Pada Rabu, 13 Januari 2021, Presiden Jokowi mengirimkan surat presiden (surpres) berisi calon tunggal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) atas nama Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Selanjutnya, calon tunggal Kapolri tersebut akan menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di komisi III atau komisi Hukum DPR RI pada Rabu, 20 Januari 2021.
ICJR mengingatkan bahwa Kepolisian memiliki peranan penting dalam proses tercapainya keadilan sehingga diharapkan Kapolri terpilih mampu menyusun langkah strategis untuk mengatasi berbagai tantangan penegakan hukum di Indonesia. Beberapa aspek penting yang harus menjadi catatan Kapolri ke depannya, yaitu:
Pertama, terkait akuntabilitas. Kapolri yang terpilih selanjutnya harus memastikan bahwa prinsip akuntabilitas dijalankan oleh Institusi Polri. Salah satu caranya adalah membuka ruang terhadap kritik, masukan maupun pengawasan eksternal yang dilakukan oleh lembaga lainnya, baik dari lembaga negara seperti Komnas HAM, Kompolnas, Ombdusman RI maupun dari organisasi masyarakat sipil. Selain itu, Kapolri selanjutnya juga harus fokus pada agenda pemberantasan korupsi, baik itu di Internal maupun eksternal institusi kepolisian. Masyarakat masih menilai bahwa praktek suap dan pungutan liar masih terjadi ketika berurusan dengan polisi.
Kedua, Kapolri selanjutnya harus berani dalam mereformasi institusi kepolisian sebagai bagian mendukung nilai-nilai demokrasi, seperti halnya dalam menahan diri khususnya dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kepolisian harus berdiri secara imparsial dalam menindak pelaku dan tidak boleh menjadi alat kekuasaan politik manapun. Kapolri selanjutnya harus memastikan bahwa Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 8/2009) dijalankan oleh setiap anggota, baik di pusat maupun daerah.
Ketiga, Kepolisian juga harus berbenah dan berusaha menahan diri dari excessive use of force atau penggunaan kekuatan secara berlebihan. Hal itu tercermin dalam cara aparat kepolisian menangani aksi unjuk rasa damai, seperti Reformasi Dikorupsi 2019 maupun Mosi Tidak Percaya 2020. Korban yang menjadi sasaran kekerasan kepolisan bukan hanya peserta unjuk rasa, melainkan juga para jurnalis atau wartawan yang seharusnya mendapatkan jaminan akses peliputan dan perlindungan dalam bertugas meliput berita. Selain itu, masih juga ditemukan praktik penyiksaan maupun unlawful killing, sampai dengan extra judicial killing yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Namun sayangnya, kasus-kasus tersebut minim evaluasi atau umunya hanya diselesaikan dengan mekanisme internal etik/disiplin dibandingkan proses peradilan pidana.
Keempat, untuk menyambut agenda RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang masuk dalam Prolegnas Priotitas 2021, maka Polisi harus turut aktif dalam melindungi korban kekerasan seksual, masih banyak ditemui kasus dimana Polisi tetap melanjutkan proses pidana bagi korban-korban kekerasan seksual. Kapolri baru juga harus mulai menyusun aturan-aturan internal untuk memastikan koordinasi dan penyediaan layanan bagi korban kekerasan seksual yang melapor ke polisi secara komprehensif, seperti layanan Kesehatan darurat dan pemulihan lainnya.
Kelima, Kapolri selanjutnya juga harus mendorong pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice dalam menjalankan tugasnya selaku aparat penegak hukum. Polisi perlu untuk melihat perlindungan korban dan meyeimbangkannya dengan pemulihan bagi pelaku. Seperti halnya menggunakan kewenangan diskresi untuk menyelesaikan perkara berdasarkan aturan yang berlaku, memaksimalkan asesmen penyalahguna dan pecandu narkotika, penyelesaian kasus tindak pidana yang melibatkan anak dengan mekanisme diversi atau penyelesaian di luar sistem peradilan pidana konvensional, serta memperhatikan dan menghitung kerugian korban dalam suatu tindak pidana.
Kepolisan merupakan salah satu lembaga yang paling banyak mendapatkan catatan terkait sector pembaruan sektor peradilan di Indonesia. Masalah-masalah yang menajadi sorotan Presiden seperti Rutan dan Lapas yang overcrowding juga dapat terselesaikan apabila Kepolisian dapat melakukan reformasi secara menyeluruh. Berdasarkan pentingnya peran itu, maka ICJR meminta agar DPR dengan sungguh-sungguh memastikan komitmen reformasi menyeluruh ini dimiliki oleh Kapolri yang baru.