ICJR turut berduka sedalam-dalamnya dan bersimpati kepada keluarga atas meninggalnya korban-korban di dalam peristiwa di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022. Diberitakan, menyusul terjadinya peristiwa tersebut, 28 personel Polri yang terlibat di dalam tragedi Kanjuruhan telah diperiksa. Sayangnya, pemeriksaan tersebut diarahkan sebagai pemeriksaan “kode etik”. ICJR menegaskan bahwa tragedi ini bukanlah bentuk pelanggaran etik, melainkan sudah memasuki ranah pidana karena jatuhnya korban jiwa terjadi karena penggunaan kekuatan yang berlebihan, yang mana penggunaan kekuatan berlebihan tersebut tersebut dapat terprediksi dampak fatalnya ketika dilakukan ruang dengan keterbatasan akses keluar seperti stadion. Sangat penting bagi Polri untuk dapat memeriksa kasus ini dengan imparsial dan akuntabel, walaupun aktor-aktor yang terlibat adalah bagian dari kesatuan sendiri.
Penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of power) yang tidak proporsional dan menyebabkan kematian, sudah seharusnya diusut menggunakan jalur pidana. Bahkan, Polri sendiri telah mengakui dimulainya pemeriksaan pelanggaran ketentuan Pasal 359 dan 360 KUHP (menyebabkan kematian karena kealpaan). Pasal-pasal ini tentunya dapat digunakan, selain dengan Pasal 338 KUHP berkaitan dengan pembunuhan.
Beberapa kronologi yang diperoleh dari pemberitaan media maupun citizen journalism menunjukkan bahwa buruknya kontrol konflik massa yang dilakukan Polri sebagai penanggung jawab pengamanan di dalam stadion ketika peristiwa tersebut terjadi, menyebabkan orang-orang menuju pintu keluar pada waktu yang sama dan menimbulkan kepadatan. Dalam beberapa video yang beredar, terlihat adanya penggunaan gas air mata, walaupun standar pengamanan di lapangan sepak bola milik FIFA yang melarangnya. Gas air mata tersebut juga diarahkan kepada tribun penonton bahkan bukan pihak yang menimbulkan kerusuhan sama sekali. Kematian pun terjadi karena banyak orang terinjak-injak dan mengalami sesak nafas pada saat keluar stadion karena menghindari gas air mata yang terus diberikan aparat. Bahkan, sempat beredar video yang menunjukkan supporter memohon pihak pengamanan untuk tidak melemparkan gas air mata kepada penonton.
Dari kronologi tersebut, dapat dilihat kausalitas dari kematian para penonton tersebut, dan ini bukanlah permasalahan kode etik, melainkan sudah menjadi perbuatan pidana. Kausalitas antara perbuatan dan selama ini, meskipun penggunaan kekuatan telah diatur di dalam regulasi internal Polri melalui Perkap Nomor 1 Tahun 2009, namun penggunaan kekuatan yang berlebihan tidak pernah diperiksa dan dipertanggungjawabkan oleh pihak kepolisian secara tegas. Peristiwa ini harus menjadi titik balik Kepolisian untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena tidak seluruh kesalahan yang dilakukan personil adalah pelanggaran kode etik.
Berdasarkan hal-hal di atas, ICJR mendorong Kepolisian untuk secara tegas mengusut anggotanya yang telah melakukan pelanggaran pidana dan mempertanggungjawabkannya sesuai dengan jalurnya dan bukan hanya melalui jalur pemeriksaan etik.
Jakarta, 4 Oktober 2022
Hormat Kami,
ICJR