Surat dari Poltangan – Cukup mengagetkan membaca sebuah berita yang dilansir Metro TV, dimana seorang anak berusia 9 tahun divonis bersalah karena membunuh teman bermainnya. Selain dinyatakan bersalah, DM, juga diwajibkan membayar biaya persidangan Rp 1.000. Menurut laporan Kompas, Setelah menjalani sidang lima kali, akhirnya Pengadilan Negeri Manokwari memvonis DM bersalah. Namun dia dibebaskan dari tahanan kota dan dikenai hukuman berupa dikembalikan kepada orangtuanya untuk mendapat pengawasan lebih ketat. Hakim Ketua PN Manokwari Helmin Somalay, Senin (10/10/2011), memutuskan bahwa DM, siswa kelas III SD Negeri Arowi, bersalah. Dia terbukti membunuh temannya yang juga masih berhubungan keluarga, AAR (12), pada akhir Juli lalu.
Menurut laporan dari Metro TV, DM dibawa ke meja hijau atas tuduhan membunuh AAR pada 25 Juli 2011. Ia menusukkan sebilah pisau ke leher AAR, setelah sebelumnya berebut kelapa kering. DM bisa melakukan itu lantaran sering menonton adegan kekerasan di televisi.
UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”
Sementara Pasal 1 ayat (2) menjelaskan bahwa “Anak Nakal adalah : a. anak yang melakukan tindak pidana; atau b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU 3/1997 maka seorang anak dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
Namun, bagaimana jika anak yang belum mencapai umur 8 tahun tersebut melakukan tindak pidana? maka Pasal 5 UU 3/1997 menjawabnya yaitu menyatakan:
“(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.
(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.”
Mengenai ketentuan batas usia anak yang dapat diajukan ke persidangan untuk dapat bertanggung jawab dalam perkara pidana sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 UU 3/1997 telah diubah melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Putusan No 1/PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011, batas minimum usia seorang anak dapat diadili di pengadilan dari 8 tahun menjadi 12 tahun.
Jika melihat kasus dalam berita yang dilaporkan Kompas dan Metro TV diatas maka MD sesungguhnya tidak dapat diadili, namun dapat diperiksa oleh penyidik dan kemudian sesuai ketentuan Pasal 5 UU 3/1997 penyidik segera membuat keputusan. Tetapi sepertinya Pengadilan Negeri Manokwari tak cukup awas akan perubahan batas minimum pertanggung jawaban anak yang telah diubah oleh MK melalui putusannya. Namun bisa jadi informasi perkembangan dan perubahan UU tidak sampai ke Papua, khususnya Manokwari dan bisa jadi juga ketiadaan advokat yang mendampingi anak tersebut selama proses pidana yang dijalaninya, sehingga penerapan ketentuan undang-undang tidak dilakukan dengan maksimal.
Sangat memprihatinkan peristiwa yang dialami MD tersebut, anak seusianya harus melakukan pertanggung jawaban hukum (pidana) atas kesalahan yang belum tentu dipahaminya. Apalagi perbuatan yang dilakukan merupakan akibat pengaruh tontonan televisi yang buruk, dimana anak seusia MD lebih banyak melihat dan meniru adegan tontonan yang dilihatya. Secara kejiwaan, masa anak-anak adalah periode yang rentan. Pada masa ini biasanya memiliki kepribadian yang belum stabil atau belum terbentuk secara utuh, atau dengan kata lain anak masih labil, dan gampang terpengaruh.
Usia 8 tahun anak untuk melakukan tanggung jawab hukum (pidana) sangatlah terlampau rendah. Semestinya seusia ini tidak diajukan ke persidangan. Bigitupula dengan kasus MD yang masih berusia 9 tahun. Selain tidak sesuai dengan perkembangan spikologis anak juga dapat mengancam hak pendidikan anak. Dan yang paling penting adalah telah melanggar hak konstitusional anak sebagaimana Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan diskriminasi”.
Hal ini pula yang dijadikan pertimbangan Hakim MK dalam putusannya, yang dikutip sebagai berikut:
“Bahwa Mahkamah berpendapat, batas umur 8 (delapan) tahun bagi anak untuk diajukan ke sidang dan belum mencapai umur 8 (delapan) tahun dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, secara faktual benar, umur a quo relatif rendah. Penjelasan Undang-Undang a quo menentukan batas umur 8 (delapan) tahun secara sosiologis, psikologis, pedagogis anak dapat dianggap sudah mempunyai rasa tanggung jawab. Meskipun dalam Undang-Undang Pengadilan Anak menerapkan pula asas praduga tak bersalah, menurut Mahkamah, fakta hukum menunjukkan adanya beberapa permasalahan dalam proses penyidikan, penahanan, dan persidangan, sehingga menciderai hak konstitusional anak yang dijamin dalam UUD 1945. Oleh karenanya, Mahkamah perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan (protection right) dan hak untuk tumbuh dan berkembang (development right), Mahkamah berpendapat bahwa konvensi internasional, rekomendasi Hak-Hak Anak PBB, dan instrumen hukum internasional lainnya batas umur 12 tahun dapat dijadikan perbandingan dalam menentukan batas usia minimal bagi anak dalam pertanggungjawaban hukum. Namun, Mahkamah berpendapat bahwa instrumen hukum internasional dan rekomendasi PBB tidak dapat dijadikan batu uji an sich dalam menilai konstitusionalitas batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak”;
Bahwa penetapan usia minimal 12 (dua belas) tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak telah diterima dalam praktik sebagian negara-negara sebagaimana juga direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment, 10 Februari 2007. Dengan batasan usia 12 (dua belas) tahun maka telah sesuai dengan ketentuan tentang pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) UU Pengadilan Anak. Penetapan batas umur tersebut juga dengan mempertimbangkan bahwa anak secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil serta sesuai dengan psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia, sehingga dapat bertanggung jawab secara hukum karena telah mengetahui hak dan kewajibannya. Selain itu, penetapan batas umur tersebut sesuai dengan semangat revisi KUHP yang akan memberikan batasan usia yang lebih tinggi untuk menghindari adanya pelanggaran konstitusional anak sebagaimana didalilkan para Pemohon yang sama dengan RUU Peradilan Anak yang memberikan batasan usia 12 (dua belas) tahun. Berdasarkan pandangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, batas umur minimal 12 (dua belas) tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, frasa sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pengadilan Anak dan frasa belum mencapai umur 8 (delapan) tahun dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak adalah inkonstitusional bersyarat, artinya inkonstitusional kecuali harus dimaknai telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sebagai ambang batas minimum pertanggungjawaban pidana;”
Perubahan dalam UU 3/1997 tentang pengadilan anak ini sepertinya diperlukan sosialisi yang lebih meluas lagi, sehingga kasus-kasus seperti yang dialami MD tidak akan pernah terulang lagi. UU 3/1997 sebagai undang-undang khusus (lex specialis) yang mengatur hukum acara untuk penanganan anak yang berhadapan dengan hukum diluar KUHAP, harus dijadikan acuan beracara yang utama dalam proses peradilan (pidana) anak.