ICJR mengecam segala bentuk diskriminasi rasial dan penangkapan sewenang-wenang terhadap mahasiswa Papua di berbagai wilayah dan menuntut Pemerintah untuk segera mengusut dan mengadili aparat keamanan yang melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan undang-undang tersebut.
Momentum kemerdekaan Indonesia ke-74 rupanya belum dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Melangsir dari pemberitaan di berbagai media, sejumlah mahasiswa asal Papua di Surabaya, Malang dan Semarang mendapat perlakuan diskriminasi rasial dan penangkapan sewenang-wenang. Akibatnya, pada hari Senin (19/08) lalu, sejumlah jalan protokol di wilayah Papua dan Papua Barat diblokir, gedung DPRD dibakar, dan sejumlah fasilitas umum dirusak oleh massa. Tidak hanya itu, seolah untuk mencari pihak lain yang dapat disalahkan atas terjadinya aksi masa di sejumlah daerah Manokwari dan Jayapura, Polisi kini sedang memburu dua akun media sosial yang diduga menyebarkan provokasi sehingga memicu aksi tersebut.
Atas terjadinya hal tersebut, ICJR mengecam seluruh tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh aparat keamanan yang memicu terjadinya aksi masyarakat di sejumlah daerah dan mendesak Pemerintah untuk melakukan hal berikut ini:
Pertama, adili seluruh pelaku tindakan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua. Pada Jumat (16/08) sejumlah tentara dan Satpol PP menuduh mahasiswa Papua merusak tiang bendera merah putih di depan Asrama Papua, Surabaya, dan membuang bendera itu ke selokan. Aparat keamanan tersebut kemudian memerintahkan seluruh mahasiswa untuk keluar asrama, dalam kejadian itu terdengar beberapa orang mengeluarkan umpatan dan makian rasial. Pasal 4 huruf b angka 2 UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU 40/2008) telah secara tegas menyebutkaan bahwa tindakan diskriminatif ras dan etnis adalah berupa menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis, yang salah satu bentuknya adalah berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain.
Bagi siapapun yang melanggar ketentuan tersebut, berdasarkan Pasal 16 UU 40/2008, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Hal ini juga sejalan dengan Surat Edaran Kapolri SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian, sehingga polisi harus segera menindak setiap orang, termasuk aparatur negara, yang terlibat yang melakukan tindakan diskriminasi rasial tersebut.
Kedua, menghentikan seluruh praktik penangkapan sewenang-wenang oleh pihak kepolisian. Pada hari Sabtu (17/08), polisi membawa paksa 43 mahasiswa asal Papua di Asrama Papua, Surabaya, ke Mapolrestabes Surabaya untuk diperiksa terkait laporan adanya perusakan serta pembuangan bendera merah putih. Sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdapat pembatasan dalam melakukan upaya paksa, salah satunya harus dengan adanya dasar bahwa yang ditangkap atau ditahan adalah tersangka dan telah diduga berdasarkan dua alat bukti yang cukup melakukan tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 17 jo. Pasal 20 jo. Pasal 21 KUHAP. Dalam hal ini, polisi harus mampu menghadirkan dua alat bukti sebelum melakukan penangkapan terhadap mahasiswa Papua. Tanpa dua alat bukti yang cukup, maka polisi telah melanggar hak atas kebebasan sekaligus melanggar ketentuan dalam KUHAP.
Ketiga, menghentikan pencarian dan profilling terhadap akun media sosial yang merekam tindakan diskriminasi rasial yang dilakukan oleh aparat keamanan. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo, menyatakan bahwa aksi yang terjadi di Papua dan Papua Barat disebabkan oleh massa yang terprovokasi konten negatif di media sosial terkait penangkapan mahasiswa Papua. Para pelaku penyebaran rekaman juga disebutkan terancam sanksi hukum. Saat ini, polisi sedang mencari dan melakukan profilling terhadap dua akun media sosial yang diduga menyebarkan rekaman penangkapan tersebut. Tindakan pencarian tersebut harus dihentikan karena tindakan perekaman yang dilakukan oleh pemilik akun media sosial tersebut merupakan hal yang sah saja menurut hukum.
Bahkan, polisi seharusnya berterima kasih kepada pihak yang merekam karena telah membantu menunjukan oknum-oknum yang melakukan tindakan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua. Polisi jangan sampai salah menentukan pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa ini. Polisi seharusnya bukan mencari atau bahkan memproses pihak penyebar rekaman penangkapan mahasiswa Papua, melainkan orang-orang yang melakukan tindakan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua tersebut.
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan