(Perppu) Pemerintah yang Lari Dari Tanggungjawab Atas Korban

Pada 25 Mei 2016, Presiden Jokowi telah menyampaikan ke Publik mengenai sikap pemerintah yang mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Anak, hal ini sebagai salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi anak-anak dari tindak kejahatan seksual yang menurut pemerintah semakin mengkhwatirkan yang dimana menurut Presiden mengatakan PERPPU ini diterbitkan atas dasar semakin meningkatnya kasus kejahatan seksual terhadap anak secara signifikan. Presiden meyakini bahwa tindak kejahatan seksual dapat mengancam dan membahayakan anak-anak serta merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak di masa depan. maka karena itu Presiden mengatakan bahwa “Kejahatan terhadap anak sebagai salah satu kejahatan luar biasa”.

Kejahatan luar biasa.

Bahwa kami menyampaikan apresiasi kepada pemerintah yang telah mengatakan bahwa kejahatan seksual anak merupakan kejahatan yang luar biasa, oleh karena kasus kejahatan seksual anak merupakan kejahatan luar biasa, maka pemerintah seharusnya menjalankan tugasnya dan kewajibannya dengan maksimal dalam rangka memberikan perlindungan dan pemulihanbagi korban dengan memberikan pemenuhan akan hak-hak korban yaitu hak untuk mendapatkan kompensasi bagi korban atau keluarga korban. Namun karena pemerintah setengah hati dalam memberikan perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual, dengan tidak dicantumkan hak-hak korban dalam peraturan tersebut.

Pemerintah tidak memikirkan korban

Pemerintah mengeluarkan peraturan ini secara terburu-buru tanpa mempertimbangkan masukan dari berbagai lapisan masyarakat, yang dimana masyarakatnya masih pro dan kontra terkait dengan rencana pemerintah untuk menerbitkan pelicu kebiri dalam PERPPU ini, Banyak alasan masyarakat melakukan penolakan terhadap rencana pemerintah menerbitkan PERPPU ini, diantaranya adalah pemerintah hanya sibuk untuk memberikan penghukuman bagi pelaku kejahatan seksual dengan tujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku, namun pemerintah lupa memikirkan untuk memprioritaskan korban untuk memberikan keadilan, perlindungan baik secara fisik maupun psikis bagi anak-anak yang menjadi korban dan melakukan pemenuhan hak-hak korban yang terjadi karena dampak dari kejadian yang telah dihadapi oleh korban.

Bahwa kami melihat bahwa Peraturan pemerintah yang telah diterbitkan tersebut, tidak ada satu pasal pun yang mencantumkan mengenai korban, khususnya pasal yang mengatur untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban.

Pemerintah Kurang Bertanggungjawab

Sikap pemerintah yang mengeluarkan Peraturan ini tanpa melalui proses keterlibatan masyarakat dalam memberikan masukan merupakan sikap arogan dalam mengeluarkan keputusan yang berdampak pada warga negaranya. Sikap pemerintah seperti ini merupakan salah satu sikap yang tidak bertanggungjawab, pemerintah lari atau lepas tangan dari tanggungjawabnya untuk melakukan penegakan hukum yang baik di Indonesia. Pemerintah seharusnya melakukan sikap yang komperensif dalam memberikan perlindungan bagi anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual

Penjatuhan hukuman Mati dan Kebiri merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Indonesia telah ikut serta meratifikasi Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan itu pun telah dtuangkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia, dengan adanya penjatuhan hukuman mati bagi pelaku, merupakan salah satu bentuk sikap pemerintah yang tidak memberikan penghormatan pada hak asasi manusia. Selain itu pemerintah telah melanggar perjanjian internasional tentang DUHAM, Hal ini pun tertuang dalam konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia diantaranya Konvenan Hak Sipil dan Politik (SIPOL), Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi CEDAW dan juga Konvensi Hak Anak (CRC), Hukuman badan merupakan salah satu bentuk penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat manusia.

Maka berdasarkan itu kami menyampaikan kepada pemerintah bahwa kami akan mengambil sikap tegas atas keputusan pemerintah dalam mengeluarkan PERPPU tersebut dengan:

  1. Kami dari koalisi masyarakat sipil mengutuk keras atas sikap pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan tanpa mempertimbangkan masukan dari masyarakat, pemerintah tidak transparan dalam membuatkan peraturan yang dimana peraturan tersebut tidak memberikan dampak yang baik bagi korban kejahatan seksual;
  2. Kami mengatakan bahwa pemerintah seharusnya mengeluarkan peraturan untuk memberikan hak-hak korban yaitu hak untuk mendapatkan kompensasi yang komprehensif dari negara;
  3. Kami menyampaikan seharusnya pemerintah melakukan proses pemulihan (rehabilitasi) yang maksimal bagi korban kejahatan seksual anak;
  4. Dengan ini kami masyarakat sipil menyampaikan bahwa kami akan siap untuk mengajukan JUDICIAL REVIEW ke Mahkammah Konstitusi terkait dengan Peraturan tersebut, kami akan menggalangkan dukungan dan solidaritas dari masyarakat seluruh Indonesia dalam melakukan Judicial Review tersebut.

Aliansi 99, ICJR, ELSAM, ECPAT Indonesia, LBH Apik Jakarta, Asosiasi Apik se-Indonesia, MAPPI, LBH Jakarta, YLBHI, Forum Pengada Layanan, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Masyarakat, PBHI, SAPA Indonesia, LBH Pers, PKBI,, WALHI, KePPak Perempuan, Institute Perempuan, HRWG, CEDAW Working Group (CWGI), Perempuan Mahardika, Positive Hope Indonesia, KONTRAS, Perkumpulan Pendidikan Pendampingan untuk Perempuan dan Masyarakat, (PP3M) Jakarta, OPSI, Lentera Anak Pelangi, PSHK, LDD, SAMIN, Gugah Nurani Indonesia, Sahabat Anak, Perkumpulan Magenta, Syair.org. Tegak Tegar, Simponi Band, YPHA, Budaya Mandiri, IMPARSIAL, Yayasan PULIH, Kriminologi UI, Aliansi Pelangi Antar Bangsa, KPKB, Institute Kapal Perempuan, ANSIPOL, Lembaga Partisipasi Perempuan, Kalyanamitra, Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan dan Anak (IPPAI), Aman Indonesia, Indonesia Beragam, Yayasan Cahaya Guru, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), PEKKA, Migrant Care, Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berprespektif Gender seluruh Indonesia (APPHGI), INFID, RAHIMA, Association for Community Empowerment (ACE), Perkumpulan Rumpun, Sejiwa, LPBHP Sarasvati, SAPA Institute- Bandung, LeIP, TURC, Masyarakat Akar Rumput (MAKAR), Afy Indonesia, Rifka Annisa-Yogyakarta, IPPI (Ikatan Perempuan Positif Indonesia), SCN CREST (Semarak Cerlang Nusa), Aliansi Remaja Independen, Fahmina Institute, MITRA IMADEI, Yayasan Bhakti Makasar, Yayasan Kesehatan Perempuan, KOMPAK Jakarta, Assosiasi PPSW, Jala PRT, Cahaya Perempuan WCC, Rumah KITAB, SEPERLIMA, PKWG UI, PRG UI, Kajian Gender UI, Flower Aceh, Perkumpulan Harmonia, Yayasan Nanda Dian Nusantara, ILRC, Mitra Perempuan Women’s Crisis Center, PUSKA PA UI, Yayasan Jurnal Perempuan, Solidaritas Perempuan, Yayasan KAKAK Solo, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), PGI, YSSN Pontianak, Yayasan Setara Semarang, dan PKPA Medan



Related Articles

Peringatan Bom Bali 12 Oktober 2017: Momen Penting Untuk Mengingatkan Tanggung Jawab Negara Kepada Korban

Hari ini, 12 Okrober 2017, Indonesia dan beberapa negara memperingati serangan Bom Bali 1 yang ke15. serangan Bom Bali I telah

ICJR dan Solidaritas Perempuan Ajukan Hak Uji Materil Qanun Jinayat Aceh ke Mahkamah Agung

“Qanun Jinayat Aceh tidak hanya bertentangan dengan dengan Undang- Undang Republik Indonesia tapi juga mengabaikan dan melupakan semangat dari Perjanjian

ICJR Apresiasi Putusan Bebas Stella Monica di Pengadilan Negeri Surabaya: Segera Revisi UU ITE dan Evaluasi Jaksa dan Polisi yang Bertugas

Stella Monica Hendrawan (SM) pada Januari 2019 sampai dengan September 2019 menjadi pasien Klinik Kecantikan L’viors. Pada Desember 2019, SM

Verified by MonsterInsights