Oleh: Anggara
Para Napi (dan mungkin juga tahanan) melakukan “revolusi” di dalam LP Tanjung Gusta pada Kamis 11 Juli 2013 sekitar pukul 18.30 WIB. Salah satu penyebab para penghuni LP Tanjung Gusta melakukan “revolusi” adalah ketiadaan listrik dan air di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Para napi kemudian melakukan provokasi hingga timbul “revolusi” di lapas yang akhirnya berujung pada pembakaran LP Tanjung Gusta.
Namun, penyebab mendasarnya tak hanya itu, sebab sudah diketahui umum, bahwa pada umumnya Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM sudah kelebihan kapasitas yang menimbulkan situasi overcrowded. Khusus konteks Indonesia, amatlah sulit memisahkan secara tegas antara Lapas dan Rutan, karena seringkali ada tahanan yang dititipkan di Lapas begitu juga ada narapidana yang tidak pindah ke Lapas namun karena situasi tertentu merasa betah di Rumah Tahanan. Karena itu tak heran apabila masalah overcrowded tidak hanya melanda Lapas namun juga Rutan, dan LP Tanjung Gusta adalah salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang berada di bawah kontrol Kementerian Hukum dan HAM juga tak luput dari masalah yang sama. LP Tanjung Gusta yang awalnya didesain hanya untuk dihuni 1095 orang, saat ini dihuni oleh 2594 orang atau lebih dari 100%.
Konon, situasi overcrowded di Lembaga Pemasyarakatan atau rumah – rumah tahanan sudah terjadi sejak masa Belanda berkuasa. Tercatat pada 1845, 85% tahanan yang berada di ruang tahanan yang berada di bawah Gedung Balaikota saat itu (Sekarang: Museum Sejarah Jakarta) meninggal dunia karena terkena tifus, disentri, dan kolera. Penyebab utamanya adalah penghuninya sudah berlebih dari daya tampung rumah tahanan. Mengingat masalah yang sudah sangat akut tersebut yang dapat dilacak pada 1845, nampaknya pemerintah tidak pernah mau belajar dari sejarah dan tidak pernah secara serius berupaya untuk melakukan perbaikan baik dalam sistem penahanan prapersidangan ataupun kebijakan pemidanaan yang bertujuan untuk mengurangi tekanan terhadap rumah – rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
Mengubah kebijakan penalisasi dan penahanan pra persidangan.
Pada umumnya orang – orang yang menjadi tersangka dalam sebuah tindak pidana seperti “diwajibkan” untuk menghuni rumah – rumah tahanan. Salah satu pangkal penyebabnya adalah ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengenai syarat sahnya penahanan. Salah satu alasan yang paling penting untuk dapat dilakukan penahanan adalah apabila seseorang disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 5 tahun. Faktanya, para pembuat kebijakan di Indonesia, selepas gerakan reformasi bergulir, nampaknya senang dengan mengancamkan pidana penjara di atas 5 tahun untuk hampir semua perbuatan dengan hanya satu alasan: Efek Jera.
Hasil riset ICJR pada 2011 menunjukkan bahwa sejak 1946 hingga 2007, Indonesia terus memproduksi tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana di atas 5 tahun. Bila pada 1995 tindak pidana di luar KUHP yang diancam pidana di atas 5 tahun penjara “hanyalah” 215 tindak pidana, pada 2007 naik 100 persen menjadi 443 tindak pidana yang diancam dengan pidana diatas 5 tahun penjara. Situasi ini akan berbanding lurus dengan meningkatnya tekanan terhadap kapasitas hunian di rumah – rumah tahanan dan LP di seluruh Indonesia.
Dirjend Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM dalam laporan tahunannya telah meyebutkan bahwa sejak 2001 telah terjadi kelebihan kapasitas hunian di rumah – rumah tahanan dan LP di seluruh Indonesia, pada saat itu kapasitas hunian adalah sebesar 59.488 dengan jumlah penghuni mencapai 64.619 namun pada 2009 jumlah kapasitas hunian di rumah – rumah tahanan dan LP hanyalah bertambah hingga 90.853 dengan jumlah penghuni yang melonjak menjadi 132.372.
Tak hanya itu, sikap pengadilan yang “enggan” untuk memeriksa syarat “keadaan yang menimbulkan kekhawatiran” dalam pemeriksaan praperadilan juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya tekanan terhadap kapasitas hunian di rumah – rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Meski KUHAP dan Putusan MK No 018/PUU-IV/2006 telah menentukan dengan tegas agar pengadilan memeriksa dengan baik syarat “keadaan keadaan yang menimbulkan kekhawatiran” namun berdasarkan riset yang dilakukan oleh ICJR pada 2012, pengadilan lebih memilih jalan aman dengan menyatakan bahwa syarat “keadaan keadaan yang menimbulkan kekhawatiran” tersebut merupakan diskresi dari pejabat yang berwenang menahan yang tak dapat diuji di pengadilan.
Upaya Mahkamah Agung dengan menelurkan Peraturan MA No 12 Tahun 2012 untuk menyesuaikan nilai denda dan batasan tindak pidana ringan yang seharusnya ditindak lanjuti oleh pemerintah melalui perubahan UU juga tidak direspon dengan baik oleh pemerintah. Sejatinya upaya MA ini juga dapat menjadi titik awal dari salah satu upaya penting untuk mengurangi tekanan kapasitas hunian di rumah – rumah tahanan dan LP di seluruh Indonesia. Sekali lagi, Kementerian Hukum dan HAM nampak tak cukup jeli dalam melihat persoalan yang kadung sudah menjadi persoalan sistemik ini yang sulit diurai lagi pemecahannya.
Tanpa perubahan berarti dari sisi kebijakan penalisasi dan juga dari upaya kontrol terhadap mekanisme penahanan pra persidangan, apapun yang dilakukan oleh pemerintah untuk menambah jumlah kapasitas hunian melalui pembangunan lapas dan rutan baru, tidak akan pernah memecahkan masalah kelebihan kapasitas tempat – tempat penahanan. Situasi overcrowded di tempat – tempat penahanan dan lapas akan terus menerus menjadi momok yang menakutkan bagi pemerintahan di masa – masa yang akan datang.
Hal lain yang perlu segera dilakukan pemerintah daripada hanya duduk termangu menunggu pembahasan R KUHP di DPR, semestinya pemerintah sudah bisa membuat amandemen terhadap Pasal 10 KUHP dengan memasukkan ketentuan – ketentuan baru tentang jenis – jenis pidana yang di introdusir oleh pemerintah dalam Rancangan KUHP. Tak perlu menunggu Rancangan KUHP baru disahkan, namun dengan jalan melakukan amandemen terhadap Pasal 10 KUHP, maka kita bisa memulai pembenahan yang secara progresif dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap masalah kelebihan kapasitas di rutan dan lapas.
PP No 99 Tahun 2012: Hilangnya Akal Sehat
Filosofi dari pemasyarakatan adalah koreksi atau pembinaan dari terpidana, untuk itulah nama penjara yang sangat tidak manusiawi diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan. Semangat mendasar dari koreksi dan pembinaan tersebut yang rupanya seperti di lupakan oleh para pembuat kebijakan di pemasyarakatan. PP No 99 Tahun 2012 adalah peraturan pemerintah yang ditelurkan pada masa Menteri Amir Syamsuddin menjadi Menteri Hukum dan HAM yang bertujuan untuk mengetatkan pemberian Remisi, Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana yang terkait dengan kejahatan terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.
Khusus untuk pembebasan bersyarat selain diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf k UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pembebasan bersyarat juga diatur dalam Pasal 15, 15 a, 15 b, dan 16 KUHP. Dalam pasal 15 a ayat (1) ditentukan bahwa pembebasan bersyarat diberikan dengan syarat umum jika terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik. Dan terhadap pembebasan bersyarat dapat diterapkan syarat khusus yang juga parameternya telah ditentukan dalam Pasal 15 a ayat (2) yaitu “…boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik”
Entah disengaja atau tidak namun secara formal PP No 99 Tahun 2012 ini malah luput mencantumkan KUHP sebagai salah satu dasar hukum dalam pengetatan pemberian pembebasan bersyarat, remisi, dan asimilasi bagi narapidana. Dan lagipula PP No 99 Tahun 2012 telah menyimpang jauh dari syarat khusus mengenai pembebasan bersyarat yang ditekankan dalam KUHP yaitu soal “…kelakukan terpidana”.
PP No 99 Tahun 2012 juga menetapkan syarat memperoleh remisi yang tak mungkin dipenuhi oleh para pengguna narkotika yang dipenjara karena jika salah satu syarat terpenting seperti yang tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a adalah “bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya”. Karena pada dasarnya tindak pidana yang dilakukan oleh para pengguna narkotika adalah tindak pidana tunggal yang tidak terorganisir.
Kekeliruan mendasar dari PP No 99 Tahun 2012 adalah membatasi atau memperketat pemberian pembebasan bersyarat, remisi, dan asimilasi dengan hanya memandang pelaku tindak pidana berdasarkan kasusnya bukan berdasarkan kondisi yang melingkupi pelaku tindak pidana dan bobot tindak pidana yang dilakukannya. Seperti yang telah diketahui, kejahatan terorganisir apapun jenis kasusnya sangat terkait dengan pemberlakukan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dimana dalam kejahatan terorganisir pelaku sebuah tindak pidana dibedakan berdasarkan derajat peran yang dilakukan oleh pelaku. Yang harus diingat, kejahatan terorganisir tidak hanya kejahatan – kejahatan seperti yang disebutkan dalam PP No 99 Tahun 2012 namun juga melingkupi kejahatan – kejahatan lain yang dilakukan secara terorganisir. Bahkan untuk delik penghinaan sekalipun, ada juga yang dilakukan secara terorganisir.
Menyamaratakan pemberlakukan pembatasan pembebasan bersyarat, remisi, dan asimilasi bagi pelaku tindak pidana terorganisir berdasarkan kasus hanya akan menciptakan ketidakadilan yang akut dalam sistem pembinaan narapidana di Indonesia. Kalaupun pemerintah hendak memperketat ataupun membatasi atau bahkan mencabut pemberian pembebasan bersyarat, remisi, dan asimilasi bagi pelaku tindak pidana terorganisir mestinya pemerintah segera mengamandemen KUHP atau KUHAP agar Jaksa Penuntut Umum dapat mencantumkan dalam tuntutannya pembatasan hak – hak narapidana tersebut dan di tangan Pengadilanlah pembatasan yang dituntut Jaksa akan dinilai dan dijatuhkan vonisnya.
Melalui tahapan tersebut, maka terpidana yang berungkali membunuh atau melakukan pembunuhan secara berencana dan terorganisir, misalnya, dapat juga dicabut hak – haknya sebagai narapidana sehingga pembatasan tersebut tidak hanya terbatas pada kasus dan tindak pidana tertentu dengan melupakan factor pelaku dan derajat dan bobot dari peran yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Selain itu pembatasan hak narapidana melalui tangan pengadilan dapat dicegah kecenderungan kesewenang – wenangan yang dapat dilakukan oleh pemerintah
Mengefektifkan pidana bersyarat dan pidana denda
Upaya untuk mengurangi tekanan terhadap kelebihan kapasitas di rutan dan lapas di Indonesia juga harus melibatkan peran aktif dari Mahkamah Agung. Untuk itu pemerintah harus mendorong Mahkamah Agung untuk mulai melihat kembali mengenai kemungkinan penjatuhan pidana bersyarat selain juga membuka kemungkinan untuk memperbanyak penjatuhan pidana denda.
Memang perlu dilihat kembali syarat – syarat agar Pengadilan dapat menjatuhkan pidana bersyarat dan/atau pidana denda, misalnya untuk kejahatan – kejahatan yang tidak melibatkan kejahatan terhadap tubuh dan/atau pelaku kejahatan tersebut baru pertama kali melakukan tindak pidana dan/atau kejahatan tersebut bukanlah suatu kejahatan yang dapat dipandang sebagai kejahatan terorganisir.
Konsep restorative justice dalam bentuk yang klasik yang dikenal dalam Pasal 14 KUHP dapat diterapkan oleh Mahkamah Agung dan langkah ini dapat secara efektif membantu mengurangi tekanan terhadap masalah kelebihan kapasitas di Lapas. Konsep ini tentu membutuhkan peran hakim pengawas dan pengamat yang harus lebih diefektifkan kembali untuk dapat menunjang.
Namun meski putusan Mahkamah Agung dapat diakses melalui situs MA, namun sayang sulit untuk melihat dalam situs tersebut kejahatan apa saja yang paling banyak dijatuhi hukuman dibawah 1 tahun penjara, diantara 1 tahun hingga 5 tahun penjara, dan kejahatan mana saja yang dijatuhi hukuman di atas 5 tahun penjara. Bahkan untuk melihat berapa banyak putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara di bawah 1 tahunpun masih sulit dilihat, kecuali diolah secara manual.
Data ini penting agar Mahkamah Agung juga memiliki peran aktif dalam mendorong penggunaan pidana bersyarat dan juga pidana denda. Meski MA telah mengeluarkan Peraturan MA No 12 Tahun 2012 tentang perubahan nilai denda dalam KUHP, kebijakan untuk mengefektifkan pidana denda malah tidak terlihat digunakan secara efektif setidaknya dalam kasus – kasus penghinaan.
Dengan kedua langkah ini saja, melalui putusan – putusannya, Mahkamah Agung dapat berperan aktif dalam mengambil langkah untuk mengurangi tekanan terhadap masalah kelebihan kapasitas penghuni Lapas.
Akhirnya…
Kita harus dengan merekam ingatan dengan baik, bahwa Revolusi Perancis juga dimulai dari Penjara Bastille. Mungkin terlampau berlebihan menyamakan Revolusi Perancis yang dimulai dari Penjara Bastille dengan “Revolusi” yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta. Namun masalahnya adalah apakah pemerintah tetap “ngotot” untuk memilih membangun rutan dan lapas baru sambil tetap mengumandangkan jargon kosong atau memilih merombak total kebijakan pemidanaan yang saat ini berlaku. Pilihan pertama adalah pilihan mahal yang tidak bisa dicapai segera dan membutuhkan waktu berpuluh puluh tahun dan memiliki potensi besar dituding hanya sekedar politik pencitraan namun pilihan kedua adalah pilihan murah yang memiliki dampak jangka panjang dan lebih memiliki kaitan erat dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.