Dalam rapat paripurna DPR RI, Kamis, 30 September 2021, terdapat empat Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Keempat RUU tersebut yaitu RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang statusnya carry over usulan pemerintah, RUU perubahan atas UU Pemasyarakatan, RUU perubahan atas UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan RUU perubahan atas UU Badan Pemeriksa Keuangan. ICJR memberikan fokus lebih pada RKUHP dan Revisi UU ITE.
Pertama, terkait dengan RKUHP, meskipun pemerintah telah melakukan 12 kali sosialisasi, namun ICJR tetap mengingatkan kepada Pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM, agar tetap merujuk pada arahan dari Presiden untuk pendalaman materi RKUHP dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, baik elemen masyarakat sipil, pihak-pihak kritis maupun pihak-pihak yang akan terdampak keberlakuan RKUHP.
Selain itu ICJR mencatat setidaknya terdapat 24 isu dari banyak pasal-pasal yang masih perlu dikaji lagi dalam RKUHP. Dalam 24 isu itu, ICJR menilai masih ada masalah terkait overkriminalisasi yang akan berdampak pada overcrowding Lapas, pelanggaran hal privasi warga negara, terancamnya hak kelompok rentan dan minoritas, masih berorientasinya pemidanaan RKUHP pada pemenjaraan serta banyak hal lainnya. Hal-hal ini perlu dikaji secara mendalam, dan ICJR meminta agar pasal-pasal yang dibahas tidak terbatas pada 14 pasal yang diklaim bermasalah saja oleh pemerintah.
ICJR juga meminta agar pembahasan nantinya melibatkan lebih banyak lagi bidang dan kajian ilmu untuk melanjutkan pembahasan RKUHP. Pembahasan RKUHP, diharapkan harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan tidak terburu-buru. Selain itu, setiap pembahasan RKUHP harus dilakukan secara transparan dan akuntabel sebagai jaminan bahwa RKUHP adalah proposal kebijakan yang demokratis.
Terkait dengan RUU Pemasyarakatan. ICJR tetap pada posisi RUU ini harus dibahas pasca RKUHP disahkan, namun secara substansi, ICJR menilai bahwa perlu penguatan pada konsep pembinaan di luar Lapas yang sejalan dengan konsep restorative justice.
Kedua, terkait dengan RUU ITE. Sebelumnya, telah beredar luas mengenai matriks revisi UU ITE. ICJR menyerukan agar seluruh pasal – pasal yang bersifat duplikasi, multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE, seperti pasal 27, 28, 29 dan pasal 36 UU ITE, sudah seharusnya dicabut. Keberadaan pasal-pasal tersebut justru menimbulkan banyaknya masalah dalam sistem peradilan pidana dan isu HAM di Indonesia.
Selain itu, proses “fair trial” dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan dan mendukung pembaruan KUHAP dalam RKUHAP bahwa segala bentuk upaya paksa harus dengan izin pengadilan. ICJR juga menyoroti pasal baru yang perumusannya masih menimbulkan ruang multi tafsir, salah satunya penambahan Pasal 45C mengenai berita bohong. ICJR menilai bahwa perlu formulasi yang kuat dari pasal ini apabila ingin diatur dalam UU ITE. Serta terakhir, pengaturan mengenai blocking & filtering yang juga perlu direvisi agar tetap adanya mekanisme kontrol dan pengawasan.
Atas dasar catatan tersebut, ICJR meminta kepada Pemerintah dan DPR agar:
Pertama, Pemerintah dan DPR harus memastikan adanya perlindungan hak asasi manusia dalam setiap RUU-RUU yang baru saja dimasukan ke dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Kedua, Pemerintah dan DPR harus membuka akses-akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat atas ketiga RUU tersebut, termasuk mempublikasikan segera rancangan-rancangannya kepada publik, akses informasi, dengar pendapat yang lebih luas dan beragam kepada masyarakat Indonesia. Disamping, menjalankan proses penyusunan yang terbuka dan partisipatif, dengan sungguh-sungguh melibatkan publik selaku masyarakat terdampak regulasi.
Ketiga, Pemerintah dan DPR harus meninjau ulang substansi pasal-pasal yang berpotensi overkriminalisasi yang justru akan mengorbankan lebih banyak masyarakat.
Jakarta, 1 Oktober 2021
ICJR,
CP: Sustira Dirga