Komisi Hukum Respon Positif Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban

Penguatan LPSK perlu dilakukan agar lembaga ini bisa maksimal dalam melaksanakan tugas dan wewenang.

hukumonline.com – Jakarta – Permintaan Koalisi Perlindungan Saksi atas Revisi Undang-Undang (RUU) No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mendapat respon positif dari sejumlah anggota Komisi III. Perlunya penguatan terhadap Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban serta penguatan pemberian perlindungan saksi dan korban menjadi hal utama dalam rangka membongkar sebuah kasus.

Anggota Komisi III Sarifuddin Sudding mengatakan, ketika draf RUU Perlindungan Saksi dan Korban masuk ke DPR mesti menjadi prioritas. Pasalnya, UU No.13 Tahun 2006 dinilai memiliki banyak kelemahan. Dampaknya, LPSK dalam menjalankan tugas dan fungsinya tidak sesuai yang diharapkan masyarakat.

Menurutnya, banyak persoalan yang muncul ketika pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban.  “Saya kira memang UU LPSK ini harus mendapatkan keseriusan dan perhatian. Banyak persoalan-persoalan yang muncul saat ini,” ujarnya kepada hukumonline di Gedung DPR, Selasa (13/5).

SUdding memcontohkan, ketika seseorang dalam posisi whistleblower maupun justice colabolator tidak mendapat perlindungan maksimal. Padahal, saksi yang menjadi whistleblower maupun justice colabolator harus mendapat perlindungan maksimal dalam rangka membongkar kasus yang mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan.

Politisi Partai Hanura itu mengakui dari aspek perundangan, memang tidak memberikan perlindungan terhadap orang yang ingin membongkar kasus besar. Itu sebabnya, dalam rangka memberikan perlindungan maksimal perlu segera dilakukan pembahasan revisi.

Kendati demikian, masih banyaknya sejumlah perundangan yang dilakukan revisi oleh Komisi III menjadi beban pekerjaan tambahan. Yang pasti, kata Sudding, perlu dilakukan sinkronisasi dengan RKUHAP maupun RKUHP lantaran sebagai induk dari berbagai perundangan pidana.

“Ketika (RUU, red) LPSK ya semua UU akan menjadi perhatian kita untuk melakukan pembahasan. Ketika dilakukan satu revisi kita melakukan aktualisasi dan sinkronisasi dan tidak hanya 14 pasal sebagaimana permintaan mereka, tapi kita akan melihat  secara menyeluruh,” ujarnya.

Anggota Komisi III lainnya Taslim mengamini pandangan Sudding. Menurut Taslim, RUU Perlindungan Saksi dan Korban harus menjadi prioritas. Pasalnya, UU No.13 Tahun 2006 dinilai sudah terlampau lama dan memiliki kelemahan. Oleh karena itu, Taslim menilai LPSK sebagai lembaga yang kurang memiliki taring.

Menurut Taslim, penguatan LPSK sebagai lembaga yang memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban perlu dilakukan agar lembaga ini bisa maksimal dalam melaksanakan tugas dan wewenang. Ia menilai saksi yang dimintai keterangan dalam persidangan merasa kurang yakin dengan LPSK.

“Bagaimana orang mau bongkar kasus kalau tidak maksimal perlindungannya. Makanya penguatan lembaga menjadi penting,” katanya.

Lebih jauh, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu berharap RUU Perlindungan Saksi dan Korban menjadi agenda utama. Namun begitu, perlu dilakukan rapat internal komisi untuk membicarakan pembahasan RUU tersebut. Secara pribadi, Taslim berharap pembahasan RUU tersebut menjadi prioritas di komisi tempatnya bernaung.
“Saya kira kita optimis, karena hanya 14 pasal. Lagian ini kan berbeda kalau menyusun UU baru. Jadi hanya pasal yang ingin direvisi saja. Waktu masa satu kali sidang saja saya kira selesai,” ujarnya.

Anggota Komisi III lainnya Harry Witjaksono menambahkan, penguatan secara kelembagaan terhadap LPSK penting dilakukan. Menurutnya, penguatan perlindungan saksi dan korban adalah suatu keniscayaan. Ia berpandangan perlindungan saksi dan korban maksimal harus memiliki rumah yang disebut save house.

“Memperkuat perlindungan saksi dan korban yang benar-benar memberikan perlindungan, bukan basa-basi,” ujar politisi Partai Demokrat itu.

Sebelumnya, Anggota Koalisi Perlindungan Saksi Supriyadi Widodo  Eddyono mengatakan draf Revisi UU No.13 Tahun 2006 telah siap dibahas. Pasalnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menandatangani  Surat Persetujuan Presiden (Surpres) atas persetujuan Rancangan Undang-Undang Perubahan UU No.13 Tahun 2006 pada 12 Februari lalu. Menurutnya, respon yang diberikan SBY menunjukan konsistensi dan komitmen pemerintah dalam memperkuat perlindungan saksi dan korban di Indonesia.

Menurut Supriyadi, sedari awal koalisi telah mengidentifikasi beberapa kelemahan mendasar dalam pemberian perlindungan saksi dan korban. Selain itu beleid yang mengatur tentang LPSK juga banyak ditemui kelemahan. Bahkan, sejak awal mulai 2005 dan 2006, koalisi telah melihat berbagai kelemahan dari sejumlah pasal dalam UU No.13 Tahun 2006.

“Yang berpotensi bermasalah dalam praktik,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Minggu (11/5).

Supriyadi yang juga menjabat Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menuturkan koalisi menyadari  momentum Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden akan menghimpit masa kerja anggota dewan dalam membahas Revisi UU No.13 Tahun 2006. Supriyadi berpandangan menjadi persoalan ketika sempitnya waktu dengan beban pembahasan sejumlah RUU. Kendati demikian, koalisi tetap berharap DPR dengan niat baik mampu menyelesaikan pembahasan revisi UU No.13 Tahun 2006.

sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5371e9427777b/komisi-hukum-respon-positif-revisi-uu-perlindungan-saksi-dan-korban



Verified by MonsterInsights