Berkaitan dengan penilaian terhadap fakta persidangan.
Dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor 83 PK/PID.SUS/2019, Mahkamah Agung menyatakan bahwa pertimbangan judex juris telah memuat substansi dari unsur Pasal 27 (1) jo. Pasal 45 (1) UU ITE. Pernyataan ini, dibangun berdasarkan argumen-argumen sebagai berikut:
- Mahkamah Agung berpendapat, Baiq Nuril telah terbukti memberikan informasi elektronik kepada orang lain yang mengandung muatan kesusilaan dengan cara merekam pembicaraan yang bermuatan melanggar kesusilaan antara dirinya dengan Haji Muslim.
- Mahkamah Agung menyimpulkan, bahwa sepanjang 1 tahun rekaman tersebut tidak diberikan kepada siapapun dan bahkan Bu Nuril sempat menolak permintaan HIM untuk memberikan isi rekaman tersebut, menunjukkan bahwa Ibu Nuril mengetahui dan menyadari konsekuensi apabila memberikannya kepada orang lain.
- Mahkamah Agung berpendapat, bahwa Ibu Nuril ketika mentransmisikan/mentransfer rekaman tersebut dari telepon genggam ke laptop milik HIM, melakukannya dengan sengaja dan dalam keadaan sadar serta tidak dibawah tekanan.
ICJR menilai, bahwa dalam pertimbangannya ini Mahkamah Agung sekali lagi gagal dalam mencermati fakta-fakta persidangan yang dikemukakan baik di dalam pengadilan tingkat pertama dan gagal dalam memahami konstruksi Pasal 27 (1) UU ITE yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”
Dalam konstruksi pasal tersebut, yang harus menjadi perhatian adalah bahwa tindakan yang dilarang adalah melakukan distribusi, transmisi, dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, bukan melakukan perekaman. Sehingga, fokus dalam pemeriksaan perkara ini oleh MA di tingkat PK seharusnya adalah: apakah benar Ibu Nuril melakukan distribusi, transmisi, dan membuat dapat diaksesnya suatu informasi elektronik yang bermuatan kesusilaan? Hal ini yang kemudian coba dijawab oleh MA dalam poin ke 4 pertimbangannya. Namun, justru disinilah MA melakukan kesalahan dalam menganalisis alat bukti yang dihadirkan di persidangan tingkat pertama.
Dalam pertimbangannya, MA mengatakan bahwa Ibu Nuril lah yang melakukan transmisi/transfer rekaman dari telepon genggam ke laptop milik HIM. Padahal, secara jelas di dalam pengadilan tingkat pertama, para saksi yang terdiri dari Saksi Husnul Aini dan Saksi Lalu Agung Rofiq (keduanya berada di tempat kejadian pada saat transmisi dilakukan) menyatakan bahwa yang melakukan transimisi/transfer adalah HIM, bukan Ibu Nuril. Bahkan, di dalam putusan kasasi, MA telah menyakan bahwa HIM lah yang telah meneruskan, mengirimkan, dan/atau mentransfer isi rekaman pembicaraan kepada Saksi Muhajidin, Saksi Muhalim, dan demikian seterusnya ke telepon genggam milik Lalu Wirebakti, Hj. Indah Deporwati, Sukrian, Haji Isin, dan Hanafi (lihat Putusan MA Nomor 574K/Pid.Sus/2018, hal 7). Jelas, hal ini merupakan suatu kekeliruan yang dilakukan oleh MA dalam menimbang fakta di tingkat PK, karena MA telah salah dalam mengidentifikasi siapa sesungguhnya pelaku tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum.
Berkaitan dengan alat bukti elektronik.
MA dalam poin pertimbangannya yang ke-5, mengatakan bahwa alasan PK yang mengatakan bahwa bukti elektronik yang diajukan di persidangan tidak sah dan tidak mengikat secara hukum karena telah berubah isinya tidaklah sah karena sejak awal persidangan bukti tersebut telah diperlihatkan dan diperdengarkan kepada Ibu Nuril dan tidak ada keberatan, sehingga tidak seharusnya keberatan tersebut diajukan apabila Ibu Nuril saja sudah menyatakan kebenaran isi dari rekaman. ICJR menilai, bahwa dalam pertimbangan ini, MA telah gagal di dalam memahami prosedur perlakuan alat bukti elektronik.
Bahwa sebelum dapat menyatakan kebenaran dari isi suatu alat bukti, MA memiliki kewajiban untuk terlebih dahulu menyatakan apakah alat bukti tersebut sah atau tidak. Dalam hal alat bukti tersebut sah, maka dapat digunakan untuk membuktikan perkara dengan kemudian melihat substansi dari alat bukti tersebut. Pada pengadilan tingkat pertama, majelis hakim yang memeriksa perkara telah menyatakan bahwa 5 barang bukti digital elektronik yang diajukan oleh Penuntut Umum, tidak dapat dijadikan dasar bagi Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan (Lihat putusan PN Mataram No. 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr, hal. 32). Pendapat Majelis Hakim ini didasarkan kepada beberapa alat bukti yakni: a) Berita acara pemeriksaan barang bukti digital, yang menyatakan di dalam seluruh barang bukti digital yang diajukan Polres Mataram, keseluruhannya tidak ditemukan data-data terkait dengan maksud pemeriksaan serta b) keterangan Ahli Teguh Arifiyadi yang menyatakan bahwa kualitas dan validasi bukti digital elektronik harus dipenuhi semua untuk dapat digunakan, yakni dengan indikator dapat diakses, dapat ditampilkan kembali, dapat dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 jo. Pasal 5 UU ITE.
Sayangnya, di dalam pemeriksaan tingkat kasasi, Majelis Hakim sama sekali tidak menyinggung masalah alat bukti elektronik ini. Padahal, masalah pembuktian di dalam perkara yang diadili berdasarkan ketentuan di dalam UU ITE adalah hal yang paling penting untuk kemudian diperhatikan.
Pertimbangan MA yang menyatakan bahwa karena tidak ada keberatan dari Ibu Nuril sejak awal diperdengarkannya rekaman pembicaraan di pengadilan, tidaklah relevan sama sekali di dalam perkara ini dan telah melenceng dari permasalahan hukum yang sebenarnya harus dijawab di dalam pemeriksaan PK perkara ini.
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan