HPP dan Pengawasan Penahanan dalam Rancangan KUHAP

Dalam konteks penghargaan terhadap hak-hak dasar warga negara, praperadilan merupakan salah satu materi terpenting dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia. Sebagai mekanisme komplain yang bertujuan untuk mengawasi dan mengontrol aparat penegak hukum dalam menerapkan upaya paksa, praperadilan menjadi salah satu pembeda antara KUHAP dengan HIR. Masuknya materi praperadilan dalam KUHAP juga menjadi salah satu alasan munculnya “eforia” di masyarakat dalam menyambut pengesahan KUHAP. Dari sudut tertentu, hal tersebut bahkan dapat dilihat seolah menjadi parameter keberhasilan pegiat hak asasi manusia dalam menjalankan misi pengecamannya terhadap tindakan sewenang-wenang negara yang berlangsung sebelumnya, termasuk dalam kerangka penegakan hukum. Namun dalam perjalanannya, masyarakat akhirnya menyadari juga betapa tumpulnya praperadilan dalam menjalankan misinya melindungi hak-hak dasar warga negara dan harapan terhadap praperadilanpun kian hari kian pudar.

Kesadaran akan lemahnya perlindungan hak asasi manusia oleh KUHAP secara umum, dan konsep praperadilan secara khusus, telah menimbulkan gugatan-gugatan untuk merevisi KUHAP yang bahkan sudah mulai disuarakan beberapa saat setelah KUHAP disahkan. Kelemahan-kelemahan konsep praperadilan terungkap dalam banyak diskusi akademis dan secara langsung dirasakan pula oleh praktisi dan para pemohon praperadilan. Banyak hal yang mengganjal hingga menyebabkan praperadilan sebagai mekanisme komplain menjadi tidak fair dan sangat tidak efektif dalam menguji sah-tidaknya upaya paksa (khususnya terkait penangkapan dan penahanan) yang dilakukan aparat penegak hukum.

Kehadiran lembaga praperadilan sejatinya muncul dari semangat untuk memasukan konsep habeas corpus di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia.  Namun pada akhirnya konsep habeas corpus diadopsi dalam KUHAP Indonesia dalam bentuk mekanisme hukum praperadilan, yang memiliki kewenangan tidak seluas dan seketat konsep aslinya—habeas corpus.

Besarnya kewenangan penahanan yang mutlak berada ditangan aparat penegak hukum mengakibatkan pengawasan terhadap upaya paksa penahanan dalam wujud praperadilan tidak berdaya. Dalam pemeriksaan perkara praperadilan, pengadilan kerap tidak memeriksa syarat sesuai dengan KUHAP dalam melakukan penangkapan, penahanan, atau upaya paksa lainnya, termasuk unsur kekhawatiran penyidik, yang berujung pada penolakan dari hakim untuk memeriksa unsur kekhawatiran tersebut. Akibatnya Hakim sekadar memeriksa prosedur administratif, seperti kelengkapan surat. Model seperti ini berimplikasi pada munculnya anggapan bahwa praperadilan adalah mekanisme yang tidak penting lagi.

Sebagaimana berbagai studi yang dilakukan berbagai pihak, studi ICJR juga menemukan bahwa problem mendasar yang menyebabkan terjadinya kondisi semacam ini berada dalam tataran konseptual sampai dengan praktik sidang praperadilan. Singkatnya pengaturan KUHAP saat ini mengenai hukum acara dan proses pemeriksaan praperadilan tidak memberikan jaminan sama sekali terhadap kepastian hukum dan akses keadilan.

Salah satu hal yang dapat menunjukkan tidak efektifnya praperadilan sebagai wadah bagi tersangka dalam memperjuangkan hak asasinya adalah adanya kondisi yang menyebabkan berlarut-larutnya proses pemeriksaan praperadilan ini yang secara praktis berbanding lurus dengan keberadaan ketentuan gugurnya praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d. Menurut pasal ini, permohonan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah diperiksa di Pengadilan. Padahal, publik sudah cukup memahami resistensi penyidik dan penuntut terhadap praperadilan ini sehingga umum terjadi penyidik atau penuntut akan mempercepat proses pemeriksaan agar perkara pokoknya segera dilimpahkan ke pengadilan, dan praperadilan menjadi gugur. Dengan demikian, cukup beralasan jika dikatakan bahwa dalam kondisi seperti ini sistem seakan tidak lagi memperdulikan hak tersangka untuk (setidaknya) mengetahui apakah penangkapan dan penahanan terhadapnya sah atau tidak.

Beberapa problem praperadilan lainnya adalah terkait dengan beban pembuktian dalam praperadilan. KUHAP mensyaratkan bahwa unsur keadaan memaksa (kekhawatiran) adalah domain dari pejabat (penyidik/penuntut) untuk menggunakan upaya paksa. Oleh karenanya, akan menjadi lebih fair jika pihak yang dibebani untuk membuktikan unsur keadaan yang mengkhawatirkan itu dalam sidang praperadilan adalah pejabat yang bersangkutan. Namun dengan menggunakan asas-asas hukum acara perdata -siapa yang mendalilkan maka ia harus membuktikan- maka beban pembuktian harus pula diletakkan di pihak Pemohon.

Hal ini telah membawa akibat serius karena selain keberadaan barang bukti yang praktis ada di tangan pejabat yang bersangkutan, pada dasarnya Pemohon juga akan sangat kesulitan membuktikan adanya keadaan kekhawatiran tersebut yang notabenenya berada dalam ranah subyektif pejabat yang melakukan upaya paksa.

Pada dasarnya masih banyak problem yang ditemukan dalam konsep praperadilan sebagai mekanisme komplain terhadap tindakan upaya paksa dari aparatur negara khususnya dalam konteks penangkapan dan penahanan pra persidangan, reformasi hukum acara pun disuarakan. Pada saat ini, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dihadapkan dalam pembahasan Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana (R KUHAP) setelah tertunda-tunda hampir belasan tahun. Reformasi penahanan dan praperadilan penahanan pun masuk dalam agenda yang dianggap penting.

Beberapa konsep pengawasan upaya paksa khususnya penahanan pun dicanangkan, dari mulai konsep Hakim Komisaris pada  Rancangan KUHAP versi 2007 sampai dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) pada Rancangan KUHAP versi 2012. Harapan memang muncul, namun penting melihat bagaimana konsep terakhir dapat berjalan lebih efektif dari pendahulunya. Sehingga ICJR merasa penting untuk melihat prospek HPP dalam Rancangan KUHAP dalam mengawasi Upaya Paksa Penahanan di Indonesia. Apakah konsep Rancangan KUHAP dapat menciptakan sistem peradilan pidana yang mampu menghadirkan keadilan dengan peradilan yang adil dan tidak memihak sesuai prinsip-prinsip fair trial atau hanya berganti baju dari kosep lama Praperadilan yang telah terbukti gagal.

Unduh Policy Paper disini



Related Articles

Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) Tahun 2020 hingga 2024 dalam lampiran Peraturan Presiden No. 18 tahun 2020

Modul: Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Hak-Hak Pekerja

Kelompok pekerja/buruh harus beradaptasi dengan situasi pandemi Covid-19. Pekerjaanpekerjaan yang bisa dilakukan secara daring akan dilakukan dari rumah tanpa harus

Catatan atas Dikualifikasikannya Barang Bukti sebagai Alat Bukti

Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia selama ini selain mengenal istilah alat bukti juga dikenal istilah barang bukti. Secara definisi

Verified by MonsterInsights