MA Anggap PERMA Praperadilan Belum Perlu

Materi putusan MK bisa dimasukkan dalam revisi KUHAP yang memuat kewenangan hakim pemeriksaan pendahuluan dan praperadilan.

Masukan sejumlah pihak agar Mahkamah Agung (Perma) membuat aturan hukum acara  praperadilan dan standar pemeriksaan dua alat bukti pasca putusan MK yang menafsirkan dua alat bukti dan memperluas objek praperadilan dinilai masih belum perlu. Sebab putusan MK dianggap sudah jelas dan hukum acara praperadilan saat ini cukup mengacu pada KUHAP yang sudah ada saat ini.

Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi menegaskan MA memandang belum perlu untuk mengeluarkan baik dalam bentuk Peraturan  MA maupun surat edaran. Sebab, putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 terkait tafsir bukti permulaan yang cukup dan perluasan objek praperadilan sudah cukup jelas. Objek  praperadilan hanya tinggal menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

“Adanya putusan MK itu, saya rasa para hakim sudah tahu praperadilan yang dulu objeknya hanya penahanan, penangkapan, penghentian penyidikan, sekarang ditambah lagi mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledehan, dan penyitaan,” ujar Suhadi saat dihubungi di Jakarta, Senin (11/5).

Dia mengatakan pasca putusan MK ini para pencari keadilan bisa memasukkan penetapan tersangka, penggeledehan, dan penyitaan sebagai objek praperadilan dalam permohonannya. Dia memperkirakan para hakim di pengadilan negeri juga sudah memahami penambahan objek praperadilan tersebut.

“Perma yang mengatur hukum acara dianggap tidak diperlukan lagi. Kan putusannya juga sudah jelas itu, apalagi Putusan MK itu sudah diumumkan di media, tentunya para hakim bisa membacanya,” tegasnya.

Senada dengan Suhadi, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Wicipto Setiadi mengatakan hukum acara praperadilan yang sudah ada saat ini sudah cukup ditambah dengan materi isi putusan MK. Putusan MK hanya memutuskan objek praperadilan ditambah dengan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. “Hukum acara hanya tinggal ikuti yang ada di KUHAP, kecuali KUHAP direvisi,” kata Wicipto.

Dia melanjutkan bisa saja materi putusan MK nantinya dimasukkan dalam revisi KUHAP yang memuat kewenangan hakim pemeriksaan pendahuluan (hakim komisaris) dan praperadilan. Hakim pengawas ini menilai keabsahan upaya paksa sepanjang proses penyidikan dan penuntutan. Namun, fungsi hakim pengawas ini diperkirakan akan memberatkan hakim yang bersangkutan karena harus menilai upaya paksa sendirian.

Dia mencontohkan ketika seseorang ditahan atau ditangkap terlebih dulu harus diperiksakan oleh hakim pengawas. Dengan begitu, adanya keberadaan fungsi hakim pengawas ini secara otomatis akan mengurangi permohonan praperadilan. “Sementara fungsi praperadilan tetap ada,” kata Wicipto.

Ditegaskan Wicipto, lembaga hakim pemeriksaan pendahuluan masih sebatas konsep dalam draft revisi KUHAP. Prinsipnya, hanya kontrol kesewenang-wenangan aparat hukum dalam melakukan upaya paksa. “Tetapi, konsepnya masih menjadi perdebatan yang cukup panjang,” katanya.

Sumber: HukumOnline


Tags assigned to this article:
hukum acara pidanaKUHAPPraperadilan

Related Articles

ICJR Jalani Sidang Pertama Permohonan Pengujian Pasal 245 UU MD3

Kamis, 28 Agustus 2014, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) telah melaksanakan sidang perdananya terkait dengan Pengujian Pasal 245 UU

ICJR Dorong Terdakwa Kasus Status Facebook Gugat Ganti Rugi

Agar penyidik dan penuntut umum lebih berhati-hati dalam menerapkan tindakan paksa. Putusan vonis bebas majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bantul

Perubahan Hakim Sidang Praperadilan Dinilai hanya Ganti Baju

Metrotvnews.com, Jakarta: Keberadaan lembaga praperadilan sering kali dianggap tak penting di Indonesia. Bahkan, banyak penegak hukum yang menganggap lembaga tersebut

Verified by MonsterInsights