KUHP: Bukan (Warisan) Kolonial

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini digunakan di Indonesia dituding warisan kolonial yang tak lagi sejalan dengan perkembangan jaman. Untuk itu, sejak 1960-an, pemerintah berketetapan untuk melakukan perubahan pada KUHP. Dimulai pada 11 Maret 1963, melalui sebuah Seminar Hukum Nasional yang digagas oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, telah ditetapkan misi dari pembaharuan hukum pidana nasional yaitu membimbing masyarakat Indonesia ke arah masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan atas Pancasila dan Manipol/USDEK, sehingga penyelesaian revolusi Indonesia dapat terjamin. Sejak 1963 tersebut, RKUHP telah berubah lebih dari 14 kali sampai dengan diserahkannya RKUHP dari pemerintah kepada DPR pada Maret 2013 yang lalu.

Dalam penjelasan RKUHP yang diserahkan oleh pemerintah kepada DPR dinyatakan bahwa penyusunan RKUHP tidak lagi membawa misi tunggal yaitu misi dekolonisasi hukum pidana akan tetapi juga mengandung tiga misi penting lainnya yaitu demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, dan adaptasi serta harmonisasi terhadap berbagai perkembangan baru di bidang hukum pidana. Keempat misi inilah yang diklaim oleh pemerintah akan membawa nuansa baru dalam hukum pidana yang bertujuan untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu  dalam Negara Republik Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan keempat misi penting tersebut kemudian KUHP dituding tidak lagi mebawa semangat jaman dan KUHP juga dituding telah dipengaruhi secara kuat oleh aliran klasik. Aliran klasik berarti melihat kejahatan semata – mata berdasarkan perbuatan dan tidak memperhatikan situasi dan kondisi yang melingkupi pelaku. Salah satu ciri khasnya adalah tidak memberikan ruang gerak yang bebas bagi hakim untuk menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa. Aliran klasik dianggap tidak adil karena sebuah peristiwa pidana tidak boleh melihat pada perbuatannya namun juga harus melihat juga faktor diri yang melingkupi diri pelaku. Kritik dari ajaran klasik ini kemudian dinamakan ajaran neo klasik  yang mengembangkan doktrin “let the punishment fits the criminal”

Namun benarkah tudingan – tudingan tersebut? Kita perlu melihatnya lebih jauh dengan membuka kembali KUHP (yang katanya) warisan kolonial tersebut. Satu hal yang pasti, bahwa KUHP yang berlaku saat ini adalah warisan dari Pemerintah Belanda. Namun klaim dekolonisasi dan demokratisasi hukum pidana penting untuk dicermati dengan baik, karena kalimat atau klaim warisan kolonial memiliki dua sifat yaitu peraturan tersebut dibentuk oleh pemerintah jajahan dan peraturan tersebut memiliki sifat menjajah yang kejam.

KUHP yang diberlakukan di Hindia Belanda agak berbeda dengan KUHP yang berlaku di negeri Belanda karena sifat dan corak dari politik penjajahan yang terjadi pada saat itu, namun sebagian besar karakteristik dari “code penal” Belanda juga diwarisi oleh KUHP. Menurut Peter J.P. Tak, Code Penal Belanda, dalam banyak hal, tidak mewarisi semangat ajaran klasik namun membawa semangat ajaran neo klasik. Code Penal Belanda pada dasarnya memiliki karakteristik yang simpel, praktis, memiliki kepercayaan tinggi kepada Hakim dan  Pengadilan,  ketaatan terhadap prinsip – prinsip egalitarianisme, ketiadaan pengaruh agama tertentu, dan pengakuan akan adanya “kesadaran hukum” yang otonom. Code Penal Belanda malah menyerahkan perkembangan doktrin hukum pidana kepada Pengadilan dan tentunya pendapat dari Mahkamah Agung. Karakteristik Code Penal Belanda ini juga diwarisi dalam KUHP yang diterapkan oleh Hinda Belanda plus ideologi kolonial karena watak dan corak penjajahan pada saat itu.

Namun dengan dikeluarkannya beleid pemerintah melalui UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, maka pada dasarnya watak dan corak kolonial dari KUHP tersebut telah dihilangkan, yang tersisa adalah peraturan hukum pidana warisan pemerintah Belanda yang tak lagi mengandung sifat dan corak kolonial yang sudah sah menjadi bagian dari produk hukum nasional yang mewarisi karakteristik Code Penal Belanda tersebut. Dekolonisasi KUHP pada dasarnya telah terjadi dengan diundangkannya UU No 1 Tahun 1946 tersebut. Pasal 8 Peraturan Hukum Pidana telah menghapus corak dan watak kolonial dari KUHP dan pada Pasal 9 sampai dengan Pasal 16 peraturan yang sama telah menambahkan ciri Indonesia sebagai negara merdeka.

Selepas kemerdekaan Indonesia, tercatat perubahan terhadap KUHP telah diadakan beberapa kali, dimana perubahan-perubahan tersebut dilakukan melalui proses legislasi ataupun perubahan yang dilakukan melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Perubahan – perubahan tersebut justru semakin menandai dan menegaskan bahwa KUHP yang saat ini digunakan telah menyelesaikan dua misi penting yang konon diemban oleh R KUHP yaitu misi dekolonisasi hukum pidana dan misi demokratisasi hukum pidana.

Sayangnya, meski misi dekolonisasi dan demokratisasi hukum pidana dapat dianggap telah selesai, namun pemerintah dan DPR malah dengan sengaja mengabaikan pentingnya memiliki terjemahan resmi KUHP yang sebagian besar isinya masih menggunakan bahasa Belanda. KUHP yang beredar saat ini di seluruh sekolah – sekolah hukum, kantor – kantor polisi, kantor – kantor Jaksa Penuntut Umum, dan pengadilan adalah terjemahan tidak resmi dari KUHP yang berbahasa Belanda tersebut. Dibandingkan dengan Republik Demokrasi Timor Leste yang baru saja merdeka, Indonesia telah tertinggal jauh, karena bahkah sebelum merdeka secara resmi pemerintah transisi PBB untuk Timor Leste sudah menetapkan terjemahan resmi KUHP yang berasal dari terjemahan tidak resmi KUHP Indonesia.

Warisan kolonial dan semangat ajaran klasik justru sangat tampak pada hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dan DPR dalam berbagai peraturan pidana di luar KUHP. Salah satu diantaranya adalah soal pencabutan hak dan kewenangan tertentu dan ketidak percayaan yang tinggi terhadap Hakim dan Pengadilan.

Dalam konteks pencabutan hak, berbeda dengan peraturan hukum pidana yang dibuat selepas Indonesia merdeka, KUHP justru lebih melek HAM. Pencabutan hak didasarkan jenis pidana tertentu dan hanya berlaku sementara waktu. Pencabutan hak juga hanya boleh ditetapkan oleh Pengadilan. Pencabutan hak yang diatur dalam peraturan perundang – undangan Indonesia justru mewarisi semangat kolonial, hal ini nampak dimana pencabutan hak tidak diletakkan pada jenis pidananya namun diletakkan pada ancaman pidana yang dapat dijatuhkan, dan hal ini justru membawa kematian sipil selama – lamannya bagi para narapidana karena tak lagi dapat seumur hidupnya memasuki jabatan – jabatan pemerintahan. Selain itu pencabutan hak tidak dijatuhkan oleh Pengadilan namun ditetapkan secara otomatis dalam berbagai peraturan perundang – undangan.

Pemerintah dan DPR juga memiliki ketidak percayaan tinggi terhadap Hakim dan Pengadilan. Dalam banyak peraturan perundang – undangan di luar KUHP yang justru memperkenalkan adanya ancaman pidana minimum. Ancaman pidana minimum telah membatasi kebebasan kekuasaan kehakiman dalam melakukan penilaian tidak hanya terhadap perbuatan terdakwa namun juga situasi yang melingkupi diri terdakwa tersebut.

Melihat fakta – fakta diatas, misi dekolonisasi dan demokratisasi hukum pidana hanyalah mitos yang dihembuskan oleh pemerintah melalui tim penyusun RKUHP. Mitos yang apabila dipercaya justru akan membawa Indonesia kembali ke jaman kolonial



Verified by MonsterInsights