Berkedok Penghinaan dan Pencemaran Nama baik, Polisi Gunakan UU ITE untuk Kriminalisasi Kebebasan Berekspresi

RUU Perubahan UU ITE (versi Pemerintah Presiden Jokowi) harus Menghapuskan Pidana Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik dan Memperkuat Posisi Izin Dari Ketua Pengadilan Negeri Sebagai Mekanisme Kontrol Dan Pengawasan Dari Kewenangan Upaya Paksa

Tim Advokasi Pembela Kebebasan Berekspresi dan Tolak Kriminalisasi (Tim Advokasi), prihatin dengan kasus yang menimpa Adlun Fiqri, seorang mahasiswa di Ternate, ia mengupload video dugaan suap yang dilakukan oleh oknum Kepolisian Resort Ternate (Polres Ternate) saat melakukan tilang kendaraan bermotor. Perbuatan yang seseungguhnya ditujukan untuk mengungkapkan dan mengkoreksi prilaku aparat penegak hukum demi kepentingan umum di respon berbeda oleh Polisi. Ia  malah mendapat penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka oleh Polres Ternate atas dasar tindak pidana Penghinaan berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Adlun Fiqri ditangkap pada 28 September 2015, dan pada 30 September 2015 dirinya sudah berstatus tersangka dan ditahan di Polres Ternate berdasarkan surat perintah penahanan No. Pol: Sp. Han/130/IX/2015/Sat Reskrim. Berdasarkan informasi yang diterima selama penangkapan dan penahanan, dirinya di siksa aparat, dipaksa untuk Push-up, tubuhnya ditendang dengan sepatu lars pada bagian rusuk, pemukulan dibagian lengan hingga memar dan juga pemukulan di kepala bagian belakang. Selain itu, catatan lain, video yang di upload Adlun Fiqri di Youtube sudah dihapus, diduga karena ada paksaan dari oknum yang berkebaratan atas tersebarnya video tersebut.

Meskipun saat ini kasus Adlun Fiqri dikabarkan telah di di SP3 atau dihentikan karena Polisi menarik laporan, namun efek rasa takut dan dampak personal yang telah diterima oleh Adlun Fiqri maupun orang disekitarnya patut menjadi perhatian serius dari semua pihak utamanya Pemerintah Presiden Joko Widodo.

Tim Advokasi mengutuk keras dan menilai bahwa kasus Adlun Fiqri adalah akumulasi dari masalah mendasar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang bersifat karet, multitafsir sehingga mengancam kebebasan berekpresi. Bahkan  revisi UU ITE 2015 oleh pemerintah ternyata justru menginginkan penggunaan yang lebih eksesif yakni , menghilangkan mekanisme ijin penahanan oleh pengadilan.

Terkait kasus Adlun Fiqri, Tim Advokasi menilai bahwa:

Pertama, Penggunaan pasal 27 ayat (3) UU ITE memiliki ancaman pidana 5 tahun penjara meberikan celah untuk  melakukan penahanan dan penangkapan.  Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak memenuhi asas pidana yang baik, rumusan karet dan tidak tegas, serta tidak sinkron dengan pengaturan penghinaan dalam KUHP dan pula tentunya dengan ancaman pidana diatas 5 tahun yang mengaktifkan kewenangan penangkapan dan penahanan oleh Polisi, pasal ini menjadi alat bungkam kebebasan berekspresi berkedok pencemaran nama baik yang sempurna.

Kedua, kuat dugaan bahwa penahanan terhadap Adlun Fiqri,  mengabaikan syarat penting penahanan, (tiadanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran  tersangka untuk melarikan diri, mengulangi perbuatan dan menghilangkan barang bukti).  Seharusnya  untuk kasus Adlun Fiqri  berdasarkan Pasal 43 ayat (6) UU ITE,  penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. Penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri menjadi pintu untuk menguji penting atau tidaknya suatu penahanan,Tim Advokasi khawatir  bahwa ada kemungkinan polisi tidak mengikuti prosedur sebagaimana dalam ketentuan Pasal 43 ayat (6) UU ITE.

Ketiga, Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE sudah dalam taraf menimbulkan iklim ketakutan dalam masyarakat karena berpotensi melahirkan kewenangan upaya paksa yang eksesif oleh penegak hukum. Disamping itu terjadi penyiksaan dan kekerasan serta intimidasi yang diterima oleh Adlun Fiqri selama masa penangkapan dan penahanan. Penggunaan ketentuan pidana UU ITE di tambah dengan perilaku aparat penegak hukum yang melanggar prosedur telah nyata-nyata menimbulkan ancaman serius bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat, utamanya dalam hal kritik dan pengungkapan kebenaran terhadap perilaku buruk aparatur negara.

Keempat, Kasus Adlun Fiqri telah menambah deretan praktik buruk penanganan kasus-kasus penghinaan yang dijerat dengan UU ITE oleh aparat penegak hukum. Lebih jauh, kedepan pembungkaman kebebasan berekspresi berkedok kasus-kasus penghinaan yang dijerat dengan UU ITE sepertinya tidak akan banyak  berubah atau mungkin akan semakin buruk jika dilihat dari Rancangan Perubahan UU ITE (RUU Perubahan UU ITE). Tim Advokasi menilai bahwa pemerintah Jokowi (lewat Menkominfo) secara sengaja mengabaikan  semua masalah yang telah timbul dari pengaturan lama UU ITE.

Tim advokasi menilai bahwa dalam RUU Perubahan UU ITE, versi Menkominfo, pemerintah Jokowi bersikeras tetap mengatur pidana penghinaan dan pencemaran nama baik, padahal disaat yang bersamaan, pemerintah dan DPR tengan membahas RUU KUHP yang bercita-cita melakukan kodifikasi seluruh ketentuan pidana di Indonesia.

Memasukkan penghinaan dan pencemaran nama baik ke RUU KUHP akan lebih baik karena pembahasannya akan lebih mendasar dan tentu saja untuk kepentingan harmonisasi, sinkronisasi dan kodifikasi hukum pidana di Indonesia, sehingga problem pengaturan buruk yang ada di UU ITE saat ini dapat teratasi.

Lebih parah,  pemerintah Jokowi (lewat Menkominfo) kemudian menganulir ketentuan izin Ketua Pengadilan Negeri dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan kasus ITE berdasarkan Pasal 43 ayat (6) UU ITE. Sebagai mekanisme kontrol dan pengawasan kewenangan upaya paksa dari aparat penegak hukum penting agar tidak digunakan secara eksesif.

Tim Advokasi mendesak agar :

Pertama  dilakukan pemulihan dan kompensasi kepada Adlun Fiqri, akibat dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, terlebih karena kasus ini diduga merupakan bentuk kesengajaan membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat dan pengungkapan kebenaran yang berkedok kasus penghinaan dan pencemaran nama baik.

Kedua, polisi segera mengusut tuntas kasus dugaan suap dan pemerasan yang melibatkan oknum Polres Ternate.

Ketiga, Polisi segera mengusut tuntas kasus penyiksaan dan kekerasan serta intimidasi yang diterima oleh Adlun Fiqri selama masa penangkapan dan penahanan dan sekaligus hal pemulihan dan ganti rugi. Lebih khusus mendesak Kapolri, Komnas HAM, Propam, Kompolnas, dan atau Institusi lembaga negara lainnya yang berkepentingan di bidang reformasi di tubuh kepolisian untuk merespon ketidakprofesionalan di tubuh kepolisian, dalam kasus ini di jajaran Polres Ternate.

Keempat, Meminta pemerintah Jokowi segara melakukan penghapuskan pidana pencemaran nama baik dan penghinaan dalam UU ITE. Mendesak untuk memperkuat posisi izin dari Ketua Pengadilan Negeri sebagai mekanisme kontrol dan pengawasan dari kewenangan upaya paksa dalam RUU Perubahan UU ITE dan R KUHAP ke depan.

LBH Pers, ICJR, Elsam, Kontras, LBH Jakarta, AMAN, PPMAN, Safenet


Tags assigned to this article:
defamasihukum pidanaKUHPRancangan KUHPuu ite

Related Articles

Kumham Tak Bisa Sendiri Hadapi Covid-19, Sistem Peradilan Pidana Harus Terpadu

Koalisi mencatat beberapa solusi mengenai masalah penahanan di tengah kondisi pandemi. Selain itu, masalah penahanan dalam perubahan KUHAP ke depan,

Evaluasi Kerangka Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Bentuk Eksploitasi Lain yang Berkaitan

Tahun 2023 menandakan 16 tahun pasca pengundangan UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jika kita

ICJR Pertanyakan Proses Hukum Zainal Abidin

PK Zainal Abidin terselip entah kemana, diputus 2 hari sebelum eksekusi, ICJR menduga MA sengaja memutus dengan cepat untuk memperlancar

Verified by MonsterInsights