Wakil Menteri hukum dan HAM, Denny Indrayana, menilai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) memiliki beberapa kelemahan. Kelmahanan adalah bahwa rumusan tentang paradigma dan konsep perlindungan saksi dan korban yang belum lengkap, dengan ketiadaan penjelasan lebih lanjut tentang landasan prinsip dan tujuan tentang perlindungan saksi dan korban. Denny bahkan menyatakan bahwa rumusan dalam RUU KUHAP meletakkan beban perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan korban seolah hanya pada para penegak hukum yang disebutkan, misalnya kepolisian, jaksa, pengadilan, dan advokat (dalam pemberian bantuan hukum).[1] Bukankah seharusnya kewenangan perlidungan saksi dan korban berada di LPSK (Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban)?
Dalam proses peradilan pidana seringkali saksi dan korban berada di pihak yang lemah, sangat diperlukan ketegasan dari Undang-Undang untuk memberikan kewenangan kepada LPSK untuk menjamin terlidunginya hak-hak mereka dalam proses peradilan yang hingga saat ini belum terpenuhi.
Banyak pihak kecewa atas draft RUU KUHAP yang saat ini telah berada di tangan DPR yang sama sekali tidak menyebut nama LPSK. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengkritik materi RUU KUHAP tersebut. Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu, LPSK punya peran yang tak bisa dianggap sepele. Ironisnya, dalam rancangan KUHAP nama LPSK tak disebut sama sekali. Anggota Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan, mendukung agar LPSK masuk dalam KUHAP. Ketiadaan pengaturan yang tegas, kata dia, bisa menimbulkan keraguan penegak hukum lain tentang peran, wewenang, dan kerja LPSK. [2]
Sependapat dengan Denny Indrayana dan Trimedya Panjaitan, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Amanat Nasional DPR RI menyatakan bahwa Kehadiran LPSK tidak semata dibentuk namun dibatasi kewenangannya, tetapi perlu didukung demi terciptanya sistem peradilan pidana. Satu-satunya jalan adalah dengan memberikan kewenangan yang lebih untuk LPSK, bahkan mereka berjanji akan memasukkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam RUU tentang Perubahan atas UU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.[3] Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga menilai keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu dimasukan dalam Rancangan Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[4]
Di balik kelemahan ini harus kita akui bahwa pengaturan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam RKUHAP sudah cukup maju, tetapi memang ada yang terputus, yakni tidak disebutkan lembaga mana yang menjamin perlindungan terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana tersebut. Berharap DPR menyadari kekurangan ini dan memperbaikinya kembali sehingga kelak terbentuk UU KUHAP yang menjamin perlindungan terhadap Saksi dan Korban. Lestari Hotmaida Sianturi/ICJR
[1] M. Zulfikar, Denny : Ada Tiga Kelemahan RUU KUHAP, http://www.tribunnews.com/2013/04/10/denny-ada- tiga-kelemahan-ruu-kuhap, diakses 11 April 2013, jam 16.00 WIB.
[2] MYS: RUU KUHAP Belum Sebut LPSK, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt516505ce61cb7/ruu-kuhap-belum-sebut-lpsk, diakses 11 April 2013, jam 16.20 WIB.
[3] Maria Rosari Dwi Putri: Dua Fraksi Janjikan LPSK masuk RUU KUHAP, http://www.antaranews.com/berita/368030 /dua-fraksi-janjikan-lpsk-masuk-ruu-kuhap, diakses 11 April, jam 17.00 WIB
[4] Maharani Siti Shopia: Fraksi PKS Dukung LPSK dimasukkan dalam Revisi KUHAP, http://www.lpsk.go.id/page/ 5164e6c15f07d, diakses 11 April 2013, jam 17.12 WIB.