Catatan Kritis Atas RUU Pemberantasan Terorisme Tahun 2016
Merespon peristiwa bom dan serangan di kawasan Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016, Pemerintah berencana akan melakukan langkah-langkah kebijakan terkait politik hukum nasional.Dengan mewacanakan revisi UU No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan kebijakan baru yang lebih menitikberatkan pada upaya preventif. Maka pada akhir Januari 2016, Pemerintah kemudian memfinalkan RUU Pemberantasan Terorisme dan di Februari 2016 pemerintah menyerahkan naskah rancangan tersebut kepada DPR secara terbatas.
Dalam naskah tersebut beberapa muatan baru dalam RUU, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melihat beberapa persoalan krusial yakni: Pertama persoalan hak asasi manusia yang minim, dalam aspek prosedut dan jangka waktu penangkapan, penahanan, pencegahan tersangka terorisme. Seluruh aspek tersebu terlihat eksesif melanggaran prinsip HAM. Titik tekan dalam naskah revisi UU No. 15 Tahun 2003 yang diajukan pemerintah ke DPR RI adalah penambahan kewenangan aparat hukum dalam pencegahan dan penindakan terorisme.
Kedua isu korban nyaris terabaikan. Isu korban tindak pidana terorisme tenggelam dalam hiruk pikuk pembahasan seputar pelaku dan jaringannya, serta aksi aparat negara dalam upaya pencegahan dan penindakan terorisme. Sekilas hal ini menunjukkan, perbincangan terorisme lebih berorientasi kepada pelaku (offender oriented) ketimbang korban (victim oriented). Padahal korban merupakan subyek yang paling terzalimi akibat kesadisan aksi terorisme. Hal-hal membahas soal kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi korban terorisme tak tersentuh revisi sama sekali. Besarnya orientasi pada pelaku terorisme dan minimnya sensitivitas terhadap penderitaan korban sangat terlihat dalam RUU ini.
Paper ini merupakan perbaikan dari catatan kritis dari ICJR yang pernah disampaikan kepada DPR dalam RDPU pembahasan RUU terorisme di Pansus RUU terorisme DPR di Bulan Mei Tahun 2016 lalu. Paper ini lebih banyak mengeksplorasi mengenai hal-hal yang terkait hukum Acara pidana dalam penegakan hukum pidana terorisme.
Harapan ICJR semoga DPR dapat melakukan pembahasan secara lebih berkualitas atas RUU tersebut demi penghormatan Hak Asasi Manusia dalam merespon Penegakan Hukum terhadap Kejahatan Terorisme di Indonesia.
Unduh Disini
Unduh DIM Disini
Artikel Terkait
- 12/02/2020 ICJR: Sebagai Negara Hukum, Pemerintah Harus Punya Opsi Lain Soal WNI Simpatisan ISIS
- 27/03/2019 ICJR: Ancaman Pidana terhadap Golput adalah Fenomena Penal Populism
- 20/01/2019 ICJR: Presiden Harus Lakukan 3 Langkah Penting Lainnya terkait dengan Rencana Pembebasan Abu Bakar Basyir
- 10/10/2018 Laporan Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia 2018: Tak Jera Promosi Efek Jera
- 25/05/2018 RUU Perubahan UU Terorisme Selesai dibahas: 2 Catatan ICJR terhadap Definisi Terorisme Yang Disepekati Pemerintah dan DPR
Related Articles
Menyiasati Eksekusi dalam Ketidakpastian: Melihat Kebijakan Hukuman Mati 2017 di Indonesia
Setiap 10 Oktober, Dunia memperingati Hari Anti Hukuman Mati. Peringatan ini ditetapkan pada sebuah konggres yang diadakan di Roma pada
ICJR Kirimkan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) Bagi Asep Sunandar, Korban Penyiksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat
Pada 18 April 2017, ICJR mengirimkan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat atas perkara Asep Sunandar dengan
ICJR & PRI Policy Brief: EU – Indonesia Human Rights Dialogue
In this policy briefing the Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)[1] and Penal Reform International (PRI)[2] detail key concerns on