Singgung Keistimewaan DPR, Pengamen Bersaksi di MK

Warga negara biasa langsung diproses hukum, sedangkan anggota DPR harus seizin MKD.

Pengujian UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Anggota MPR, DPR, dan DPD (UU MD3) yang dimohonkan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Sejarahwan JJ Rizal mempersoalkan Pasal 245. Pasal itu dinilai terlalu mengistimewakan dan melindungi anggota DPR karena menetapkan prosedur pemeriksaan anggota Dewan yang harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Dalam lanjutan persidangan, Kamis (9/10), pemohon diberi kesempatan oleh majelis Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghadirkan saksi dan ahli. Uniknya, saksi yang dihadirkan pemohon adalah Adro Supriyanto, seorang pengamen. Namun, Adro bukan pengamen ‘biasa’ karena Adro adalah korban salah tangkap oleh polisi.

Di hadapan majelis MK, Adro menuturkan pengalaman naasnya ketika ditangkap polisi atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan. Adro ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam kasus pembunuhan anak jalanan di Fly Over Cipulir, Jakarta Selatan.

Pemohon sengaja menghadirkan Andro untuk dijadikan sebagai pembanding, bagaimana seorang warga negara biasa menjalani proses hukum di Kepolisian hingga divonis bersalah oleh pengadilan. Apa yang dilalui Andro sangat berbeda dengan perlakuan anggota DPR yang diberikan keistimewaan dalam menjalani proses hukum melalui Pasal 245 UU MD3.

merujuk pada Pasal tersebut, anggota DPR yang diduga terkait tindak pidana, tidak bisa langsung dipanggil oleh penegak hukum. Polisi dan jaksa harus memperoleh izin dari MKD untuk memeriksa anggota dewan yang dimaksud.

“Sedangkan saya, langsung di bawa ke polisi. Mulanya saya diberitahu untuk dimintai keterangan sebagai saksi di Polda Metro Jaya. Tetapi, sampai di Polda saya digebuki, disetrum, disuruh mengaku jadi pelaku,” ungkap Andro dalam kesaksiannya.

Sekadar informasi, Andro sempat divonis tujuh tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena dinilai terbukti membunuh anak jalanan bernama Dicky di sekitar Cipulir, Jakarta Selatan. Beruntung, Adro dibebaskan oleh pengadilan tingkat banding setelah terungkap bahwa Adro sebenarnya adalah korban salah tangkap.

Dalam persidangan, Bivitri Susanti berpendapat adanya persyaratan izin pemeriksaan anggota DPR dari MKD merupakan bentuk intervensi kekuasaan kehakiman. Meski izin itu tidak berkaitan langsung dengan hakim, namun Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman mencakup proses peradilan secara luas.

“Sebab, prinsipnya aparat penegak hukum, mulai penyelidikan, penyidikan, hingga putusan pengadilan tidak boleh mendapatkan tekanan apapun,” ujar Bivitri.

Menurut dia, persyaratan izin untuk memeriksa anggota DPR tidak sejalan dengan prinsip negara hukum. Terlebih, dalam putusan MK No. 73/PUU-XI/2011, MK berpendapat “Adanya syarat persetujuan tertulis dari presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.”

Bivitri mengatakan keberadaan MKD yang anggotanya berjumlah 17 orang sebenarnya lembaga etik yang tidak memiliki hubungan langsung dengan sistem peradilan pidana. Oleh karenanya, Bivitri menilai tambahan wewenang MKD untuk memberikan izin pemeriksaan anggota DPR yang terlibat kasus hukum, berada di luar tugas lembaga etik.



Related Articles

Penghinaan, Alat Efektif untuk Lindungi Pejabat

WARTA KOTA, PASARMINGGU – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan, berdasarkan kecenderungan yang berkembang di lapangan ternyata tindak penghinaan

UU Perlindungan PRT: Kebutuhan Penting dan Mendesak bagi Pekerja Rumah Tangga!

Profesi Pekerja Rumah Tangga (PRT), masih dipandang “sebelah mata” oleh semua lapisan masyarakat, bahkan lapisan masyarakat tertinggi, dalam hal ini

Verified by MonsterInsights