Diskriminatif, Primitif, dan Tidak Ilmiah, ICJR Desak Kota Bogor Cabut Perda P4S!

Pada tanggal 21 Desember 2021 DPRD Kota Bogor dan Walikota Bogor telah menetapkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (p4s). Peraturan ini kemudian mulai ramai diperbincangkan pada Maret 2022 ini. Sesuai dengan rumusan Pasal 3 Perda ini, disebutkan bahwa intensi pembentukan perda ini adalah untuk melandasi upaya pencegahan dan penanggulangan berbagai bentuk

perbuatan perilaku penyimpangan seksual yang mempengaruhi tata kehidupan bermasyarakat dan sebagai upaya merubah sikap mental yang merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, sehingga terwujudnya masyarakat yang tertib, teratur, bermoral, beretika, dan berakhlak mulia.

Dalam Pasal 6 Perda tersebut dijabarkan apa yang menurut aturan ini sebagai penyimpangan seksual yaitu diantaranya laki-laki penyuka laki-laki (homoseksual); perempuan penyuka perempuan (lesbian); biseksual; waria (transvestisme) yang dianggap perlu direhabilitasi. Diantara perilaku tersebut justru adalah orientasi seksual seseorang yang seharusnya bersifat pribadi, dilindungi dalam kerangka hukum privasi dan tidak dapat terukur secara objektif karena merupakan bentuk orientasi yang tak kasat mata, sehingga tidak dapat diintervensi batasannya oleh aturan negara. 

Dengan menyerang bentuk orientasi seksual yang beda dan minoritas, aturan Perda ini bersifat diskriminatif. Dikeluarkannya Perda diskriminatif atas dasar kebencian pada orientasi seksual tertentu ini bukanlah kali pertama terjadi. Pada 2018, Perda serupa yang menyasar kelompok minoritas seksual juga dikeluarkan oleh Pemerintah Kota dan DPRD Pariaman.

ICJR memiliki beberapa catatan terkait Perda berbahaya ini, yaitu;

Pertama, Perda ini berpotensi melanggengkan stigma terhadap kelompok minoritas seksual. Stigmatisasi terhadap kelompok minoritas seksual ini merupakan akar penyebab terjadinya persekusi terhadap kelompok minoritas seksual. LBH Masyarakat pada 2018 mencatat setidaknya terjadi 973 kekerasan yang terjadi terhadap kelompok minoritas seksual. Selain kekerasan, selama Pandemi COVID-19, kelompok minoritas seksual juga terus mengalami diskriminasi. Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) mencatat angka kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual, khususnya transpuan meningkat dari tahun ke tahun. Data dari Arus Pelangi pada 2019 menunjukkan adanya 6 pembunuhan terhadap transpuan.

Pemerintah seharusnya menyelesaikan dan mencegah terjadinya diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual, bukan justru memperkuat stigma dan diskriminasi dengan memberikan label “penyimpangan”. Orientasi seksual dan identitas gender seseorang bukanlah penyimpangan seksual dan negara sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengatur hal sedemikian rupa apalagi dengan menstigma. Terlebih, keberagaman orientasi seksual dan identitas gender pun ada dan diakui di dalam kebudayaan yang ada di Indonesia, misalnya kebudayaan suku Bugis yang memiliki lima buah gender.

Kedua, penggunaan pidana yang tak berdasar. Pasal 25 dari Perda ini mencantumkan mengenai pemberian sanksi bagi pelanggar “perilaku penyimpangan seksual” sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia. Ketentuan inilah yang kemudian rentan dipergunakan sebagai legitimasi persekusi yang dilakukan terhadap kelompok minoritas seksual. 

Negara tidak seharusnya menginvasi privasi warga negaranya, kecuali di dalam hal terjadi kekerasan dimana negara memiliki kewenangan untuk membantu korban dan berhak melakukan intervensi menggunakan instrumen pidana. 

Ketiga, rehabilitasi tanpa bukti berbahaya untuk keamanan dan keselamatan warga negara. Pelaksanaan rehabilitasi dengan pendekatan medis, mental dan spiritual, dan asistensi psikis merupakan sentimen negatif jika dilakukan terhadap kelompok homoseksual, biseksual, ataupun waria. Rehabilitasi untuk mengubah identitas gender dan orientasi seksual atau disebut “Conversion Therapy” di banyak negara dianggap sebagai terapi berbahaya dan bahkan dilarang di dalam peraturan domestiknya. Di Amerika Serikat sendiri tahun 2020, sebanyak 27% remaja LGBTQ yang menjalani rehabilitasi ini berujung pernah melakukan percobaan bunuh diri (Statista, 2022).

Keempat, berbenturan dengan upaya penanggulangan HIV-AIDS oleh pemerintah. Selain diskriminatif dan menstigma, keberadaan Perda seperti ini justru kontraproduktif terhadap komitmen pemerintah dalam upaya penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia. Perda ini justru akan mendorong semakin sulitnya akses populasi kunci terhadap pencegahan HIV-AIDS. Penghilangan stigma dan diskriminasi seharusnya menjadi pilar utama dalam mewujudkan komitmen Pemerintah dalam menanggulangi HIV-AIDS dan bukan sebaliknya.

Kelima, potensi pengekangan kebebasan berekspresi. Selain hal-hal di atas, di dalam ketentuan Pasal 9 huruf e Perda ini, disampaikan bahwa Pemerintah juga dapat melakukan pencegahan perilaku menyimpang melalui pemantauan media dan internet. Ketentuan ini jelas secara langsung mengancam hak atas kebebasan berpendapat, dan privasi yang dijamin di dalam UUD 1945. Dalam mengekspresikan pikirannya, setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan bahwa dirinya dapat menyampaikan pendapatnya tersebut dengan aman, tanpa takut dikekang berdasarkan orientasi seksual seseorang. 

Keenam, prioritas anggaran yang tak jelas, dan penghamburan biaya. Perda ini juga kemudian mengamanatkan pembentukan Komisi Penanggulangan yang artinya akan ada pengalokasian anggaran dan sumber daya yang tidak perlu. 

Berdasarkan temuan di atas, ICJR mendesak Pemerintah Kota Bogor untuk mencabut Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2021 dan apabila Pemerintah Kota Bogor tidak mengambil tindakan, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri membatalkan Perda ini.

Jakarta, 25 Maret 2022

Hormat kami,

ICJR

CP: Genoveva Alicia (Peneliti ICJR)


Tags assigned to this article:
diskriminasidiskriminasi lgbtlgbt

Related Articles

Lapas Suka Miskin vs Narapidana Miskin

“Kelebihan beban penghuni mengakibatkan Pemerintah tidak mampu menyediakan pelayanan yang baik. Kondisi ini menimbulkan praktik diskriminatif bagi penghuni Lapas yang

Pembahasan R KUHP Masih menunggu Inisiatif Panja Komisi III

ICJR & Aliansi Nasional Reformasi KUHP: “Panja R KUHP Komisi III Sebaiknya Menindaklanjuti Hasil Pembahasan BUKU I KUHP kepada Para

Fasilitas Baru Narapidana: “Perubahan atau Penyesuaian Sanksi Pidana” dalam Pasal 58 R KUHP

UU Pemasyarakatan No. 12 Tahun 1995 telah memberikan landasan hukum ke arah politik kriminal modern dengan mengubah paradigma dari pembalasan