Anggota Komisi III: Upaya Praperadilan Hal yang Wajar

ICJR menilai praperadilan yang diajukan Polri akan mengalami persoalan karena penetapan tersangka berada di luar objek praperadilan.

Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Budi Gunawan melalui Polri melakukan ‘serangan balik’ dengan mengajukan upaya hukum praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Langkah ini untuk mengetahui alat bukti yang dimiliki KPK dalam penetapan tersangka terhadap Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian (Kalemdikpol) tersebut.

Anggota Komisi III Al Muzzamil Yusuf mengatakan, upaya praperadilan merupakan hal wajar dalam rangka mendapatkan kepastian perihal sah tidaknya penetapan tersangka tersebut. Menurutnya, jalur hukum memungkinkan seorang tersangka menempuh upaya praperadilan di pengadilan terhadap lembaga yang berwenang memiliki otoritas penetapan tersangka.

“Nanti kan bisa kita lihat apakah pihak KPK ada sesuatu yang dilanggar atau tidak dalam penetapan  tersangka. Kita hormati saja jalur hukum itu, dan tidak ada yang istimewa,” ujar politisi PKS itu.

Wakil Ketua Komisi III Desmon Junaedi Mahesa menilai langkah hukum yang ditempuh jenderal polisi bintang tiga itu tepat. Dia menilai upaya praperadilan dilakukan dalam rangka mendapat kepastian hukum perihal benar tidaknya penetapan tersangka tersebut dengan alasan yuridis. Soalnya, ditengarai penetapan tersangka tersebut beraroma politis. KPk mesti membuktikan di persidangan dengan serangkaian dalil yuridis dan alat bukti yang cukup.

Namun, Desmon berpandangan penetapan tersangka terhadap Budi yang dilakukan lembaga antirasuah itu tidak tepat. Menurutnya, kebijakan penetapan tersangka yang dilakukan oleh pimpinan KPK yang tersisa berjumlah empat orang menjadi tidak sah. Ia pun mempersoalkan Pasal 21 UU KPK yang mengharuskan pimpinan KPK berjumalh lima orang dan bersifat kolektif kolegial. Soal Komisi III yang belum melakukan pemilihan satu pimpinan, Desmon berkelit.

“Itu wilayah lain, dan itu sesuai permintaan mereka (KPK, red),” ujar politisi Partai Gerindra itu.

Anggota Komisi III lainnya, Junimart Girsang, berpandangan KPK mesti bertindak cerdas. Sebab dengan begitu, masyarakat tak menilai penetapan tersangka tersebut salah penerapannya. Menurutnya, KPK mesti memberikan alasan yang jelas sesuai dengan yuridis dan alat bukti yang cukup. “Masyarakat hanya tahu ada seorang calon Kapolri yang korupsi dan tertangkap, lalu masyarakat tepuk tangan,” ujarnya.

Menurutnya, Budi Gunawan saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III, mengatakan tak pernah menjalani pemeriksaan di KPK. Ia menilai Budi mengetahui pasal yang disangkakan KPK. Pasalnyya, dalam proses lidik kasus rekening gendut di Bareskrim dinilai tak memiliki bukti cukup untuk ditingkatkan ke penyidikan. “Kemudian terhenti.

“Di sisi lain, KPK melakukan eslidik yang sama pada perkara yang sama. Faktanya, KPK menembukan bukti, bahkan lebih dari dua alat bukti. Seharusnya, KPK tida melupakan ada Memorandum of Understanding (MoU) antara, KPK, Kejaksaan Agung, dan Mabes Polri,” kata politisi PDIP itu.

Di luar objek praperadilan
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice System (ICJR), Supriyadi W Eddyono, mengatakan praperadilan yang diajukan Polri akan mengalami persoalan. Pasalnya, penetapan tersangka berada di luar objek praperadilan. Pertama, praperadilan secara yuridis tak memberikan ruang pengujian penetapan tersangka.

Kedua, praperadilan selama ini tidak dapat menguji sah tiaknya bukti permulaan yang menjadi dasar ditetapkannya seseorang menjadi tersangka. Ketiga, sistem praperadilan membebankan pembuktian pada pemohon, yakni Polri. “Padahal seluruh dokumen dan alasan penggunaan kewenangan berada di tangan termohon, yaitu KPK,” ujarnya.

Ia berpandangan dengan sistem praperadilan seperti itulah, Polri diprediksi bakal kesulitan, bahkan tidak mampu melakukan pembuktian bahwa telah terjadi kesalahan dalam proses penyidikan terhadap kasus Budi Gunawan. Persoalan lainnya, dalam praktik praperadilan di Indonesia, hakim umumnya berpandangan pengujian kewenangan adalah diskresi dari pejabat yang berwenang.

Malahan acapkali pengadilan menolak untuk melakukan pengujian kewenangan penyidik. “Dalam hal ini tentu saja nantinya kewenangan dari KPK, dengan kata lain pengujian materi dalam praperadilan hanya terbatas pada proses prosedur administrasi belaka,” ujarnya.

Ia pun berpendapat upaya praperadilan tersebut menjadi momentum yang tepat agar Polri dapat merasakan persoalan hukum khususnya praperadilan dari kaca mata Polri. Dengan begitu, Polri dapat mendukung reformasi praperadilan menjadi lebih efektif. “Karena selama ini mekanisme praperadilan gagal melakukan pengawasan horizontal atas upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum,” pungkasnya.

Sumber: hukumonline.com


Tags assigned to this article:
hukum acara pidanaicjrKPKKUHAPPolriPraperadilan

Related Articles

Studi Banding KUHAP dan KUHP: Antara Keinginan atau Kebutuhan

Dalam waktu dekat Komisi III DPR akan melaksanakan studi banding ke sejumlah negara Eropa. Komisi III DPR akan melakukan kunjungan ke

ICJR Minta Pasal Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan Dicabut

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak pemerintah untuk mencabut pasal pencemaran nama baik dan penghinaan. Menurut anggota ICJR Wahyudi

ICJR Selenggarakan Diskusi Tentang Nasib RPP SPPA

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), pada Kamis, 30 Juli 2015 menyelenggarakan diskusi yang dihadiri oleh awak media di Bakoel

Verified by MonsterInsights