Meningkatnya Penggunaan Hukuman Mati Indonesia Dalam Situasi Unfair Trial

“ICJR : Pada Tahun 2016 ini hukuman mati di yang dituntut oleh Jaksa 26 Kasus dan di putuskan oleh pengadilan 17 Kasus, yang masih jadi pertanyaan apakah seluruh kasus-kasus tersebut diadili secara Fair?”

Pasca Eksekusi Mati Gelombang III di Indonesia , ternyata menyisakan beberapa masalah terkait proses pengadilan yang adil bagi para terpidana mati. Dalam beberapa kasus terdapat situasi yang mengingkari prinsip pengadilan yang adil atau fair trial. Misalnya bagaimana MA menentang putusan MK terkait pembatasan PK, hanya untuk memperlancar eksekusi mati. Sampai dengan Tahun 2016, Mahkamah Konstitusi telah menerima beberapa permohonan pengujian atas pembatasan PK tersebut. dengan dikeluarkannya dua putusan Putusan MK No. 66/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No. 45/PUU-XIII/2015. Maka kedua putusan terbaru ini telah mengukuhkan kembali putusan MK No. 34/PUU-XI/2013, tanggal 6 Maret 2014 dan menggugurkan dasar hukum Pembatasan SEMA No 7 Tahun 2014 yang pada intinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali.

Selain keadaan itu, pelanggaran fair trial nyata justru terjadi di eksekusi mati paling tertutup yang terjadi selama rejim Presiden Jokowi. Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 107/PUU-XIII/2015, Pasal 7 ayat (2) UU Grasi dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengingat, sehingga tidak ada lagi pembatasan tenggat waktu mengajukan grasi. Kemudian, Berdasarkan Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 Jo. Pasal 5 Tahun 2010 tentang Grasi dinyatakan bahwa “Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.”

Dalam catatan Institute for Criminal Justice reform (ICJR), Humprey Ejike Jefferson telah mengajukan grasi pada hari Senin (25 Juli 2016), Sack Osmane telah mengajukan pada hari rabu (27 Juli 2016), sedangkan dari informasi yang didapat, Freddy Budiman telah mengajukan grasi pada hari Kamis (28 Juli 2016). Dengan demikian, dengan diajukannya permohonan grasi, Kejaksaan Agung tidak dapat melakukan eksekusi mati mengingat hingga hari pelaksanaan eksekusi, para terpidana mati belum pernah mendapatkan Keputusan Presiden perihal permohonan grasi yang telah diajukan. Artinya, ketiganya dieksekusi mati saat masih mengajukan grasi.

Kondisi pelanggaran fair trial saat eskekusi mati bukan kali ini saja terjadi. Kejanggalan Kasus Zainal Abidin terkuak pada saat dirinya mengajukan PK. PK Zainal Abidin baru masuk ke MA pada 8 April 2015, atau 10 tahun kemudian dari berkas pertama kali didaftarkan di Kepaniteraan PN Palembang. Berkas PK Zainal Abidin tersebut kemudian mulai didistribusikan pada 21 April 2015 kepada 3 (tiga) Hakim Agung MA, yaitu Hakim Agung M. Syarifuddin, Hakim Agung M. Desnayeti, dan Hakim Agung Surya Jaya.

Dalam hitungan yang sangat cepat dan tidak wajar untuk pemeriksaan PK di MA, PK Zainal Abidin diputus pada 27 April 2015, hanya 2 (dua) hari sebelum eksekusi dilakukan. Hal yang menjadi tanda tanya adalah karena Zainal Abidintelah dipindahkan ke ruang isolasi di Nusakambangan pada 24 April 2015. Hal ini berarti Zainal Abidin sudah dipastikan untuk dieksekusi padahal Putusan PK yang bersangkutan belum diputus oleh MA. Waktu putus PK Zainal Abidin bisa jadi merupakan rekor waktu tercepat pemeriksaan dan pengumuman putusan yang pernah dilakukan oleh MA.

Sesungguhnya masih banyak sekali catatan terkait pelanggaran jaminan fair trial yang terjadi dalam kasus-kasus hukuman mati, penyiksaan, kesalahan prosedur, pidana korban trafficking sampai dengan kejanggalan aturan, semuanya berjejer di Indonesia. Hingga saat ini, bahkan DPR tidak pernah menanyakan seluruh kejanggalan tersebut ke Mahkamah Agung atau Jaksa Agung atau bahkan Presiden.

Tren tuntutan dan vonis pidana mati juga meningkat di beberapa pengadilan. Citra tegas yang dipertontonkan Pemerintahan Presiden Jokowi dengan cara mengeksekusi mati nampaknya menjadi populer di kalangan Jaksa dan Hakim. Sebelumnya di 2015 Pengadilan menjatuhkan setidaknya 76 vonis mati baru, meningkat tajam dibanding 2014 dimana hanya enam vonis mati yang tercatat.

Untuk vonis pengadilan di 2015, terdapat hal menarik, salah satunya adalah Mahkamah Agung (MA) yang memvonis mati 13 orang, dengan cara memperbaiki putusan pengadilan di bawahnya dengan memvonis hukuman mati. Perilaku MA oleh beberapa pihak dianggap mengabaikan prinsip hukum penting, karena MA bukanlah Judex Factie akan tetapi Judex Juris. Dengan menaikkan vonis hukuman, maka MA bukan lagi menjadi Pengadilan Kasasi akan tetapi Pengadilan Banding tingkat kedua.

Berdasarkan Monitoring ICJR sepanjang 2015 sampai dengan Juni 2016, ICJR juga masih menemukan tren penggunaan pidana hukuman mati di tingkat penuntutan maupun di tingkat putusan Pengadilan Negeri yakni:

  • Jumlah Terdakwa yang dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada 2016 yakni 26 orang
  • Jumlah Terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri pada 2016 yakni 17 orang
  • Jumlah Terdakwa yang dituntut dan diputus hukuman mati pada tahun 2016 16 orang

Di banding dengan tahun 2015, maka terlihat penggunaan hukuman mati 2016 justru masih tinggi. Dalam monitoring ICJR tercatat Jumlah Terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh Hakim Pengadilan Negeri pada tahun 2015 yakni 37 orang, sedangkan Total Jumlah Terdakwa yang dituntut dan diputus hukuman mati pada tahun 2016 sampai dengan 2016 ada 26 orang.

Hukuman Mati Tingkat Penuntutan hingga Putusan Pengadilan 2015-2016

Tahun Tuntutan Hukuman Mati Vonis Hukuman Mati
2015 76 orang 37orang
Sd Juni 2016 26 orang 17orang

Pada 2016 ini hukuman mati di yang dituntut oleh Jaksa dan di putuskan oleh pengadilan paling tinggi dalam kasus narkotika, menyusul kasus pembunuhan berencana. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kondisi hukuman mati di 2015. Yang masih jadi pertanyaan dalam kasus-kasus diatas, apakah seluruh terpidana diadili secara Fair?



Related Articles

Restorative Justice Yang Tidak Me-restore dan Tidak Justice

Pemberitaan tentang kesalahan fatal dalam penanganan kasus perkosaan kembali muncul ke publik. Kanal berita konde.co (24/10) memberitakan adanya kasus perkosaan

Pemerintah Harus Membentuk Tim Khusus Untuk Mendalami Kasus-Kasus Unfair trial Terpidana Mati Di Indonesia

ICJR : Penundaan & Moratorium Perlu di kedepankan, Beberapa Kasus Dicurigai Bermasalah Secara Fair Trial Rencana Eksekusi Terpidana Mati Indonesia

Tragedi Gas Air Mata Terulang: Hentikan Pendekatan Berlebih dan Penggunaan Senjata Kimia dalam Pengamanan Pertandingan Sepak Bola

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mengecam keras tindakan berlebihan dan tidak proporsional yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada pertandingan

Verified by MonsterInsights