Memasuki Separuh Masa Pembahasan RUU Terorisme, Panja dan Pemerintah diminta lebih serius

Pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah diselenggarakan oleh Panja bersama Pemerintah. Pembahasan ini sebetulya telah mulai dilakukan sejak 26 Januari 2017 sampai dengan 13 Juli 2017. Namun, sepanjang pelaksanaan rapat pembahasan tersebut, belum semua pembahasan telah disepakati oleh Panja.

Pembahasan RUU yang telah disepakati yakni mengenai Ketentuan Umum Subjek hukum Terorisme, Definisi Kekerasan, Ancaman Kekerasan (disesuaikan dengan Pasal 167 R KUHP), Definisi Pemerintah RI, Perwakilan Negara Asing, Organisasi Internasional, Harta Kekayaan, Objek Vital yang Strategis, Fasilitas Publik, dan Bahan Peledak, Jenis Tindak Pidana Terorisme, Deradikalisasi, Anak Pelaku Terorisme, Hukuman mati, Penangkapan, dan Penahanan

Pembahasan RUU yang belum disepakati atau dipending yakni mencakup Judul, Konsiderans, dan, Ancaman Pidana dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus disesuaikan dengan R KUHP, Pencabutan Kewarganegaraan, dan Penyadapan. Sedangkan pembahasan yang belum dibahas yakni mengenai Hak-hak Korban Terorisme dan Pencegahan. Adapula ketentuan yang luput dari pembahasan yakni mengenai Mekanisme Pengawasan selama masa tahanan.

ICJR memandang bahwa pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme selama ini masih kurang maksimal dalam hal intensitas dan kefokusan pembahasan, apalagi dengan mekanisme pembahasan yang dilakukan secara tertutup. ICJR masih menyayangkan pembahasan secara tertutup atas ketentuan penangkapan dan penahanan.

Dalam bulan Juli 2017 terdapat dua kali rapat pembahasan yakni pembahasan tentang Penyadapan (Pasal 31) dan tentang Perlindungan Saksi Tindak Pidana Terorisme (Pasal 32). Pembahasan mengenai Penyadapan belum disepakati sampai dengan 13 Juli 2017. Pemerintah dan Panja masih membahas izin penyadapan, sinkronisasi dengan Pasal 302 R KUHP, Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan serta Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010 mengenai izin, jangka waktu atau masa penyadapan, pembatasan orang yang dapat mengakses, dan pertanggungjawaban penyadapan.

Sedangkan dalam pembahasan perlindungan saksi, Pemerintah diminta untuk merekonstruksi ulang rumusan dengan memasukan alternatif Metode atau bentuk-bentuk pemberian kesaksian. Selain itu, terdapat penambahan pasal terkait perlindungan terhadap penegak hukum (Pasal 34). Pemerintah akan merekonstruksi ulang Pasal 32 sampai dengan Pasal 34 (tidak masuk dalam Perubahan UU No. 15 Tahun 2003) dengan memberi penjelasan pola dan bentuk perlindungan bagi penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli, saksi, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya dalam perkara Tindak Pidana Terorisme.

ICJR meminta ke depannya agar DPR dan Pemerintah agar dapat membahas hak-hak korban tindak pidana terorisme secara komprehensif. RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih minim sensitivitas terhadap penderitaan korban. Padahal sebagian besar fraksi dalam Panja telah memuat masukan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) mengenai ketentuan perlindungan korban terorisme.

Unduh Lampiran RUU Terorisme Disini



Related Articles

Kriminalisasi terkait Aborsi dalam RKUHP Berpotensi Menyasar Ibu Hamil, Perempuan Korban Perkosaan dan Tenaga Kesehatan / Tenaga Pendamping

Dalam R KUHP,  pengaturan pengguguran kandungan atau aborsi diatur dalam dua bab, yaitu Bab XIV tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian

Kemenkes: Kembali Fokus Urus Kesehatan, Lupakan Cuitan!

Telah beredar surat Kementerian Kesehatan RI tertanggal 3 Agustus 2020 perihal surat peringatan yang ditujukan kepada pemilik akun twitter @aqfiazfan.

ICJR Dorong Pemerintah dan DPR untuk menghasilkan Undang-Undang yang komprehsif dan berkualitas bagi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Indonesia.

Presiden akhirnya mengeluarkan Surat Presiden Nomor R-25/Pres/06/2017 tentang Penunjukan Wakil untuk Membahas Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual pada tanggal

Verified by MonsterInsights