DPR Belum Terima Naskah Akademik Revisi UU KUHP
Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin menegaskan, DPR RI masih menunggu naskah akademik revisi UU KUHP dari pemerintah, yang akan mulai dibahas pada masa sidang Maret 2015 mendatang.
DPR belum tahu apakah revisi UU KUHP itu akan dilakukan secara kodifikasi, modifikasi, bertahap atau tidak. Sebab, hanya melalui naskah akademik itulah sebuah revisi bisa mulai dilakukan dengan melakukan pengkajian terlebih dahulu.
“Jadi, DPR belum menerima naskah akademik dari pemerintah untuk revisi UU KUHP itu. Sebab, hanya melalui naskah akademik itulah, kita akan mulai mengkaji dan mempelajari untuk pembahasan lebih lanjut. Semoga saja pemerintah sesuai waktu yang ditetapkan, agar pembahasannya bisa segera dimulai,” tegas Wakil Ketua Umum DPP Golkar itu dalam diskusi forum legislasi ‘Revisi UU KUHP dan Urgensi Penegakan Hukum’ bersama pakar hukum pidana UI Akhyar Salmi, dan Anggara dari ICJR (Institute Criminal Justice Reform) di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (24/2/2015).
Menurut Akhyar Salmi, dalam menyusun UU itu perlu konsistensi termasuk apakah dilakukan secara bertahap, modifikasi, membongkar total atau kodifikasi? “KUHP kita ini masih banyak yang copy paste, foto kopian dari KUHP produk lama, yang sudah waktunya disesuaikan dengan perkembangan sekarang. Misalnya terkait pencucian uang, korupsi, terorisme dan sebagainya semua menjadi satu. Juga sanksi yang dijatuhkan ada denda dan penjara, ini melanggar azas-azas hukum yang tak boleh dijatuhkan kedua-duanya,” ujarnya.
Seperti halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu termasuk kekhususan atau lex spcialist, sehingga harus mempunyai penyidik sendiri dan bukannya dari kepolisian atau lembaga hukum yang lain.
“Hukum pidana itu harus obyektif materiil formil terkait siapa dan perbuatan apa yang bisa dipidana? Apalagi selama ini koruptor lebih memilih dipenjara daripada mengembalikan uang negara,” jelas Akhyar.
Akhyar Salmi menegaskan jika UU KPK itu harus menekankan pada hukum pokoknya, yaitu mengembalikan uang negara dan bukan hukuman penjaranya. “Kalau penjaranya, nanti mendapat remisi, bahkan dengan uang para koruptor itu bisa keluar bebas nonton golf, berlibur sampai ke luar negeri dan sebagainya. Jadi, kalau kita serius, menjadikan hukuman penjara itu diganti dengan uang,” tambahnya.
Dengan begitu, kalau nantinya koruptor tersebut tidak mampu membayar kerugian negara yang dikorupsi itu, maka kata Akhyar Salmi, dia harus ditanggung oleh anak keturunannya sampai lunas.
“Tapi, yang baru dari KUHP yang sudah lama dibahas oleh DPR RI itu hanya mengenai santet, kumpul-kebo, dan pornografi,” pungkas Akhyar.
Anggara menyatakan pesimis DPR akan mampu menyelesaikan 760 pasal KUHP yang akan dibahas. Bahkan selama 5 tahun pun tak akan selesai. Untuk itu, jangan berharap ada sesuatu yang baru dari KUHP ini, karena dalam merevisi UU itu tidak dimulai dengan paradigma hukum itu sendiri.
“Jadi, tak ada KUHP versi Indonesia, kecuali Prancis, dilanjutkan oleh Belanda dan kemudian ke Indonesia. Maka ide merombak total KUHP itu mustahil,” ungkapnya.
Sumber: Pikiran Rakyat
Artikel Terkait
- 02/04/2020 Rancangan KUHP Memperburuk Kondisi Pandemic COVID-19: Tunda Pembahasan
- 15/08/2019 Setuju RKUHP Buru-buru disahkan: Pemerintahan Presiden Joko Widodo Abai terhadap Penanggulangan HIV/AIDS Indonesia
- 01/07/2019 Ketentuan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat di RKUHP Ancam Hak Warga Negara
- 14/05/2019 ICJR: Penerapan Pasal Makar Harus Hati Hati
- 21/03/2019 ICJR: Sanksi Pidana dalam RUU Sisnas IPTEK Tidak Tepat
Related Articles
Problematika Lembaga Praperadilan dalam Praktek
JAKARTA-Lembaga Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP berwenang melakukan fungsi kontrol terhadap tindakan upaya paksa. Akan tetapi dalam
Jatah Makan Napi Hanya Rp 8.000/Hari
POS-KUPANG.COM, KUPANG — Jatah makan para narapidana dan tahanan di Lembaga Permasyarakatan (LP) Penfui Kupang hanya dua kali sehari dengan
ICJR Minta Pasal Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan Dicabut
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak pemerintah untuk mencabut pasal pencemaran nama baik dan penghinaan. Menurut anggota ICJR Wahyudi