Mengkritik Bupati Gowa, Pasal 27 Ayat (3) UU ITE Kembali Disalahgunakan Untuk Membungkam Fadli

Fadli Rahim, 33 tahun, seorang PNS di Kabupaten Gowa, sedang menjalani proses hukum di PN Sungguminasi, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Fadli diadukan ke polisi karena diduga telah melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo.

Kasus Fadli bermula dari percakapan yang dilakukan Fadli dalam ruang media sosial grup LINE yang bersifat privat dan tertutup, percakapan dalam grup tersebut hanya melibatkan 7 orang teman-teman alumni SMP Fadli. Dalam grup LINE tersebut, Fadli mengatakan :

“Saya setuju Gowa tidak inovatif, money oriented, power legacy …… arrrrrrrrhhhhhh……tena kabajikang….jai jai investor andak jadi proyekka”,

“Kalau yang bilang Bupati Gowa bagus, kalau bukan keluarganya, antek-anteknya, paling suka ngisap/penjilat…….puehhh serta buehhh….telatko pii sudahmi kuscreen shoot baru kuprint, besok kupajang di lobi kantor Bupati, sa kasi tag line Gowa dimanabnag badai.”

Anehnya, grup yang bersifat tertutup dan privat tersebut tersebar dan sampai ke telinga Ichsan Yasin Limpo selaku Bupati Gowa. Fadli kemudian diproses oleh Polisi, dan sempat ditahan oleh Penuntut Umum selama 19 hari mulai 24 November 2014 s/d 31 Desember 2014. Hingga akhirnya dihadapkan di muka persidangan.

Ada beberapa catatan yang perlu untuk disuarakan terkait kasus fadli ini. Pertama, kasus ini terlihat didesain untuk mengekang kebebasan berekspresi dari seorang warga negara terhadap pejabat publik yang justru dipilih oleh rakyat. Dari isi tulisan Fadli, bisa dilihat bagaimana Fadli tidak sekalipun menyebutkan nama Ichsan Yasin Limpo. Fadli selalu menggunakan sebutan Bupati, hal ini menandakan segala pendapat yang dikemukakannya tidak lebih dari kritik terhadap kinerja Bupati, belum lagi dirinya adalah seorang PNS yang sudah pasti lebih memahami keadaan dalam pemerintah daerah Gowa. Suatu hal yang sangat lazim di era demokartis yang modern saat ini, hanya pemimpin yang arogan dan tidak memihak rakyat yang tidak mau mendengar kritik tersebut.

Dalam catatan kami, ada beberapa putusan Mahkamah Agung yang kemudian dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa kritik terhadap atasan atau pejabat publik bukan merupakan penghinaan apalagi tindak pidana karena murupakan tindakan korektif, terlebih untuk kepentingan umum. Dalam Putusan MA No. 519 K/PID/2011, Mahkamah Agung menyatakan bahwa demi kepentingan umum, kritik terhadap atasan yang masih dalam satu lembaga, merupakan pendapat yang bersifat korektif secara internal, sehingga bukan merupakan perbuatan pidana. Atau Dalam Putusan MA. 412 K/PID/2010, dimana Mahkamah Agung menyebutkan bahwa dalam hal kepentingan umum, pengungkapan kebenaran haruslah diperlakukan sebagai bentuk kontrol sosial.

Kedua, fakta bahwa tulisan Fadli dibuat di suatu grup LINE yang bersifat privat dan tertutup, seharusnya tidak memenuhi unsur menyebarluaskan dalam delik penghinaan, terlebih lagi dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, seharusnya, orang yang membawa keluar obrolan dalam grup tersebutlah yang dapat dipidana.

Ketiga, penahanan pada Fadli oleh Penuntut Umum dan PN hanyalah berdasarkan alasan ancaman hukuman lebih dari 5 tahun, perlu untuk diketahui bahwa Fadli dikenakan dakwaan berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang ancaman pidananya 6 Tahun penjara. Penuntut Umum dan Pengadilan sama sekali tidak mempertimbangkan prinsip keperluan (necessity) sesuai ketentuan Pasal 21 KUHAP. Penuntut Umum dan PN PN Sungguminasi tidak mampu menguraikan kondisi – kondisi atau keadaan apakah yang dapat diukur secara nalar bahwa Fadli akan menghilangkan barang bukti, melarikan diri, atau mengulangi perbuatan pidana.

Penahanan yang dilakukan tanpa mempertimbangkan unsur atau prinsip keperluan (necessity) seperti yang diwajibkan dalam Pasal 21 KUHAP hanya akan menyebarkan rasa atakut di kalangan masyarakat dan berpotensi mengekang kebebasan berekspresi, karena ancaman nyatanya adalah dapat dilakukannya penahanan kepada pelaku yang dirasa melakukan penghinaan di dunia Internet.

Catatan khusus kami berikan kepada Kejaksaan atau Penuntut Umum, dimana dalam catatan kami, Kejaksaan atau Penuntut Umum selalu melakukan penahanan dalam kasus-kasus ITE, menunjukkan ketidakpekaan Kejaksaan atau Penuntut Umum dalam dampak negatif penahanan bagi iklim kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Keempat, kami menilai sulit untuk tidak mengaitkan proses hukum Fadli dengan intervensi dari Ichsan Yasin Limpo selaku Bupati Gowa. Kasus ini cenderung dipaksakan oleh penyidik dan penuntut umum, bukti yang sangat minim dan tentu saja ketiadaan unsur penghinaan dalam tulisan Fadli, ternyata cukup membuat penyidik dan Penuntut Umum bergegas memproses kasus tersebut. Perlu untuk disoroti juga adalah sudah 8 kali persidangan, tidak sekalipun Ichsan Yasin Limpo hadir di muka sidang, bisa jadi ini menunjukkan bahwa sebetulnya Ichsan Yasin Limpo hanya ingin menunjukkan kekuasaannya tanpa serius untuk mengawal proses persidangan yang telah berlangsung. Bahkan ada fakta yang lebih mengejutkan dimana orang tua Fadli, yang juga PNS di Kabupaten Gowa, sampai dipindahkan ke tempat yang lebih jauh, diduga berhubungan erat dengan kasus yang sedang dijalani oleh anaknya.

Atas dasar tersebut, ada bebeberapa hal yang kami sampaikan dalam kasus Fadli ini, yaitu :

  1. Mendesak agar Fadli segera dikeluarkan dari Tahanan oleh PN Sungguminasi, sebab kami tidak melihat adanya urgensi untuk melakukan penahanan terhadap Fadli, kami menduga ada intervensi yang dilakukan oleh Bupati Gowa dalam hal ini Ichsan Yasin Limpo untuk menempatkan Fadli dalam tahanan serta memperlambat proses peradilan yang saat ini berlangsung.
  2. Meminta Hakim PN Sungguminasi menjatuhkan Vonis Bebas kepada Fadli, sebab praktik-praktik penggunaan hukum pidana sebagai alat untuk mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat seperti ini tidak bisa dibiarkan, belum lagi karena pendapat yang disampaikan adalah nyata-nyata kritik pada pejabat pemerintahan, yang mana hal tersebut lazim di era demokartis yang modern saat ini.
  3. Mengecam tindakan arogan dari Bupati Gowa yaitu Ichsan Yasin Limpo yang tidak mau mendengar kritik dari masyarakatnya sediri, Ichsan Yasin Limpo tidak mencerminkan pemimpin yang memihak pada rakyat yang mau mendengarkan kritik untuk kebaikan Gowa kedepan.
  4. Dari praktik-praktik penggunaan hukum pidana sebagai alat untuk mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat, kami menagih janji dari Pemerintah dan DPR untuk sesegara mungkin melakukan revisi terhadap UU ITE, khususnya untuk segera mencabut pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Tags assigned to this article:
defamasihukum acara pidanaKUHAPpenahananuu ite

Related Articles

ICJR Dorong Penghapusan Pasal – Pasal Penodaan Agama dalam RKUHP

Persoalan Pasal – Pasal Penodaan Agama Bukan hanya Pada Rumusannya akan tetapi juga pada Pelaksanaan dari Aturan Pidana tersebut Pasal

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan: Reformasi Polri dan Kasus Brigadir J

Terjadinya proses perubahan politik 1998 telah berdampak pada perubahan aktor-aktor keamanan untuk kembali menata ulang peran dan fungsinya sesuai tata

ICJR : Limpahkan Kasus Komjen Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung, Langkah Prematur KPK

Putusan pelimpahan ini berbau kompromistis, efeknya juga terlalu besar, dari mulai pembatasan kewenangan KPK berdasarkan putusan Praperadilan sampai dengan bertolak

Verified by MonsterInsights