RKUHAP Belum Detail Atur Soal Penyadapan

Saat ini masing-masing institusi dapat melakukan penyadapan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Kini, aturan penyadapan tercantum dalam draf Revisi KUHAP (RKUHAP). Hal ini sebagai kodifikasi dari aturan penyadapan yang tersebar di berbagai peraturan perundangan. Hanya saja, aturan penyadapan dalam RKUHAP dinilai belum jelas dan gamblang.

Peneliti Imparsial Gufron Mabruri berpendapat, aturan penyadapan perlu dituangkan secara khusus dalam aturan tersendiri. “Pengaturan penyadapan itu harus dibuat UU tersendiri,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (7/11).

Penyadapan dalam dunia intelijen digunakan dalam rangka mengumpulkan informasi. Namun dalam intelijen, kata Gufron, penyadapan digunakan untuk memperoleh informasi dalam rangka menjaga keamanan negara dari ancaman musuh. Penyadapan dalam aspek intelijen bukan tidak mungkin berpengaruh terhadap pelanggaran HAM.

Dalam UU No.17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara,  misalnya. Penyadapan diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 32. Namun, sasaran penyadapan dinilai terlampau luas. Akibatnya, penyadapan dimungkinkan abuse of power. Bukan tidak mungkin dengan mengatasnamakan negara, masyarakat dapat seenaknya disadap. “Ini perlu diatur mana wilayah negara, mana ranah kebebasan masyarakat,” ujarnya.

Selain itu, dalam aturan penyadapan yang bersifat khusus harus mengatur mekanisme otoritas pihak yang memberikan perizinan penyadapan. Misalnya, intelijen dapat melakukan penyadapan sepanjang mendapat izin dari pihak yang memiliki kewenangan pemberian izin seperti pengadilan.

“Tak kalah penting, harus pula diatur batasan penyadapan. Dengan begitu, hasil penyadapan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,” kata Gufron.

Aturan penyadapan tertuang dalam beberapa perundangan. Misalnya, Pasal 75 huruf (i), 77, dan 78 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, dan UU No. 11 Tahun 2008 tengan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Gufron menilai aturan penyadapan dalam RKUHAP masih bersifat umum. Pasalnya, dalam RKUHAP tidak mengatur tata cara penyadapan, kewenangan, teknis penyadapan, mekanisme komplain, rehabilitasi. “Pengaturan penyadapan harus mengatur mekanisme komplain atas masyarakat yang merasa disadap, dan ada proses rehabilitasi,” ujarnya.

Anggota Badan Pekerja Indonesia Coruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, mengatakan dalam pemberantasan korupsi penyadapan merupakan senjata pamungkas. Emerson mempersoalkan penyadapan yang mengharuskan meminta izin terlebih dahulu kepada hakim pemeriksa pendahuluan (HPP) sebagaimana tertuang dalam Pasal 83 ayat (3) RKUHAP.

Ia juga menyorot Pasal 84 ayat (4) RKUHAP. Inti pasal tersebut,  jika HPP tidak memberikan izin penyadapan, maka penyadapan KPK dapat dihentikan. “Kita khawatirkan banyaknya kasus korupsi yang melibatkan hakim. Kalau KPK mau menyadap kolega atau atasan hakim atau HPP itu sendiri, terus izinnya ke ke mana? Ini tidak diatur dalam RKUHAP,” ujarnya.

Meski tidak sependapat dengan aturan permintaan izin sebelum melakukan penyadapan, Emerson berharap ada pengecualian bagi KPK dalam melakukan penyadapan sebagai upaya pemberantasan korupsi. Emerson meminta pasal penyadapan dikeluarkan dari RKUHAP.

“Posisi saya menolak klausul penyadapan dimasukkan dalam RKUHAP. Tetapi harus dibuat dalam UU tersendiri,” ujarnya.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, mengamini pandangan Gufron dan Emerson. Apalagi, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 31 ayat (4) UU 11 Tahun 2008. Terlebih, MK dalam putusannya mengamanatkan adanya aturan khusus penyadapan dalam sebuah UU tersendiri. Menurutnya, penyadapan dilakukan dengan aturan dan perundangan yang berlaku serta aturan teknis dan prosedur yang memadai.

Supriyadi mengatakan, aturan penyadapan di masing-masing peraturan dan perundangan terdapat perbedaan. Berdasarkan kajian ICJR, setidaknya terdapat 12 UU, 2 Peraturan Pemerintah (PP), 2 Permenkominfo, 1 Peraturan Kapolri dan 1 peraturan berupa SOP. Selain itu, ada 5 tata cara penyadapan yang berlaku di Indonesia. Perbedaan tata cara penyadapan ini tentu menjadi masalah besar.

“Nah, masing-masing lembaga memiliki kewenangan penyadapan dan aturan internal sesuai kebutuhan lembaga,” ujarnya.

Supriyadi mengatakan, tidak diaturnya prosedur pasca penyadapan dalam RKUHAP menjadi kelemahan tersendiri. Ia berpendapat, semestinya dalam RKUHAP mengatur penggunaan hasil penyadapan dapat dibuka di persidangan setelah mendapat penetapan hakim. Dengan kata lain, akses hasil penyadapan bersifat terbatas.

Hasil penyadapan pun digunakan hanya demi kepentingan penyidikan dan pembuktian di persidangan. Selain penggunaan hasil informasi, penyadapan harus sesuai dengan lingkup tindak pidana yang dijadikan dasar permintaan melakukan penyadapan. “Terakhir, rancangan KUHAP juga harus mengatur terkait penyuntingan, pemusnahan, dan penyimpanan materi hasil penyadapan,” ujarnya.

Sebenarnya, lanjut Supriyadi, RKUHAP dapat mengatur penyadapan. Namun, merujuk pada pada putusan MK, pengaturan penyadapan dalam RKUHAP sulit direalisasikan. Sehingga lebih tepat RKUHAP mengatur prinsip-prinsip lembaga yang diberikan kewenangan penyadapan, pemberian izin, serta pengaturan kekuatan pembuktian hasil penyadapan.

“Lebih baik dalam UU yang mengatur secara khusus mengenai penyadapan atau UU anti penyadapan,” pungkasnya.

Sumber: Hukumonline.com



Verified by MonsterInsights