Penyandang disabilitas secara konstitusional mempunyai hak dan kedudukan, yang sama di depan hukum dan pemerintahan. Namun Penyandang disabilitas sebagai warga negara umumnya akan berhadapan dengan berbagai hambatan yang dapat menghalangi partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam masyarakat. Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), salah satunya isu krusial terkait dengan Disabilitas di indonesia adalah aspek yang terkait dengan hukum pidana. ICJR melihat ada 4 aspek-aspek penting hukum pidana di Indonesia yang sangat terkait dengan disablitas dalam RUU tersebut . aspek –aspek tersebut dalam catatan ICJR yakni:
Pertama terkait aspek pertanggungjawaban pidana disabilitas.
Dengan berbagai hambatan yang dapat menghalangi partisipasinya bukan berarti penyandang disabilitas jenis tertentu menjadi kebal hukum atau tidak tidak dapat di tuntut dalam hal melakukan suatu tindak pidana. Pasal 9 huruf b, RUU secara tegas menyatakan bahwa penyandang disabilitas diakui sebagai subjek hukum yang konsekuensinya dapat menuntut atau dapat dituntut subjek hukum lain di muka pengadilan.
Disamping itu ukuran yang digunakan untuk menentukan seseorang dapatmempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana dilihat dari kemampuan bertanggung jawab orang tersebut. Hanya orang-orang yang mampu bertanggung jawab saja yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya.Khususnya dalam konteks penyandang disabilitas, kemampuan bertanggungjawab tersebut dapat dilihat dari hasil pemeriksaan psikolog, psikiater, atau tenaga ahli profesional. Jika ternyata dalam hasil pemeriksaan tersebut, penyandang disabilitas dapat dikatakan mampu dan memiliki kemampuan bertanggung jawab, maka pertanggungjawaban pidana tetap dapat melekat pada penyandang disabilitas tersebut
Adapun mengenai ketidakcakapan hukum seorang penyandang disabilitas berdasarkan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) RUU Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa ketidakcakapan hukum Penyandang Disabilitas hanya dapat dinyatakan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri yang permohonannya didasarkan alasan yang jelas dan wajib melampirkan bukti dari psikolog, psikiater, atau tenaga ahli profesional.
Kedua aspek tindak pidana terhadap disabilitas.
Adapun Ketentuan Pidana yang termuat dalam Pasal 248-263 RUU ini, merujuk upaya kriminalisasi pada setiap orang yang melakukan tekanan atau diskriminasi terhadap penyandang disabilitas terkait hak milik, hak dalam pekerjaan, hak atas perlakuan tenaga medis yang adil, hak berpolitik, hak kemudahan akses, hak hidup, hak bertempat tinggal, hak bersekolah, hak untuk tidak dipasung, dikurung atau disakiti bagian tubuh lainnya, hak untuk tidak dilecehkan secara seksual, direndahkan martabatnya dimuka umum, dan memanfaatkan ketidakmampuan penyandang disabilitas untuk melakukan tindak pidana.
Ketiga Aspek kebutuhan khusus dalam sistem hukum acara peradilan pidana.
Dalam rangka untuk mewujudkan kesamaan hak dan tanpa diskriminasi, rupanya penyandang disabilitas memang memiliki kebutuhan khusus guna memenuhi kedudukan hukum dan hak asasi manusia yang sama dengan warga Negara Indonesia pada umumnya, termasuk pula dalam kaitannya dengan aspek hukum acara pidana. Pasal 37 RUU secara tegas menyebutkan Lembaga Penegak hukum wajib menyediakan akomodasi yang layak bagi Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan. Pasal 41 ayat (1) RUU ini, juga menyatakan bahwa Penyandang disabilitas intelektual yang telah menjadi terdakwa akan dikategorikan sebagai anak, Penyandang disabilitas intelektual yang didakwa melakukan tindak pidana, proses peradilannya menggunakan acara hukum peradilan anak ini berarti menggunakan model dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
Keempat terkait pengertian dan ragam disablitas,
RUU Disabilitas memberikan definisi dan mengatur ragam jenis Penyandang Disabilitas diantaranya meliputi Penyandang Disabilitas fisik; Penyandang Disabilitas intelektual; Penyandang Disabilitas mental; dan/atau Penyandang Disabilitas sensorik. Yang dimaksud dengan Penyandang disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir dikarenakan tingkat kecerdasan dibawah rata-rata. Sedangkan Penyandang disabilitas mental tingkat terganggunya tidak saja berkaitan dengan fungsi pikir, tetapi juga emosi dan perilaku.
Menurut ICJR beberapa aspek tersebut diatas sudah cukup mengakomodir kebutuhan disabilitas terkait hukum pidana. Namun ICJR merasa pengaturan tersebut belum cukup tegas dan jelas. Misalnya, pengertian jenis disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, disabilitas sensorik terdapat dalam penjelasan RUU. Kurang terkoneksinya antara RUU disabilitas dengan ketentuan R KUHP 2015 khususnya aspek pemidanaan bagi disabilitas pelaku pidana. Masih lemahnya perumusan jenis pidana dalam RUU. Masih belum jelas maksud RUU terkait penggunaan UU SPPA bagi proses peradilan disabilitas mental. Masih minimnya pengaturan hak-hak dasar disabilitas terkait prosedur hukum acara pidana (sinergitas dalam R KUHAP) dan lain sebagainya.
Oleh karena ICJR mendorong agar pembahasan RUU disabilitas baik DPR dan Pemerintah harus lebih memperkuat aspek-aspek tersebut yakni:
Pertama, DPR dan pemerintah harus pula memperhatikan rumusan-rumusan pengaturan disabiltas dalam aspek pidana yang saat ini persiapkan dalam dua rancangan undang-undang khusus pidana yakni Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP. Dua RUU ini juga tengah mengatur materi yang sama dengan RUU disabilitas terkait 3 aspek diatas. DPR dan pemerintah diharapkan segera mengidentifikasi dan melakukan harmonisasi pengaturan agar tidak saling bertolak belakang dengan semangat RUU disabilitas. ICJR juga mengajurkan agar proses adopsi UU SPPA bagi hukum acara peradilan disabilitas mental sebaiknya di perhatikan dengan sungguh-sungguh.
Kedua, DPR dan pemerintah secara konsisten menerapkan prinsip penting disabilitas terkait hukum pidana yang termuat dalam Konvensi disabilitas. 3 aspek diatas sebetulnya secara prinsip telah di termuat dalam Konvensi disabilitas.
Ketiga, ICJR berharap DPR membuka partisipasi yang lebih besar bagi para pihak untuk memberikan masukan dalam RUU disabilitas terutama dalam 3 isu tersebut diatas.