerbitan tersebut harus didasarkan kepada UU Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

untuk melakukan penilaian apakah pers melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 13 huruf a UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka harus melewati prosedur–prosedur tertentu, khususnya terkait dengan penggunaan instrumen Kode Etik Jurnalistik yang diatur secara khusus dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam melakukan penilaian terhadap suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh Pers tersebut, Mahkamah Agung RI telah memberikan pengakuan, setidaknya dalam beberapa putusannya, seperti Putusan MA No. 3173 K/Pdt/1993,  Putusan MA No 1608 K/PID/2005 dan Putusan MA Nomor 273 PK/PDT/2008. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah Erwin Arnada, Pemimpin Redaksi Majalah Playboy melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 13 huruf a UU No. 40 Tahun 1999 maka berlaku ketentuan Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik yang menyatakan  bahwa, “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”.

Berdasarkan hal–hal di atas, pemeriksaan pelanggaran secara etik tentang perbuatan yang dilakukan oleh Erwin Arnada, Pemimpin Redaksi Majalah Playboy menjadi keharusan, dan Pengadilan semestinya melihat pendapat dari Dewan Pers.

Kedua, bahwa tindak pidana kesusilaan dalam KUHP menunjukkan sikap yang agak restriktif dengan menciptakan suatu karya legislatif dalam lapangan yang tidak lebih dari yang diperlukan. Hal ini tercermin dengan tidak mudahnya suatu perbuatan akan dapat dikategorikan menjadi suatu perbuatan yang tercela, yang masuk dalam suatu delik yang dapat dipidanakan. KUHP dalam hal ini mengikuti Code Penal Perancis yang mengadakan pembatasan secukupnya terhadap delik-delik mengenai kesusilaan. Paralel dengan fenomena mengkriminalisasikan perbuatan-perbuatan dengan basis “hukum/penafsiran agama” juga terjadi dalam pembentukan dan perkembangan hukum pidana di Belanda. KUHP Belanda juga mengeliminasi anasir-anasir hukum kanonik yang hendak mengidentifikasikan semua perbuatan yang mengandung dosa dengan rumusan-rumusan suatu tindak pidana. Sehingga tidak semua hal yang tercela menurut norma-norma susila (agama) dapat dikualifikasi begitu saja sebagai suatu tindak pidana, tidak semua perbuatan yang “zedelijkstrafwaardig” adalah “juridis strafbaar”.

Garis pemikiran inilah yang nampaknya harus diteruskan dalam konkordansi hukum Belanda ke Hindia Belanda. Di Indonesia, terdapat berbagai macam norma yang mempengaruhi kehidupan dan pergaulan masyarakat, yang secara langsung atau tidak langsung, akan memberikan dampak bagi tata cara untuk bertingkah laku dan bertindak. Setidaknya pengaruh tersebut terdapat pada norma-norma agama, norma-norma moral, norma-norma adat, dan norma-norma yang dirumuskan sebagai hukum negara. Norma-norma selain hukum negara, memiliki standar yang berbeda satu sama lain dalam hal mengkualifikasikan sebuah perbuatan apakah menyalahi atau sesuai dengan norma-norma yang dianut, sehingga parameter yang dibangun dalam memandang sebuah perbuatan bisa jadi berbeda secara nilai maupun ukuran lahiriahnya.


[1] Penggiat Kemerdekaan Pers Ajukan amicus curiae Koran Tempo, Jakarta: Selasa, 12 Agustus 2008, dan Anggota Komisioner Komnas HAM jadi Saksi Upi : Yosep Prasetyo akan bersaksi sebagai Amicus curiae atau sahabat Pengadilan, VIVAnews, Selasa, 30 Juni 2009, 07:06 WIB

[2] http://megapolitan.kompas.com/read/2009/10/14/16474375/Kasus.Prita:.Lima.LSM.Ajukan.



Verified by MonsterInsights