Pasal-Pasal Terkait Contemp Of Court dalam R KUHP Berpotensi Melanggar Hak Asasi Manusia, Khususnya Kebebasan Berpendapat dan Kemerdekaan Pers

Aliansi Nasional Reformasi KUHP Sangat Keberatan Dengan Pasal yang Overprotektif Terhadap Pengadilan

Dalam pembahasan RKUHP pada 21 November 2016, Pemerintah dan DPR telah masuk dalam pembahasan BAB VI tentang Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan, atau lazim disebut Contemp of Court. Di permulaan pembahasan, Prof. Muladi yang mewakili pemerintah menyebutkan bahwa konsep dalam BAB VI ini merupakan bentuk pengaturan yang lebih dari Contemp of Court (CoC), Prof. Muladi menyebutkan pengaturan ini adalah bentuk lebih luas dari CoC karena juga mengandung ketentuan terkait pengabaian perintah pengadilan, penghinaan pada hakim dan integritas peradilan, Trial by Press, sampai dengan perlakuan tidak sopan di muka sidang. Prof. Muladi menyebutkan bahwa ketentuan ini di-design demi melindungi proses peradilan dan bersifat futuristik. Dalam pembahasan ini ada beberapa hal yang harus digarisbawahi utamanya terkait dengan pasal-pasal yang dapat membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat serta kemerdekaan pers.

Gangguan Proses Peradilan

Pasal 328 RKUHP

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”

Hal Penting dalam Proses Pembahasan :

Ketua Panja Benny K Harman dari F-Demokrat menyatakan bahwa pasal ini tidak jelas karena rumusan yang sangat luas. Penilaian atas gangguan juga bisa bersifat sangat subjektif. Perdebatan sempat muncul soal siapa yang akan menilai adanya gangguan, selain itu perdebatan lain juga menitikberatkan apabila adanya gangguan tersebut timbul dari tuntutan atas respon atau prilaku dari aparat penegak hukum sendiri.

Hal yang menarik adalah Pemerintah justru menyatakan bahwa Pasal ini diadopsi dari pasal 217 KUHP, yang berbunyi : “Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah”.

Namun, disaat yang sama, Pemerintah justru tidak konsisten karena kemudian menyebutkan bahwa Pasal 328 tidak hanya ditujukan untuk kondisi dalam ruang sidang sebagaimana pengaturan Pasal 217, melainkan juga berlaku dalam seluruh proses peradilan dari penyidikan sampai dengan pengadilan. Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah Pemerintah dan DPR juga sama sekali tidak membahas mengenai perbedaan ancaman pidana yang sangat jauh, yaitu tiga minggu dalam Pasal 217 menjadi 5 tahun dalam Pasal 328.

Penyesatan Proses Peradilan

Pasal 329 RKUHP

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV bagi setiap orang yang secara melawan  hukum:

  1. menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau sebagai  pembantu  tindak  pidana, yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain;
  2. tidak  mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
  3. menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
  4. mempublikasikan atau membolehkan untuk dipubli¬kasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

Hal Penting dalam Proses Pembahasan :

Perdebatan paling alot terjadi dalam pembahasan Pasal 329 huruf b, c dan d RKUHP. Dalam Pasal 329 huruf b, Pemerintah menyatakan bahwa kententuan pidana tidak  mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan, tidak dapat dihilangkan, karena merupakan bagian paling penting dari CoC, ketentuan ini disebut dengan “disobeying a court order”.

KPK yang hadir dalam pembahasan menyatakan keberatan pada pasal ini sebab dalam beberapa praktik pengadilan akan terjadi beberapa benturan, misalnya putusan Praperadilan yang memerintahkan penghentian penyidikan dengan kewenangan dari penyidik untuk kembali menerbitkan surat penyidikan. DPR juga mempertanyakan luasnya jangkauan dari pasal ini yang dapat menimbulkan ketidakpastian, utamanya dalam ranah peradilan lain di luar hukum pidana, semisal dalam peradilan TUN atau perdata.

Dalam Pasal 329 huruf c, diatur mengenai penghinaan terhadap hakim dan integritas hakim. Menurut Pemerintah, pasal ini ditujukan untuk melarang “Scandalaizing the Court” yaitu larangan untuk menyerang sifat tidak memihak atau integritas hakim. Baik DPR dan Pemerintah sepakat perlu adanya penjelasan lebih lanjut dari pasal ini.

Pasal 329 huruf d menimbulkan perdebatan paling alot, lantaran pasal ini sangat bersinggungan dengan kebebasan berpendapat, hak atas informasi dan kemerdekaan Pers. Pemerintah menilai bahwa Pasal ini ditujukan untuk melarang adanya Trial by Press, dimana adanya pemberitaan yang mendahului putusan pengadilan yang dapat mempengaruhi indepensi hakim. Pendapat lain datang daru Ketua Panja yang menyebut bahwa justru kebebasan berpendapat tidak boleh dibatasi dan peradilan di Indonesia bersifat terbuka untuk umum sehingga pemberitaan bebas dilakukan. DPR dan Pemerintah sepakat agar Pemerintah kembali memperjelas semua rumusan dalam penjelasan.

Rumusan yang tidak jelas dan cenderung overprotektif

Hal mendasar yang perlu disoroti dalam pembahasan pasal-pasal CoC ini adalah baik DPR dan Pemerintah terlalu banyak bergantung pada penjelasan Pasal, bukan berusaha merumuskan unsur dalam ketentuan Pasal. Hampir seluruh pasal yang tidak jelas, utama yang sangat berpotensi melanggar hak asasi manusia hanya dibebankan dalam penjelasan.

Aliansi justru melihat bahwa pengaturan secara khusus mengenai contempt of court dalam R KUHP tampaknya tidak diperlukan. Hal ini disebabkan karena sistem peradilan di Indonesia yang menganut sistem non adversarial model tidak memungkinkan untuk adanya pranata contempt of court. Hal ini disebabkan karena dalam sistem peradilan yang dianut di Indonesia, hakim memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Sehingga apabila terdapat ketentuan mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) dalam R KUHP, dikhawatirkan akan semakin memperkuat kedudukan hakim dalam proses peradilan. Akibatnya, tidak ada satu lembaga atau kekuasaan pun yang dapat melakukan kontrol terhadap kinerja para hakim dalam menjalankan tugasnya

Aliansi Nasional Reformasi KUHP Menilai bahwa kondisi ini bisa sangat berbahaya karena pasal-pasal yang ada dalam CoC sangat sangat berpotensi melanggar hak asasi manusia. Misalnya saja larangan untuk mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. Tidak ada ukuran yang jelas dan indikator bagaimana hakim bisa terpengaruhi dengan publikasi yang dimaksud, pun begitu sesungguhnya sudah ada pranata dewan pers yang bisa mengadili maslaah pers sehingga tidak perlu ada hukum pidana.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta agar DPR serta Pemerintah tidak hanya memandang isu unsur yang tidak jelas dalam rumusan pasal semata soal penjelasan, melainkan harus memastikan rumusan yang berkepastian hukum. Lebih dari itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta agar Pemerintah, khususnya DPR mempertimbangkan ulang ketentuan-ketantuan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia yang dimaksud.



Related Articles

Dialog Masyarakat Aliansi Nasional Reformasi KUHP: Pemerintah Harus Membuka Informasi Pembahasan Perubahan RKUHP Secara Partisipatif

Pada 6 Mei 2021, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyelenggarakan Dialog Masyarakat dengan tema “RKUHP: Hukum Untuk Siapa?”. Dialog Masyarakat ini

Terkait Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, DPR Diingatkan Untuk Tidak Sekedar Kejar Target Pengesahan

Berkembangnya isu perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia mendorong perlunya revisi terhadap UU No. 13 Tahun

Mendudukkan Nebis In Idem dalam Praperadilan Indonesia

ICJR : Prinsip nebis in idem  dapat dipersoalkan dikala pemeriksaan sudah memasuki pokok perkara secara materil. Dalam hal permasalahan bersifat formil maka tidak

Verified by MonsterInsights