Ketentuan Penahanan dalam RKUHAP alami Kemunduran: Penahanan Harus Dijadikan Alternatif Terakhir

Harapan perbaikan ketentuan penahanan melalui Rancangan KUHAP sangat mungkin tidak akan terwujud jika rumusan pasal-pasal tentang penahanan dalam Rancangan KUHAP tetap dipertahankan. Selain mempertegas kelemahan yang ada dalam rumusan KUHAP yang berlaku saat ini, problem baru lainnya juga berpotensi akan menambahi problem yang selama ini sudah eksis. Hal ini terungkap dalam diskusi dengan format Media Briefing yang diadakan ICJR di Tjikini Cafe, Senin (8/4). Tema yang diangkat dalam diskusi ini adalah “Melihat Problem Penahanan dalam Rancangan KUHAP”.

Ifdhal Kasim, salah seorang narasumber acara ini, menilai bahwa ketentuan penahanan pra persidangan sebagaimana diatur dalam Rancangan KUHAP mengandung berbagai kelemahan dan kerentanan terhadap abuse terhadap orang yang ditahan.

“Sebenarnya apa kepentingan seseorang ditahan? Apakah karena aparat kita cukup lambat dalam bekerja sehingga seseorang mesti ditahan selama 140 hari?” tanya Ifdhal mengeritik ketentuan jangka waktu penahanan prapersidangan di dalam Rancangan KUHAP.

Sebagaimana diketahui, Pasal 60 Rancangan KUHAP yang saat ini telah berada di tangan DPR, menentukan masa penahanan pra persidangan selama 140 hari, lebih lama 30 hari dibanding KUHAP yang berlaku saat ini, yakni 110 hari. Sementara jika masa penahanan itu dijumlahkan seluruhnya sejak di tingkat penyidikan hingga kasasi, seseorang dapat ditahan selama 390 hari atau lebih sedikit 10 hari dibanding ketentuan KUHAP.

“Ketentuan tentang penahanan di dalam Rancangan KUHAP kita mengalami kemunduran. (Pengaturan) yang ada ini justru tidak menunjukkan tekad kuat kita terhadap penyesuaian KUHAP yang akan datang dengan konvensi-konvensi internasional yang telah kita ratifikasi”, paparnya.

Ifdhal mengingatkan bahwa lamanya jangka waktu penahanan yang dapat dikenakan kepada seseorang, selain berpotensi terjadinya abuse of power dari aparat, juga sangat rentan terhadap dampak negatif lainnnya seperti komoditasi penahanan. Oleh karena itu, Ifdhal mengharapkan agar ketentuan penahanan dalam KUHAP ini dikoreksi dan disesuaikan dengan kebutuhan dan ketentuan-ketentuan internasional yang telah diratifikasi.

Sebelumnya, berbagai kelemahan ketentuan tentang penahanan dalam Rancangan KUHAP disampaikan Anggara, Peneliti dan Pengurus ICJR. Bagi Anggara, ketentuan Rancangan KUHAP terkait penahanan mengalami kemunduran besar karena menghilangkan jenis penahanan rumah dan penahanan kota yang telah diakui keberadaannya oleh KUHAP.

“Harus diketahui bahwa data resmi Ditjen PAS selalu mencatat adanya over kapasitas yang dialami Rutan dan Lapas setiap tahunnya. Data pada tahun 2012, kapasitas Rutan dan Lapas sebanyak 102.466 orang, tapi ternyata penghuni dan Rutan dan Lapas itu berjumlah 152.071 orang”, katanya.

Selain over kapasitas, lanjut Anggara, dualisme pengelolaan tempat penahanan juga memperbesar kemungkinan terjadinya abuse of power. Praktik dualisme ini, bagi Anggara, sebenarnya tidak hanya bertentangan dengan KUHAP, tapi juga bertentangan dengan United Nations Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures.

“Prinsip internasional mengharuskan bahwa pihak yang berwenang menahan tidak boleh pada saat yang sama menjadi pihak tempat dimana penahanan dilakukan terhadap seseorang. Dualisme pengelolaan penahanan akan menimbulkan potensi yang besar dalam penyalahgunaan wewenang”, Anggara menjelaskan.

Tentang Pengujian Penahanan

Para narasumber acara Media Briefing menegaskan bahwa penahanan harus dijadikan sebagai alternatif terakhir dalam penegakan hukum. Seorang tersangka tidak harus ditahan kecuali setelah ada pertimbangan-pertimbangan yang logis dari aparat penegak hukum selain dapat pula dipertanggungjawabkan. Sayangnya, prinsip ini juga belum tercermin dalam Rancangan KUHAP. Problem yang sering terjadi bahwa pengujian penahanan melalui mekanisme praperadilan justru memiliki potensi besar terulang kembali dalam Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Hakim praperadilan selalu menyandarkan pengujiannya terhadap dokumen-dokumen resmi, tanpa menguji lebih lanjut alasan kekuatiran yang menjadi dasar keperluan penahanan itu. Hakim bahkan cenderung mengabaikan hal tersebut jika ancaman terhadap tindak pidana yang dilakukan melebihi lima tahun, hal yang sama dengan paradigma aparat penegak hukum lainnya di tingkat penyidikan dan penuntutan.

“Bagi kami, ini yang berbahaya karena hakim lebih banyak melihat kepada hukuman yang dikenakan kepada seseorang. Padahal, sangat sering terjadi di praktiknya seseorang ditahan terlebih dahulu, baru ancaman pasal yang dikenakan kepadanya ditentukan”, kata Anggara.

Selain itu, Anggara juga mempersoalkan rumusan Rancangan KUHAP terkait dengan unsur kekuatiran aparat penegak hukum dalam menahan seseorang. Jika di dalam KUHAP terdapat kalimat adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran, namun Pasal 59 ayat 5 Rancangan KUHAP hanya ditentukan dengan frasa ada kekuatiran.

“Pertanyaannya, bisakah kekuatiran itu diuji? Padahal pengujian terhadap kekuatiran itu harus bersandar pada indikator yang berpotensi disebabkan oleh keadaan atau kondisi seseorang yang ditangkap. Justru, tidak adanya tempat tinggal seseorang dijadikan sebagai salah satu dasar utama dalam melakukan penahanan, hal yang seharusnya dijadikan sebagai bagian dari indikator kekuatiran itu”, papar Anggara.

Hal yang sama juga diutarakan narasumber lainnya, Totok Yuliyanto, yang mempertanyakan ketentuan Rancangan KUHAP yang tidak mengatur bahwa penangkapan dan penahanan tidak didahului dengan izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. “Ketentuan ini sangat mengecewakan. Terdapat lima jenis upaya paksa yang ditentukan dalam RUU. Untuk melaksanakan tiga upaya paksa lainnya, petugas harus terlebih dahulu meminta izin kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan, sementara penangkapan dan penahanan tidak?”. Padahal, lanjutnya, penangkapan dan penahanan juga menyimpan potensi yang besar terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan petugas.

Dengan berbagai kelemahan ketentuan ini, para narasumber meminta agar ketentuan Rancangan KUHAP benar-benar direvisi, khususnya terkait dengan penahanan. Rancangan KUHAP harus berbasis pada penyelesaian masalah yang selama ini terjadi sehingga tidak lebih buruk dari KUHAP sebelumnya.



Verified by MonsterInsights