Kasus Rutan Sialang Bungkuk: Krisis Kepadatan “overcrowding” Mengancam Rutan dan Lapas Indonesia

Berdasarkan temuan ICJR, dalam RKUHP hanya ada hanya 59 tindak pidana yang  secara otomatis dapat dijatuhi pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana penjara. Sedangkan 1.154 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara, lebih lanjut , ada 249 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana minimum dari 1 tahun sampai 4 tahun penjara.

Jumat 5 Mei 2017, dilaporkan hampir 200 orang penghuni Rumah Tahanan (Rutan) Sialang Bungkuk Pekanbaru melarikan diri.Dikabarkan sebelum kabur, para penghuni Rutan sempat rusuh dan menjebol pintu keluar Rutan. Propinsi Riau memang menjadi salah satu sorotan dalam kelebihan kapasitas, total dengan 14 Rutan dan Lapas, kelebihan penghuni yang terjadi secara total mencapai 200%. Propinsi Riau juga memiliki salah satu rutan dengan kelebihan beban terburuk, yaitu Rutan Bagan Siapi-api yang kelebihan bebannya mencapai 700% dari kapasitas hunian. Untuk Rutan Pekanbaru sendiri, dari data Dirjen PAS, kelebihan beban mencapai 233% dari total hunian.

Institute Criminal Justice Reform (ICJR) prihatin atas terjadi kasus berulang yang selalu dialami oleh Lapas-lapas di Indonesia tersebut, meskipun kejadian kali ini adalah kasus kaburnya penghuni Rutan atau Lapas terbesar di Indonesia.

ICJR melihat bahwa masalah di lapas-lapas maupun rutan-rutan Indonesia, sudah dalam situasi yang mengkhawatirkan. Masalah utama terkait kelebihan penghuni yang dialami sebagian besar Lapas Indonesia sudah dalam kondisi akut. Ini akan menimbulkan krisis akibat kepadatan atau dikenal sebagai overcrowding.

Sampai dengan saat ini tidak ada solusi pemerintah yang jitu dan komprehensif atas hal tersebut karena selama ini pembenahan atas kondisi ini tambal sulam.

ICJR melihat walaupun beberapa kebijakan kriminal telah berupaya mengurangi jumlah asupan narapidana ke penjara, seperti dalam kebijakan Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung(PERMA) Nomor 2/2012 yang menaikkan batas minimal tindak pidana ringan dari Rp 250,- menjadi Rp 2.500.000 – dimana tujuan utama dari PERMA ini adalah untuk mengurangi jumlah tahanan yang dirasakan berlebih – maupun kebijakan rehabilitasi dalam korban pengguna narkotika. Namun kebijakan ini belum memberikan kontribusi bagi masalah yang terjadi di Lapas.

Masalah terbesar tetap berada pada tujuan pemidanaan di Indonesia yang masih kental dengan penjeraan dengan menggunakan pidana penjara. Misalnya melihat Rancangan KUHP yang sering disebut-sebut oleh Pemerintah, meskipun ada ketentuan kerja sosial  sebagai hukuman alternatif lain di luar pidana penjara, dalam hal Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan.

Yang menjadi soal adalah karena ancaman pidana penjara dalam RKUHP tergolong tinggi dan ketentuan ini sangat bergantung pada keputusan hakim untuk menjatuhkan pidana dibawah 6 bulan, yang juga bergantung pada tuntutan dari Jaksa. Secara tehknis dan praktik, hakim akan susah menjatuhkan pidana rendah (di bawah 6 bulan), apabila Jaksa menuntut pidana penjara tinggi, yang juga bergantung pada ancaman pidana dalam Undang-undang.

Berdasarkan temuan ICJR, hanya adahanya 59 tindak pidana yang dapat secara otomatis dapat dijatuhi pidana kerja sosial. Sedangkan 1.154 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara, lebih lanjut, ada 249 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana minimum dari 1 tahun sampai 4 tahun penjara. Temuan ini belum termasuk ancaman pidana dalam Undang-Undang sektoral lainnya seperti UU ITE, UU Narkotika dan lain sebagainya.

Atas situasi ini ICJR mendorong pemerintah melakukan evaluasi yang serius atas kebijakan pemidanaan di Indonesia khususnya mengantisipasi kelebihan penghuni untuk meminimalisir overcrowding dalam Lapas.  Tindakan untuk situasi yang cepat juga di butuhkan untuk memprioritas penanganan pada sejumlah lapas-lapas besar  yang mengalami kelebihan penghuni. Terhadap Lapas-lapas tersebut kebijakan transisi untuk mengurangi dampak kerusuhan dan problem keamanan seharusnya bisa dicegah dan diantisipasi. Rekomendasi yang sudah ratusan kali didorong oleh ICJR dan masyarakat sipil pada isu peradilan pidana dan reformasi tempat-tempat penahanan.



Related Articles

Koalisi 18+ Mendorong Pemerintah Indonesia Untuk  Menjadi Negara Pendukung Resolusi PBB Mengenai Perkawinan Anak Dalam Situasi Krisis Kemanusiaan  

Hari ini tanggal 5 Juli 2017, Koalisi 18+ secara resmi mengirimkan surat himbauan kepada pemerintah Indonesia untuk mendukung Resolusi Sidang

Pasal Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dalam RKUHP Mengancam Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Masyarakat

Dalam RKUHP, Pengaturan pelarangan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan diatur dalam Buku II Bab XVI Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Ketiga Mempertunjukkan

ICJR: Calon Tereksekusi Mati Telah Alami Trauma akibat Penundaan Eksekusi yang Berkepanjangan (death row phenomenon)

Eksekusi hukuman mati seharusnya tidak diperkenankan terhadap seorang narapidana yang berada dalam kondisi penundaan yang cukup lama sesuai dengan norma

Verified by MonsterInsights