Anak Korban Perkosaan diputus Lepas : ICJR Apresiasi Putusan Pengadilan Tinggi Jambi
Ketika Putusan Pengadilan Tinggi Jambi menggunakan alasan daya paksa, terlihat bahwa Majelis Hakim melihat kasus ini tidak hanya secara hitam putih, melainkan ada ketelitian dalam melihat kondisi korban. Hal ini sesuai dengan Amicus Curiae yang telah dikirimkan ICJR yang mencatat pentingnya melihat pengaruh daya paksa atau keadaan memaksa atau keadaan darurat atau overmacht dalam kasus ini sesuai dengan Pasal 48 KUHP.
Kabar baik datang dari Pengadilan Tinggi Jambi (PT Jambi), Mejelis Hakim di PT Jambi dalam Perkara “Anak” yang dijerat pidana penjara 6 bulan pada Putusan Pengadilan Negeri Muara Bulian atas perbuatan aborsi akhirnya memutus lepas Anak korban perkosaan dan melepaskannya dari segala tuntutan.
ICJR memberikan apresiasi tinggi bagi Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jambi dalam putusan ini, terkhusus karena Majelis Hakim pada perkara ini berani untuk mengambil langkah yang sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang ada di Indonesia dengan menggunakan ketentuan “daya paksa” sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”.
Menurut ICJR, ketika Majelis hakim menggunakan alasan daya paksa, terlihat bahwa Majelis hakim melihat kasus ini tidak hanya secara hitam putih, melainkan ada ketelitian dalam melihat kondisi korban. Hal ini juga sesuai dengan Amicus Curiae yang telah dikirimkan ICJR pada tanggal 6 Agustus 2016 ke PT Jambi yang mencatat pentingnya melihat pengaruh daya paksa atau keadaan memaksa atau keadaan darurat atau overmacht dalam kasus ini sesuai Pasal 48 KUHP.
ICJR menilai bahwa dalam hal penggunaan Pasal 48 KUHP untuk kasus aborsi yang sejenis, Putusan ini dapat dijadikan Landmark Decision (putusan penting) bagi penegakan hukum dan peradilan di Indonesia. Korban seringkali dipandang tidak seimbang utamanya bagi perempuan dan untuk kasus seperti aborsi. Melihat kondisi korban yang diduga melakukan tindak pidana harus dilakukan secara teliti, sekali lagi hukum tidak bisa dipandang hanya hitam dan putih, hukum harus menjamin rasa keadilan dan melihat kondisi pelaku tindak pidana, apalagi korban yang dianggap melakukan tindak pidana karena terpaksa.
ICJR juga mengarisbawahi bahwa dari kasus ini harus ada perombakan perspektif bagi aparat penegak hukum khususnya polisi dan jaksa dalam menangani kasus Anak dan Perempuan. Untuk Mahkamah Agung, putusan di tingkat pertama di PN Muara Bulian merupakan tanda waspada, bahwa berarti Perma No 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum belum terimplementasi dengan baik. Lebih jauh, putusan ini juga lampu kuning bagi perkembangan hukum pidana karena terlihat baik Polisi, Jaksa dan Hakim di tingkat pertama belum fasih melihat ketentuan KUHP khususnya penggunaan pasal 48 KUHP, padahal untuk kasus-kasus seperti ini penggunaan perspektif dan ketelitian sangat dibutuhkan dari seluruh aparat penegak hukum.
Dalam konteks regulasi, ICJR menekankan pentingnya melihat lagi pengetatan penggunaan pidana aborsi dalam hukum pidana. Mengikuti ketentuan UU Kesehatan, maka dalam kondisi alasan indikasi medis dan korban perkosaan, aborsi harus dipertimbangkan sebagai perbuatan yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Untuk itu, Pemerintah dan DPR perlu segera memastikan diaturnya regulasi tentang pengecualian pidana aborsi bagi salah satunya korban perkosaan. Sebagai catatan, dalam Pasal 502-504 RKUHP (draft 9 Juli 2018), pengecualian mengenai pidana aborsi yang dilakukan dengan alasan korban perkosaan, tidak diakomodasi oleh Tim Perumus RKUHP. Pengecualian pemidanaan hanya berlaku bagi dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan, namun tidak berlaku bagi perempuan yang kandungannya digugurkan itu sendiri. Bahkan RKUHP, secara spesifik mengkriminalisasi perempuan yang melakukan aborsi, tanpa melihat latar belakang perempuan tersebut. Rumusan RKUHP seperti ini dapat menimbulkan kekhawatiran terjadinya kembali kriminalisasi terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi.
Terakhir tentu saja ICJR mendorong pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait untuk memberikan perlindungan dan penanganan medis dan psikologis bagi Anak korban perkosaan di Jambi ini. Anak perlu dijamin hak untuk direhabilitasi serta mendapatkan ganti rugi atas proses pidana yang selama ini telah berjalan berdasarkan ketentuan dalam KUHAP.
Untuk melihat putusan PT Jambi yang melepaskan WA klik di sini
———————–
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut bit.ly/15untukkeadilan
Artikel Terkait
- 21/07/2018 ICJR: Pemidanaan Anak Korban Perkosaan di Jambi Bukan Langkah Tepat
- 13/09/2018 ICJR Kritik Rencana Jaksa yang Akan Ajukan Kasasi atas Putusan Lepas WA: Mahkamah Agung Harus Tolak!
- 07/08/2018 ICJR Kirim Amicus Curiae Kepada Pengadilan Tinggi Jambi untuk Perkara Nomor 6/PID.SUS-Anak/2018/JMB, Korban Perkosaan yang dijerat Pidana atas Perbuatan Aborsi
- 05/08/2018 3 Tuntutan Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan: “Jangan Hukum Korban Perkosaan!”
- 14/07/2018 Korban Perkosaan di Bogor Meninggal Akibat Depresi: Pentingnya Negara Lebih Peduli kepada Korban
Related Articles
Indonesia: Release 15-year-old rape survivor jailed for abortion
Amnesty International Indonesia and the Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) call on Indonesian authorities to unconditionally and immediately release
ICJR: Dalam Kasus Samirin Jaksa Penuntut Umum dan Pengadilan Harus Perhatikan Penerapan Restorative Justice
Harusnya Aparat Penegak Hukum Bisa Menerapkan Prinsip Restorative Justice Lewat Penggunaan Asas Oportunitas di Penuntutan dan Penerapan Perma No. 2 tahun 2012
Komite KuHAP : Pemeriksaan Novel Baswedan Melanggar KUHAP
Kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Polisi dalam Kasus Novel Baswedan tunjukkan bahwa perlu untuk mendorong KUHAP baru Penangkapan penyidik KPK Novel