Menggugat UU MD3 : ICJR hadapi sidang pertama di MK

Kamis, 28 Agustus 2014, ICJR akan menjalani sidang pertama Pengujian Pasal 245 UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) di Mahkamah  Konstitusi  (MK). 

Setelah MK selesai menyidangkan sengketa Pilpres, saat ini isu yang tengah disorot adalah kehadiran UU MD3. UU ini ditengarai dibuat untuk menghambat proses peradilan pidana dan penegakan hukum terhadap anggota dewan.

Untuk alasan tersebut, maka Supriyadi W. Eddyono, yang juga merupakan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sebagai Pemohon perorangan dan ICJR sendiri sebagai pemohon Badan Hukum Privat yang diwakili oleh Anggara Suwahju dan Wahyu Wagiman sebagai Ketua dan Sekretaris Badan Pengurus, mengajukan permohonan Pengujian UU MD3 terhadap UUD 1945 di MK.

Kedudukan Pemohon

Supriyadi menyebutkan bahwa kehadiran Pasal 245 UU MD3 telah merugikan dirinya dan ICJR sebagai lembaga yang konsern pada isu hukum, khususnya hukum pidana. Lebih lagi, sebagai pembayar pajak (tax payer), menurut Supriyadi, kehadiran pasal 245 UU MD3 telah mengintervensi dan menghambat proses penegakan hukum, sehingga secara langsung membebani pembiayaan yang bersumber dari APBN, yang juga berasal dari pajak yang dibayarkannya. Lebih jauh, UU MD3 juga melanggar hak konstitusinya sebagai warga negara Indonesia karena bersifat diskriminatif.

Alasan Permohonan

Setidaknya dalam permohonan ada tiga alasan utama mengapa Pasal 245 UU MD3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 :

Pertama, Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan  prinsip Kekuasaan kehakiman yang merdeka (Independent of judiciary). Pasal 245 UU MD3 telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan mengenai Pasal 245 UU MD3 dapat diklasifikasikan sebagai bentuk pembatasan dan intervensi yang dilakukan oleh lembaga diluar sistem peradilan pidana yaitu Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI dan berpotensi menimbukan gangguan secara langsung atau tidak langsung terhadap kemerdekaan aparat penegak hukum dalam upaya penegakan hukum. Pasal 245 UU MD3 dianggap bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka, proses peradilan dan penegakan hukum harus independen dan bebas dari intervensi yang bisa mengganggu proses penegakan hukum.

Kedua, Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan  prinsip persamaan dihadapan Hukum. Pasal 245 UU MD3 dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin persamaan dimuka hukum. Anggota DPR sebagai subjek hukum, terlepas jabatannya sebagai anggota DPR harus diberlakukan sama dihadapan hukum. ICJR menggap bahwa ketentuan dalam Pasal 245 UU MD3 telah memberikan keistimewaan terhadap anggota DPR yang sedang menjalani proses hukum tanpa rasionalitas hukum yang tepat.

 Pada dasarnya memang diperlukan adanya perlakuan menjaga harkat dan martabat pejabat negara agar tidak diperlakukan secara sembrono dan sewenang-wenang. Namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum.

Ketiga, Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan  prinsip non diskriminasi sebagaimana Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pasal 245 UU MD3 hanya diterapkan untuk anggota DPR, sehingga terdapat perlakukan yang berbeda untuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang berhadapan dengan proses hukum. Di mana pihak penyidik harus memperoleh ijin tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan sebelum melakukan penyidikan  yang diduga dilakukan oleh anggota DPR. Perlakuan berbeda tersebut tidak diberlakukan untuk WNI Iainnya, pihak penyidik dapat secara langsung melakukan penyidikan.  Apabila sudah masuk proses hukum, pembedaan sperti  ini telah mengakibatkan diskriminasi atas dasar status jabatan publik, dan bertentangan dengan prinsip non diskriminasi.

Petitum

Berdasarkan alasan-alasan hukum dan konstitusional di atas, maka Para Pemohon dalam hal ini memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk dapat memutus hal-hal sebagai berikut:

  1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh Para Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan ketentuan Pasal 245 UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD bertentangan dengan UUD 1945;
  3. Menyatakan ketentuan Pasal 245 UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD  tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,
  4. Memerintahkan amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang a quo, untuk dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan;

Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aeque et bono).



Related Articles

Terjemahan Beberapa Bagian Risalah Pembahasan Wetboek van Strafrecht dan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indië (KUHP Belanda dan KUHP Indonesia)

ICJR dan LeIP Luncurkan Terjemahan Risalah Pembahasan KUHP Belanda dan KUHP Indonesia: Pentingnya Risalah Pembahasan RUU dalam Penegakan dan Perkembangan

Penggunaan Teknik controlled delivery Tidak Untuk Menjerat Pengguna Narkotika, ICJR minta BNN Bongkar Jaringan pada Hakim yang Menggunakan Narkotika

Pada 20 Mei 2022, BNNP Banten melakukan penangkapan terhadap terhadap 2 hakim dan ASN yang bertugas di Pengadilan Negeri Rangkasbitung.

RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana

Untuk mendapatkan draft RUU Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana, silakan klik di bawah ini: Akses Draft RUU  Versi 2023 

Verified by MonsterInsights