Di Indonesia, setidaknya terdapat dua belas (12) undang-undang yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk pidana. Berbeda dengan perkembangan Hukum Pidana di Belanda yang telah menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1870, KUHP Indonesia masih mempertahankan hukuman mati.
Sebagai bagian dari pembatasan hak asasi manusia yang paling hakiki yaitu hak untuk hidup, maka sudah tentu dasar untuk mencantumkan hukuman mati harus memiliki akar yang sangat kuat dan didasarkan atas bukti dan rasionalisasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Maka pada titik ini menjadi penting untuk mengetahui Raison D’être sebab musabab masih dimasukannya sanksi pidana hukuman mati di pelbagai regulasi di Indonesia.
Berikut hasil penelurusan Tim ICJR dalam proses pemetaan legislasi yang memuat hukuman mati sebagai hukuman sebagai upaya mencari tahu alasan berlakunya hukuman mati di Indonesia:
- Konsolidasi hukuman mati pertama terjadi pada masa pemerintahan Daendels (1808) yang mengatur pemberian hukuman mati menjadi kewenangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, hukuman mati pada saat itu dianggap sebagai strategi untuk membungkam perlawanan penduduk jajahan dan untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris;
- Konsolidasi hukuman mati kedua terjadi pada saat berlakukanya Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiaers) 1 Januari 1873 dan Wetboek van Strafrecht voor Indonesie (WvSI) 1 Januari 1918, meskipun Belanda telah menghapus hukuman mati di negaranya pada 1870. Hal ini dilatarbelakangi alasan rasial bahwa Negara kolonial saat itu berpikir orang-orang pribumi jajahan tidak bisa dipercaya, suka berbohong, memberikan keterangan palsu di Pengadilan dan bersifat buruk;
- Pada masa awal kemerdekaan, hukuman mati tetap dipertahankan dengan menyesuaikan WvS sebagai hukum pidana. Dalam konteks hukum pidana militer, hukuman mati dianggap sebagai respon untuk memperkuat strategi pertahanan negara dari situasi dan upaya mempertahankan kemerdekaan dalam kurun waktu 1945- 1949.
- Pada masa demokrasi liberal tahun 1951, hukuman mati dipertahankan untuk menghalau pemberontakan yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, akhirnya terbentuklah UU Darurat No. 12 Tahun 1951 yang mengatur mengenai peraturan hukuman istimewa sementara tentang senjata api, amunisi, dan bahan peledak;
- Pada masa Demokrasi Terpimpin 1956-1966, Presiden Soekarno mengeluarkan UU Darurat tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana ekonomi (LN 1955 Nr 27). Undang-undang ini diperkuat dengan Penetapan Presiden No. 5 tahun 1959 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 21 tahun 1959 dengan ancaman maksimal hukuman mati. Keseluruhan Undang-undang ini ditujukan untuk merespon kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis dikarenakan tingkat inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, dan di samping banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun masyarakat seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain sebagainya. Presiden Soekarno juga mengeluarkan sebuah regulasi yang diharapkannya mampu mengurangi tingkat kejahatan korupsi dengan mengeluarkan Perpu pengganti Undang-Undang tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN 1960 Nr 1972);
- Pada masa oder baru (1966-1998), pencantuman hukuman mati digunakan sebagai upaya untuk mencapai stabilitas politik untuk mengamankan agenda pembangunan. Pada masa ini beberapa kejahatan salah satunya kejahatan narkotika dianggap sebagai upaya subversif. Kejatahan korupsi pada masa ini pernah didakwa dengan menggunakan UU No. 11/PNPS/1963 tentang subversi yang menyertakan ancaman hukuman mati, walaupun pada masa ini kejahatan korupsi sendiri tidak diancam dengan hukuman mati. Beberapa legilslasi yang mencantumkan hukuman mati antara lain mengenai Kejahatan Penerbangan dan Sarana Penerbangan dan Tenaga Atom;
- Pada masa reformasi (1998-sekarang), pencantuman hukuman mati dalam legislasi diwarnai dengan hadirnya alasan “kedaruratan” mulai dari alasan “darurat bencana” “darurat perlindungan anak” dan juga skala jumlah korban yang menjadi alasan penting untuk memberikan respon pemberatan hukuman demi kepentingan stabiltas nasional. Terdapat beberapa motif yang paling populer dalam alasan penggunaan hukuman mati di Indonesia, yakni hukuman mati memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi dari ancaman hukuman lainnya. Selain memiliki efek yang menakutkan (shock therapy), hukuman mati juga dianggap lebih hemat. Hukuman mati juga digunakan agar tidak ada tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat;
- Seiring dengan motif ini, klaim teoritis yang dominan saat ini adalah pandangan bahwa hukuman mati akan menimbulkan efek jera (detterent effect) yang sangat tinggi sehingga akan menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana. Dengan demikian, hukuman mati bisa dijadikan sebagai alat yang baik untuk prevensi umum maupun prevensi khusus. Di samping itu, masih kuatnya fungsi pemidanaan yang menekankan pada aspek pembalasan (retributif), utamanya masih dipertahankannya beberapa pendekatan dari teori absolut atas pembalasan, teori relatif, dan teori gabungan yang tentunya memberikan kontribusi penting bagi masih diberlakukannya hukuman mati di Indonesia saat ini;
Dinamika Pertentangan Pemberlakuan Hukuman Mati dalam Proses Pembentukan Legislasi
- Pertentangan pertama terjadi pada sidang konstituante yang berlangsung pada 1955-1959. Asmara Hadi, anggota Konstituante dari Gerakan Pembela Pancasila, pada 14 Agustus 1958, Sidang ke II tahun 1958 Rapat ke 27 Konstituante mengusulkan perlunya dimuat dalam norma UUD mengenai hak hidup dan hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati. Asmara Hadi sempat memprotes atas hasil kerja tim perumus yang tidak mencantumkan usulannya terkait dengan rumusan hak hidup dan larangan hukuman mati dalam Laporan Panitia Perumus tentang HAM/Hak dan Kewajiban Warga Negara pada Sidang ke II Rapat ke 29, 19 Agustus 1958. Sayangnya pandangan ini adalah pandangan minor pada saat itu dan karenanya tidak mendapatkan pembahasan yang serius pada masa tersebut;
- Dalam proses amandemen UUD 1945 juga terjadi perdebatan mengenai hukuman mati. Taufiqurrohman Ruki, Valina Singka Subekti, dan Slamet Efendy Yusuf adalah para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mendesakkan hak hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Namun begitu dalam sidang tersebut pembahasan megenai hak hidup dan hukuman mati tidak dielaborasi lebih lanjut. Pembatasan hak hidup oleh UUD 1945 seolah hanya terkunci dari ketentuan Pasal 28J UUD 1945 yaitu tentang Hak Asasi Manusia yang dibatasi oleh Hak Asasi orang lain;
- Walaupun Konvenan Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 tahun 2005 memperbolehkan negara-negara mencantumkan hukuman mati pada legislasinya, namun hal tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) hanya diperbolehkan untuk kejahatan yang serius. Konsep the most serious crimes dalam hukum internasional sangat terbatas pada kejahatan dengan karakteristik tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam, menggoncangkan hati nurani kemanusiaan (deeply shock the conscience of humanity); dengan tujuan untuk menimbulkan kematian atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya (extremely grave consequences); dan dengan cara yang sangat buruk (crime with extremely heinous methods) dan kejam di luar batas perikemanusiaan serta menimbulkan ancaman atau membahayakan keamanan negara.
- Namun begitu, dalam proses legislasi perbedatan pencantuman hukuman mati bukan dalam tataran penafsiran “the most serious crime”, dalam proses pembentukan legslasi alasan yang digunakan untuk mencantumkan hukuman mati seolah dipermudah dengan menyatakan bahwa hukuman mati memang diperbolehkan untuk dicantumkan, bukan dalam tataran sangat terbatas untuk digunakan;
- Pada masa reformasi perdebatan hukuman mati sayangnya tidak dapat terlepas dari konsep penggunaan hukuman mati sebagai bagian dari alat politik. Alasan kedaruratan dan responsivitas digunakan sebagai dasar pencantuman hukuman mati dalam legislasi di Indonesia tanpa penelitian berbasis bukti dan penghargaan Hak Asasi Manusia yang mempuni hal ini terlihat dalam perdebatan pembentukan legislasi yang selalu bedalil “efek jera” tanpa adanya penelitian yang komprehensif mengukur efek jera tersebut.