Sejumlah kalangan berharap banyak pada rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah digodok DPR. RKUHAP diharapkan mampu menjawab sejumlah persoalan yang terkandung dalam UU No 8 Tahun 1981 (KUHAP). Salah satunya terkait lembaga praperadilan.
Dalam acara diskusi di Jakarta, Kamis (2/5), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai materi RKUHAP belum mampu menjawab permasalahan lembaga praperadilan. Materi yang dimaksud adalah hakim pemeriksa pendahuluan (HPP). Ketua ICJR Anggara mengatakan konsep HPP tidak jauh berbeda dengan konsep praperadilan dalam KUHAP lama yang hingga kini masih berlaku.
Dijabarkan dalam Pasal 1 angka 7 RKUHAP, HPP adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Dijelaskan Anggara, esensi lembaga praperadilan adalah pengawasan dan mekanisme komplain terhadap proses penegakan hukum. Praperadilan, kata dia, juga erat kaitannya dengan jaminan perlindungan HAM. Makanya, kala itu, aturan tentang praperadilan dianggap sebagai bagian dari mahakarya (masterpiece) KUHAP.
Sayangnya, lembaga praperadilan tak dapat berfungsi secara maksimal. Menurut Anggara, praperadilan dapat dianggap gagal karena tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pendahuluan (pra ajudikasi). Fungsi pengawasan yang diperankan lembaga praperadilan, lanjutnya, bersifat post facto sehingga tidak sampai pada penyidikan.
“Pengujiannya hanya bersifat formal, mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak bisa diawasi oleh hakim,” ujarnya. “Praperadilan cenderung mengurusi hal-hal administrasi saja.”
Kelemahan yang terkandung dalam praperadilan semestinya dapat diperbaiki oleh KUHAP baru. Sebelum sampai pada konsep HPP, RKUHAP periode 2004-2011 sebenarnya pernah mengusung ide hakim komisaris. Memasuki tahun 2012 hingga sekarang, konsep hakim komisaris diganti HPP. “Dari segi konsep, belum ada perbedaan yang mendasar antara konsep praperadilan, hakim komisaris dan HPP,” kata Anggara membandingkan.
Menurut dia, satu persoalan yang masih terlihat dari konsep HPP adalah pendelegasian wewenang penuh kepada penyidik dalam hal penetapan tersangka. Anggara mengatakan memberikan kewenangan penuh kepada penyidik tanpa adanya peluang peninjauan dari HPP, hanya akan mengulangi masalah sama yang dialami lembaga praperadilan.
Idealnya, kata Anggara, setiap tahapan dalam proses sistem peradilan pidana harus melalui peninjauan oleh pengadilan, termasuk upaya paksa yang dilakukan penyidik. Penentuan ‘bukti permulaan yang cukup’ seharusnya tidak diserahkan pada diskresi penyidik. Tujuannya, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Lebih lanjut, Anggara memaparkan beberapa kelemahan lainnya dari konsep HPP. Pertama dari aspek mekanisme beracara yang tidak jelas. Apakah menggunakan mekanisme pidana, perdata, atau mandiri? Lalu, RKUHAP belum menegaskan tentang beban pembuktian berada di pihak mana. Konsep HPP juga dinilai masih minim partisipasi publik.
“HPP harus didorong adanya partisipasi publik, misalnya dengan memasukkan konsep hakim adhoc,” imbuhnya.
Anggota Komite Pembaharuan KUHAP,Toto Yulianto mengatakan proses penegakan hukum di Indonesia masih menggunakan pola yang berpotensi melanggar HAM. Menurutnya, saat dibuat model kontrol terhadap aparat penegak hukum dianggap membatasi kewenangan. Padahal, sistem kontrol dibuat untuk menjaga kualitas proses penegakan hukum.
Dalam RKUHAP, kata Toto tak ada langkah maju dengan gagasan HPP. Menurutnya, hal terpenting adalah adanya lembaga yang dapat menjamin sebuah perkara tidak direkayasa mulai tahap awal hingga di persidangan. Toto berpendapat, HPP dianggap menghambat kewenangan penegak hukum, polisi misalnya. Pasalnya, pihak kepolisian beranggapan akan mengalami kesulitan jika harus memboyong tersangka ke HPP, lantaran luasnya wilayah Indonesia.
“Jadi ini (HPP) seperti mengganti baju saja, dan peran kontrolnya minim,” ujarnya.
Sumber : Hukumonline.com