Paska Penyelidikan Komnas HAM; Perjuangan Korban Peristiwa 1965 Masih Panjang

Hasil penyelidikan Komnas HAM telah menyimpulkan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 30 September 1965 (G 30 S PKI), perjuangan para korban untuk memperoleh hak-hak mereka, masih panjang dan berat. Hasil penyelidikan itu masih harus diteruskan oleh Kejaksaan Agung pada tahap penyidikan dan lalu akan disidangkan di pengadilan setelah memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan yang berlaku. Jika kesimpulan Kejaksaan Agung menyatakan tidak terdapat bukti cukup untuk meneruskan kasus pelanggaran HAM itu, upaya para korban selama puluhan tahun untuk merealisasikan harapan mereka itu, bisa jadi kandas.

Demikian antara lain kesimpulan yang mengemuka dalam #diktum yang diadakan Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), Kamis (27/9) dari gedung LPSK, Jakarta. Diskusi online sebagai kerjasama antara ICJR dan dengerinradio.com ini menghadirkan dua narasumber yakni Djoko Sri Moeljono dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP ’65) dan Lili Pintauli Siregar dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Bagi Djoko Sri Moeljono, hasil penyelidikan Komnas HAM itu sangat berharga untuk mendukung perjuangan para korban dalam mendapatkan hak-haknya. Djoko yang merupakan salah satu korban peristiwa “kudeta gagal” itu mengharapkan agar pemerintah lebih responsif paska dipublikasikannya hasil penyelidikan Komnas HAM. “Kami bukan pelaku. Kami adalah korban”, tegas Djoko yang mengaku sempat mendekam di penjara selama 13 tahun tanpa adanya proses hukum yang jelas.

Menurut Djoko, selama ini peran pemerintah melalui pihak-pihak terkait tidak menunjukan iktikad sungguh-sungguh menanggapi aspirasi dari para korban. Di kalangan masyarakat sendiri, para korban telah terlanjur dicap buruk karena menjadi bagian dari PKI, meskipun mereka tidak ikut berafiliasi dalam gerakan politik tersebut. Para korban, ungkap Djoko, menginginkan adanya permintaan maaf dari pemerintah dan pengakuan bahwa mereka tidak bersalah dalam peristiwa tersebut. Dengan begitu, hak-hak mereka sebagai warga negara yang normal dapat kembali didapatkan, termasuk rehabilitasi nama mereka beserta keturunan mereka di mata masyarakat.

Selama ini, para korban maupun keluarga korban mengalami penderitaan mental (psikologis) secara turun temurun yakni berupa adanya tindakan diskriminasi di bidang hak sipil dan politik, maupun di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya.

Sementara itu, Lili Pintauli Siregar mengemukakan bahwa LPSK sejauh ini tidak bisa berperan banyak bagi para korban, sebab terikat dengan ketentuan yang ada. Menurut komisioner LPSK itu, LPSK baru dapat menjalankan peran untuk memberikan kompensasi kepada para korban jika ketentuan yang ada sudah dilalui secara tuntas. “Dalam melaksanakan peran negara melalui LPSK, sudah harus jelas dulu siapa korban dan siapa pelaku (pelanggaran HAM berat, red) sebagaimana yang diduga Komnas HAM itu”, katanya.

Sejauh ini, Lili melanjutkan, LPSK baru bisa memfasilitasi para korban dengan memberi bantuan medis dan psiko sosial kepada korban. “Padahal, yang paling dibutuhkan para korban saat ini bukanlah bantuan medis melainkan santunan dan rehabilitasi nama para korban di masyarakat”,  papar Lili. Menurutnya, hal ini adalah efek dari kebijakan negara saat itu yang langsung berkaitan dengan kehidupan para korban di masyarakat saat ini, baik dari sisi eksistensi para korban maupun juga sisi ekonomi.

Dalam diskusi tersebut, tersirat bahwa perjuangan para korban dan pegiat HAM masih berat dan panjang. Terlebih jika melihat rangkaian proses yang harus dilewati. Terlebih, masih ada kemungkinan laporan Komnas HAM terhadap Kejaksaan Agung itu dianggap tidak lengkap atau justru tidak dapat dilanjutkan. “Kalau menggunakan koridor UU, sudah tidak ada yang dapat dilakukan, jika Jaksa Agung menyatakan sudah tidak daat diproses”, Lili Pintauli Siregar menerangkan. Dengan begitu, LPSK dalam hal ini bersifat menunggu perkembangan proses temuan Komnas HAM itu oleh Kejaksaan Agung sembari terus melakukan pendampingan bagi para korban. Oleh karenanya, dengan mekanisme yang harus dilewati ini, Komisioner LPSK itu mengharapkan agar proses ini tetap dikawal oleh semua pihak, termasuk oleh masyarakat yang memiliki fokus terhadap hal ini.



Verified by MonsterInsights