Situasi perkawinan anak di Indonesia telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data dari Unicef, per 2017, Indonesia menduduki peringkat 7 perkawinan anak di dunia dan posisi ke-2 di Negara ASEAN berdasarkan data council of foreign Relation. Menurut Badan Pusat Statistik pada 2016, 17% anak Indonesia menikah. Provinsi dengan tingkat perkawinan anak paling tinggi antara lain Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah. Data BPS pada 2016 menunjukkan bahwa 17% anak Indonesia kawin pada usia sebelum 18 tahun, 22,82% perempuan usia 20-24 tahun telah melangsungkan perkawinan pertama sebelum ulang tahun ke-18. Sementara itu, usia di bawah 16 tahun yang telah menikah sebanyak 3,54%, dan anak usia 15 tahun yang telah kawin sebanyak 1,12%. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak.
Salah satunya adalah faktor hukum.
Hukum yang diatur oleh Indonesia memberi ruang besar terjadinya perkawinan anak. Disatu sisi, Indonesia telah meratifikasi konvensi Hak Anak dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dan telah mengesahkan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai orang yang belum berusia 18 tahun serta mengatur peran serta orang tua dalam mencegah perkawinan anak sebagaimana Pasal 26 UU Perlindungan Anak. Namun disisi lain, Indonesia masih memiliki hukum buatan tahun 1974 (UU Perkawinan) yang melegalkan setiap anak di Indonesia melakukan perkawinan anak.
Terdapat dua norma dalam UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang melanggengkan perkawinan anak, yakni :
- Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan memperbolehkan perkawinan anak untuk anak perempuan dengan batasan usia perkawinan untuk anak perempuan 16 tahun
- Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan memperbolehkan perkawinan anak untuk perempuan dan laki-laki dengan adanya mekanisme dispensasi perkawinan.
Koalisi 18+ melakukan penelitian pada 2016 memeriksa praktik dispensasi perkawinan pada Pengadilan Agama di 3 wilayah di Indonesia yang angka perkawinan anaknya tinggi, yaitu Kabupaten Mamuju, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bogor. Pengambilan data putusan dispensasi perkawinan anak di Pengadilan Agama ketiga wilayah tersebut diambil dengan interval waktu tahun 2013 sampai dengan 2015. Hasilnya, dari 377 permohonan dispensasi yang diajukan sekitar 97,6% permohonan dikabulkan.
Salah satu permasalahan dalam UU Perkawinan Indonesia adalah pengajuan dispensasi dilakukan oleh orang tua/wali, hal ini lah yang membuat anak tidak dapat menolak permohonan dispensasi tersebut. Alasan utama Pemohon Dispensasi mengajukan dispensasi yakni anak tersebut telah berpacaran/ bertunangan (98%). Ketentuan yang mengatur bahwa permohonan dispensasi diajukan oleh orang tua menyebabkan anak yang menjalankan perkawinan tidak diketahui apakah ia menghendaki perkawinan atau tidak.
Sementara itu permohonan yang ditolak hakim sangat sedikit yakni sebanyak 2,66%. Itu pun terjadi hanya karena masalah administrasi dan prosedural, misalnya subjek dispensasi tidak hadir. Hal yang mengkhawatirkannya lagi, dari 377 permohonan tersebut, hanya 1 putusan yang ditolak hakim karena pertimbangan pelanggaran hak anak. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan Dispensasi Perkawinan sangat minim menggunakan prinsip mengutamakan kepentingan terbaik untuk anak (the best interest for the child).
Potensi maraknya kawin anak kemudian diperparah dengan pengaturan yang tertuang dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasal 446 RKUHP (Draft Mei 2018) mengkriminalisasi setiap bentuk persetubuhan di luar perkawinan dengan ancaman pidana maksimal 2 tahun penjara. Delik yang diatur dalam pasal ini merupakan delik aduan, berdasarkan aduan orang tua atau anak. Dalam konteks perkawinan anak, pengaturan ini secara jelas akan melanggengkan praktik perkawinan anak. Karena dengan adanya ancaman pidana, maka dispensasi perkawinan yang dikarenakan kekhawatiran orang tua akan tumbuh subur sehingga anak akan memilih dikawinkan, daripada dipidana.
Melalui praktik ini, dapat disimpulkan bahwa perkawinan anak seolah menjadi solusi atas setiap permasalahan orang dewasa, dan mengorbankan anak perempuan. Permasalahan moral yang berdasarkan pada asumsi negatif orang dewasa terhadap anak, kesulitan ekonomi orang tua, keinginan meningkatkan derajat keturunan, maupun tuntutan tradisi lantas dijawab dengan mengawinkan anak. Anak perempuan menjadi penanggung beban, dan semakin tidak berdaya karena kehilangan akses pendidikan, mengalami ancaman serius kesehatan, dan ekonomi keluarga. Pada akhirnya situasi ini menambah erat cengkraman rantai kemiskinan.
Salah satu upaya strategis untuk menghentikan perkawinan anak adalah dengan mengeluarkan kebijakan yang menaikan batas minimal usia perkawinan perempuan dari 16 menjadi, sekurang-kurangnya, 18 tahun. Namun upaya untuk mengubah kebijakan nasional yang memperbolehkan perkawinan anak seolah hanya setengah hati. Padahal Indonesia lewat program nawacita mempromosikan wajib belajar 12 tahun, dengan demikian perkawinan anak semestinya tidak terjadi. Upaya untuk menaikkan usia minimal kawin dalam Pasal 7 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 telah dilakukan sejak tahun 2014 dengan diajukannya permohonan pengujian UU Perkawinan, namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan kebijakan soal umur menjadi pilihan pemerintah. Dengan demikian upaya untuk mencegah perkawinan anak bertitik tolak pada kebijakan pemerintah. Pemerintah sudah mewacanakan untuk mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mencegah perkawinan anak sejak tahun 2016. Namun hingga kini tidak ada tindak lanjut dari upaya ini.
Semangat menghentikan perkawinan anak dari pemerintah seolah timbul tenggelam hanya karena euphoria maraknya kasus-kasus perkawinan anak di berbagai daerah di Indonesia akhir-akhir ini seperti di Bantaeng, April 2018 dan Banjarmasin, Juli 2018 yang direspon secara sporadis namun nihil output komitmen Pemerintah yang dituangkan melalui kebijakan level nasional. Koalisi 18+ juga tengah mengajukan permohonan uji materil kembali ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, untuk mengubah usia minimal perkawinan anak perempuan agar sama dengan laki-laki, menjadi 19 tahun, namun sudah lebih dari satu tahun proses persidangan perkara ini mangkrak di Mahkamah Konstitusi.
Usaha mencegah dan menghentikan perkawinan anak pun juga diperparah dengan munculnya wacana kriminalisasi beberapa permasalahan yang berkaitan dengan moral anak dalam RKUHP, seperti kriminalisasi seluruh persetubuhan di luar perkawinan, yang akan menyuburkan perkawinan anak. RKUHP juga mengkriminalisasi semua perempuan yang melakukan aborsi tanpa mengatur pengecualian untuk indikasi kedaruratan medis yang akan mengkriminalkan anak perempuan dengan kehamilan beresiko tinggi, maupun anak korban perkosaan. Lewat upaya ini, secara jelas, Pemerintah justru akan mendorong anak-anak perempuan untuk segera dikawinkan begitu diketahui hamil, atau jika dicurigai akan mengarah ke perilaku yang menimbulkan kehamilan.
Atas dasar hal tersebut, Koalisi 18+, dalam peringatan Hari Anak Nasional meminta Presiden untuk :
- Segera menerbitkan kebijakan tingkat nasional untuk mencegah dan menghentikan praktik perkawinan anak
- Menaikkan usia minimal perkawinan anak menjadi, sekurang-kurangnya, 18 tahun
- Menerbitkan panduan bagi para hakim dalam memutus perkara dispensasi usia perkawinan yang memperhatikan peran anak
- Menghapuskan ancaman pidana terhadap persetubuhan di luar perkawinan dan tindakan aborsi, dengan mempertimbangkan situasi kedaruratan kesehatan fisik, psikis, maupun seksual perempuan serta menjamin kepentingan terbaik anak.