Masyarakat saat ini dikejutkan dengan praktik pendisiplinan 69 siswa yang dilakukan dengan pendekatan militeristik yang diinisiasikan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Praktik mengirimkan siswa bermasalah ke Barak TNI untuk pendisiplinan semacam ini tidak hanya melanggar hak-hak anak, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar perlindungan anak dalam hukum nasional dan internasional. Dedi Mulyadi mengatakan para siswa yang dikirim adalah mereka yang yang kerap melakukan tawuran, minum alkohol, bermain game ponsel berlebihan, bolos, bahkan hingga semata-mata tidak patuh arahan orang tua (Kompas.com, 30 April 2025).
Pendisiplinan anak dengan cara pendekatan militer secara jelas melanggar UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 13 ayat (1) ditegaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Lebih lanjut, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengedepankan pendekatan keadilan restoratif untuk menghindari anak dari proses yang menstigmatisasi serta agar anak dapat kembali ke masyarakat.
Anak yang sebenarnya masih dalam tahap perkembangan psikososial seharusnya menerima perlindungan khusus seperti layanan rehabilitasi psikologis, bukan perlakuan yang memperburuk kondisi mentalnya. Pendekatan militeristik seperti ini bertentangan dengan semangat Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, yang menghimbau negara untuk mengambil langkah yang layak untuk melindungi anak dari kekerasan fisik ataupun mental.
Intervensi terhadap anak semestinya memperhatikan faktor penyebab sikap anti sosial yang cenderung kompleks. Anak melakukan perbuatan menyimpang tidak serta merta merupakan keputusan yang diambilnya sendiri, melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor keluarga, pendidikan, lingkungan, hingga teman sebaya. Hal ini selaras dengan data UNICEF yang menyebutkan bahwa anak yang terpapar kekerasan dalam keluarga cenderung untuk bersikap agresif, bahkan berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan saat dewasa. UNICEF pun menaruh perhatian pada cara pendisiplinan anak yang dilandaskan pada metode kekerasan, baik fisik maupun psikologis, yang cenderung memberi dampak buruk kepada anak. Sekalipun tidak ada intensi langsung untuk menyakiti anak, namun penggunaan kekerasan untuk mengontrol atau mengoreksi tingkah laku anak akan menimbulkan konsekuensi negatif jangka panjang. Ini telah ditegaskan pula dalam General Comment No. 8 the Committee on the Rights of the Child bahwa setiap bentuk pendisplinan yang keras, kejam, dan merendahkan anak tidak dapat diterima.
Bercermin dari fenomena panjang kekerasan aparat, maka pengiriman anak untuk didisiplinkan ke Barak TNI seharusnya tidak boleh terjadi. Catatan KontraS menunjukkan pada periode Oktober 2023 sampai dengan September 2024 terdapat 64 peristiwa kekerasan TNI terhadap warga sipil. Dari jumlah kekerasan tersebut, beberapa korban jiwa merupakan anak di bawah umur. Salah satunya adalah kasus MHS yang tewas usai dianiaya oknum TNI di lokasi kejadian tawuran. Catatan kekerasan ini menunjukkan sikap aparat TNI yang cenderung mengedepankan kekerasan/power berlebih. Corak militeristik yang demikian justru sangat berpotensi mengancam kebebasan anak sehingga anak akan belajar dan tumbuh dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak, bahkan tidak juga menjawab akar persoalan penyebab anak berperilaku menyimpang.
Bukti sikap pendisiplinan bergaya militeristik bukanlah solusi dapat pula berefleksi dari praktik sekolah kedinasan yang tak jarang masih mengakar budaya kekerasan dan intimidasi. Seperti pada kasus seorang taruna STIP yang tewas dianiaya seniornya menjadi pertanda jelas bahwa upaya pendisiplinan ketat di bawah bayang-bayang militeristik tak menjamin terciptanya individu yang menghormati hak-hak asasi sesamanya. Terlebih, penempatan anak di barak justru seolah-olah “melabelisasi” anak sebagai “anak nakal”, ini sangat berbahaya karena akan menimbulkan stigma negatif terhadap anak.
Oleh karena itu, solusi yang tepat seharusnya ada pada pengembalian anak kepada orang tua, lingkungan, dan pendidikan sebagai elemen yang memegang tanggung jawab atas anak. Penguatan, pembenahan, dan perlindungan dengan menjunjung kepentingan terbaik bagi anak harus dikedepankan agar anak dapat tumbuh dan berkembang di lingkungan yang suportif dan positif. Salah satu mekanismenya seperti penguatan sistem pendampingan keluarga yang strategis melalui program PUSPAGA KPPPA dapat dimanfaatkan untuk pelatihan-pelatihan bagi orang tua dan mengajarkan intervensi yang ramah anak.
Kami mendesak pemerintah pusat yaitu Presiden untuk menghentikan upaya Gubernur Jawa Barat ini dan menginstruksikan jajaran pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah ramah anak dalam mengatasi permasalahan siswa yang berperilaku menyimpang.
Kami menyerukan:
- Presiden untuk memanggil Gubernur Jawa Barat untuk Mencabut Surat Edaran Gubernur Jawa Barat terkait pendidikan militer untuk anak;
- Gubernur Jawa Barat menghentikan segala praktik pendisiplinan anak yang keras dan tidak sesuai prinsip-prinsip perlindungan anak;
- Gubernur Jawa Barat mengembalikan siswa yang telah dikirimkan ke Barak TNI untuk kembali kepada keluarga dan lingkungan anak;
- Mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk menegakkan perlindungan dan pemenuhan hak anak serta mendorong program yang solutif dalam membimbing perilaku anak sesuai prinsip kepentingan terbaik bagi anak; dan
- Presiden harus mencegah dibentuknya peraturan dan kebijakan yang melanggar hak-hak dan prinsip perlindungan anak.
Jakarta, 3 Mei 2025
Hormat kami,
Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA)
———————————
Profil Aliansi PKTA:
Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) adalah koalisi masyarakat sipil Indonesia yang anggotanya terdiri dari organisasi-organisasi yang memiliki kesamaan tujuan dalam memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap anak di Indonesia. Aliansi PKTA percaya bahwa kekerasan dapat dicegah dengan kemitraan yang kuat dan upaya semua komponen masyarakat untuk terlibat dalam perlindungan anak dari kekerasan.
Organisasi yang tergabung dalam Aliansi PKTA adalah: Aliansi Remaja Independen (ARI); ChildFund International di Indonesia; Ecpat Indonesia; Fatayat Nahdatul Ulama; Gugah Nurani Indonesia; HI-IDTL; Institute for Criminal Justice Reform (ICJR); ICT Watch; JPAI – The SMERU Research Institute; Kampus Diakonia Modern (KDM); MPS PP Muhammadiyah; Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI); Plan International Indonesia; Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak, Universitas Indonesia (PUSKAPA); Rifka Annisa; Rutgers WPF Indonesia; SAMIN; SAHABAT ANAK; SEJIWA; Setara; SOS Village; Wahana Visi Indonesia (WVI); Yayasan Pulih; Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC); Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC); Youth Network on Violence Against Children (YNVAC); Yayasan KAKAK; Yayasan PLATO; Yayasan KKSP; Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata; Jala Samudera Mandiri.
Narahubung Presidium Aliansi: ChildFund International Indonesia, ICT-Watch, ICJR, Plan International Indonesia, Yayasan Sayangi Tunas Cilik, Wahana Visi Indonesia
Email: presidiumaliansipkta@googlegroups.com