Meninjau Rehabilitasi Pengguna Narkotika dalam Praktik Peradilan

Persoalan narkotika merupakan persoalan global yang dihadapi hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia, meskipun dalam konteks dan kompleksitas yang berbeda-beda. Dalam perspektif Internasional, kejahatan narkotika dikategorikan sebagai kejahatan serius. Kategori yang sama juga berlaku dalam konteks Indonesia yang dinilai dari dampak yang ditimbulkan dan membuat kejahatan narkotika disejajarkan dengan kejahatan serius lainnya seperti kejahatan terorisme dan korupsi.

Di Indonesia sendiri diperkirakan jumlah penyalahguna Narkoba pada periode 2013 sampai dengan 2014 sekitar 3,1 juta sampai 3,6 juta orang atau setara dengan 1,9% dari populasi penduduk berusia 10-59. Hasil proyeksi angka prevalensi penyalahguna narkoba meningkat sekitar 2,6 % di tahun 2013.[1]

Berbagai upaya pun dilakukan untuk menanggulangi persoalan narkotika tersebut. Salah satunya adalah dengan melakukan pembaruan dan penguatan di sektor regulasi. Hal itu dapat dilihat dari telah diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 (United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances) oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997.Di level legislasi nasional, komitmen tersebut didukung dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dianggap tidak mampu menjawab banyaknya aspek permasalahan narkotika.Salah satunya mengenai dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat yang berada dalam posisi sebagai pelaku, pengguna, dan sekaligus menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Untuk merespon hal tersebut, Pemerintah kemudian membentuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika).Undang-undang tersebut bertujuan mencari titik keseimbangan antara pendekatan kesehatan masyarakat dan pelaksanaan instrumen pidana dalam mengatasi tindak pidana narkotika.

Pola pendekatan kesehatan ini akhirnya mendorong Mahkamah Agung untuk mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Selain itu juga turut diterbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahguna Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Hal yang sama kemudian juga direspon oleh Jaksa Agung dengan mengeluarkan SEJA No. SE-002/A/JA/02/2013 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial dan aturan teknis dalam pelaksanaan SEJA tersebut dalam SEJA No. SE-002/A/JA/02/2013 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Pada 2014, BNN dan Sekretariat Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI (Mahkumjakpol) telah melakukan penandatanganan Peraturan Bersama terkait Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. Penandatanganan tersebut dilakukan oleh Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Jaksa Agung, Kapolri, serta BNN di Istana Wakil Presiden. Pada saat itu, BNN dan Sekretariat Mahkumjakpol mengklaim bahwa Peraturan bersama ini merupakan langkah kongkrit bagi pemerintah dalam menekan jumlah pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika di Indonesia.[2]

Penguatan dari sisi regulasi ini pada dasarnya cukup baik namun bukan berarti tanpa celah.Masih terdapat banyak kelemahan pengaturan baik dalam UU Narkotika maupun kedua aturan teknis dalam bentuk SEMA dan SEJA tersebut. Mulai dari penggunaan istilah yang tidak konsisten satu dengan yang lain hingga pengaturan yang masih condong ke arah pemidanaan penjara khususnya terhadap pengguna yang bukan pengedar narkotika. Dalam praktik, pandangan pengguna narkotika sebagai pelaku kejahatan masih lebih dominan dibandingkan dengan pendekatan kesehatan dan penyembuhan terhadap ketergantungan narkotika. Padahal pergeresan pandangan dari pemidanaan penjara ke arah pendekatan kesehatan sering dikemukakan oleh banyak kalangan dan akhirnya menjadi tren di negara lain.

Selain itu, upaya lain yang coba dilakukan adalah dengan memberikan perluasan kewenangan kepada aparatur penegak hukum. Dalam hal ini, termasuk perluasan kewenangan dalam melakukan upaya paksa. Dalam UU Narkotika, salah satu bentuk perluasan kewenangan tersebut dapat dilihat mulai dari dilonggarkannya jangka waktu dalam melakukan penangkapan hingga memberikan kewenangan upaya paksa penyadapan kepada aparatur penegak hukum.

Di samping memberikan perluasan dari sisi kewenangan, upaya berikutnya yang dilakukan adalah dengan pembentukan institusi penegak hukum sektoral di luar ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Apabila dalam KUHAP, penyidik hanya terdiri dari Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, maka melalui UU Narkotika turut dibentuk lembaga penyidik lainnya yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). Pembentukan institusi ini juga sekaligus memberikan beberapa kewenangan kepada BNN, baik kewenangan dalam hal pencegahan hingga kewenangan dalam penindakan.

Tidak hanya itu, upaya berikutnya yang dilakukan adalah menggeser pendekatan paradigma dan tindakan terhadap pengguna narkotika.Pada awalnya, pendekatan dilakukan dengan memposisikan pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana sehingga yang ditonjolkan adalah efektivitas penegakan hukum pidana.Lalu pendekatan lama ini coba diubah dengan memposisikan pengguna narkotika sebagai penyalahguna sekaligus korban penyalahgunaan narkotika yang membutuhkan penanganan baik secara medis maupun sosial.

Penggunaan narkotika yang bersifat adiksi membutuhkan perlakuan khusus, yaitu dengan mendapatkan perawatan dan perlindungan.Selain di sisi pengguna, pandangan ini juga seirama dengan upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika.Dimana dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika diperlukan strategi secara integral dari hulu sampai ke hilir. Dekriminalisasi terhadap penyalahguna dan pecandu narkotika adalah model menekan demand reduction sehingga dapat mengurangi supply narkotika illegal. Konsep ini juga memiliki dampak ekonomis terhadap penanganan masalah narkotika.[3]

Namun, upaya tersebut tidak selalu berjalan dengan mulus.Salah satu tantangannya adalah beragamnya pandangan dalam memposisikan pengguna narkotika.Perbedaan ini tidak hanya berkembang di masyarakat namun juga melanda institusi penegak hukum dan pengadilan.Dalam suatu diskusi yang diadakan di Kamar Pidana Mahkamah Agung, perbedaan pandangan tersebut terpampang dengan jelas.[4] Hakim Agung Suhadi, misalnya, berpendapat bahwa pengguna Narkoba akan terus meningkat dari tahun ke tahun jika tidak tegas dalam memberikan hukuman. Bahkan iamenilai hukuman mati saja tak akan membuat jera pelaku tindak pidana narkoba apalagi hanya sekedar rehabilitasi.

Pendapat lain dikemukakan Hakim Agung yang lain, Andi Samsan Nganro, yang mengakui bahwa sudah banyak aturan hukum yang menetapkan pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba untuk menjalani rehabilitasi. Namun, hakim tak bisa sendirian menengakkan semua aturan tersebut danperan penyidik dan penuntut umum sangat besar dalam hal membuat dakwaan.Ia kemudian memberikan ilustrasi dimana penyalahguna narkoba hanya dijerat dakwaan tunggal dengan pasal yang menyangkut pengedar. Bagaimana mungkin hakim dapat menetapkan rehabilitasi terhadap terdakwa apabila terdakwa tidak didakwa dengan pasal penyalahguna narkoba.

Perbedaan pandangan di antara Hakim Agung di atas dapat dijadikan refleksi mengenai paradigma hakim dalam memandang pengguna narkotika, yang tentu saja akan mewarnai dan berdampak pada beragamnya pola penjatuhan putusan. Pola tersebut yang akan coba ditangkap dan diuraikan dalam penelitian ini.

Meski demikian, penelitian ini tidak hanya difokuskan pada pola putusan pengadilan. Namun, juga bertujuan untuk melihat bagaimana potret penerapan kewenangan aparatur penegak hukum pada tataran implementasi. Penelitian ini pada akhirnya ingin menguraikan gambaran besar politik hukum pidana dalam memandang pengguna narkotika dengan menempatkan penyidik, penuntut umum, dan pengadilan sebagai satu rangkaian yang tidak terpisahkan dalam suatu sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) tentu saja dengan pisau uji SEMA dan SEJA.

Unduh Laporan Disini

[1]BNN, Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014, 2014.

[2]BNN, Peraturan Bersama Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, diakses dari [http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/humas/berita/12185/peraturan-bersama-penanganan-pecandu-narkotika-dan-korban-penyalahgunaan-narkotika-ke-dalam-lembaga-rehabilitasi].

[3]Anang Iskandar, Dekriminalisasi Penyalah Guna Narkotika dalam Konstruksi Hukum Positif Di Indonesia, [http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia], diakses pada 15 November 2013 pukul 11.35 WIB.

[4]Mengenai pandangan para hakim agung dalam diskusi ini dapat dilihat di [http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52136123848fc/paradigma-hakim-perkara-narkotika-belum-berubah], diakses pada 15 Desember 2013 pukul 22.05 WIB.



Related Articles

Pengantar Analisis Ekonomi Dalam Kebijakan Pidana di Indonesia

Analisis ekonomi dalam perumusan kebijakan pidana perlu lebih sering digunakan untuk menghasilkan kebijakan pidana yang lebih efisien. Analisis ini menekankan

Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan

Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan (diterbitkan oleh : Departemen Hukum dan HAM Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bekerjasama dengan The Asia

ICLU: Indonesia’s Legal Framework on Anti Terrorism

The war on terrorism has made the government of Indonesia to renew the policy on terrorism. Although critics received from

Verified by MonsterInsights