Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada Kamis, 27 Februari 2025 secara resmi meluncurkan penelitian dengan judul “Evaluasi terhadap Proses Pengambilan Keputusan dalam Melakukan Penahanan dan Peluang Pengembangan Risk Assessment Tools Penahanan”. Peluncuran sekaligus diskusi penelitian ini diselenggarakan secara daring melalui zoom meeting dan melalui Youtube ICJR.
Selain ICJR, penelitian ini ditulis bersama REVISI sebuah lembaga advokasi hukum yang berfokus pada advokasi korban peradilan sesat atau unfair trial. Dengan tim penyusun yang terdiri dari Ichsan Zikry, Girlie L. A Ginting, Iqbal Muharam Nurfahmi, Mayang Devi Azahra, Iftitahsari dan Nur Ansar.
Webinar dan diskusi ini diisi oleh Dewo Broto Joko P, SH., LL.M., Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas sebagai keynote speaker dan dibuka oleh Maidina Rahmawati selaku Plt. Direktur Eksekutif ICJR. Di samping itu, ICJR mengundang dua orang penanggap hasil penelitian yaitu Suharto, S.H., M.Hum selaku Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial dengan pokok bahasan terkait proses pengambilan keputusan untuk menahan dan kewenangan menguji keputusan penahanan dalam praperadilan oleh hakim. Lalu penanggap kedua adalah Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M, akademisi hukum pidana, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan fokus pembahasan terkait gambaran perbaikan hukum acara pidana mengenai penahanan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Diskusi ini dipandu oleh Alfiana Qisthi, Arbitrary Detention Redress Unit, University of Essex.
Praktik penahanan yang telah berlangsung lama tersebut masih menjadi salah satu sumber perdebatan dalam diskursus mengenai hukum acara pidana. Mulai dari isu jangka waktu penahanan yang relatif lama, mekanisme pengawasan atas tindakan penahanan yang sangat minim, praktik penahanan yang sewenang-wenang, hingga masalah kelebihan penghuni rumah tahanan. Di antara topik-topik tersebut, terdapat satu isu yang masih belum mendapat perhatian cukup, yaitu mengenai proses pengambilan keputusan atas tindakan penahanan.
Studi ICJR yang diluncurkan dalam webinar ini menemukan adanya inakurasi pengambilan keputusan penahanan. Penyebabnya antara lain karena sampai saat ini, tidak tersedia pengaturan atau pedoman yang lebih jelas dan rinci mengenai bagaimana seharusnya pejabat yang berwenang melakukan penahanan menilai ada atau tidaknya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran terhadap risiko seseorang melarikan diri, menghilangkan atau merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Tanpa adanya standar yang sama, maka keputusan mengenai terpenuhi atau tidaknya alasan penahanan menjadi terlalu subyektif dan tidak konsisten. Sebab kesimpulan terpenuhi atau tidaknya syarat penahanan menjadi sangat bergantung pada bagaimana masing-masing pejabat yang berwenang melakukan penahanan menentukan keadaan apa yang relevan untuk dipertimbangkan sebagai faktor risiko dan menafsirkan faktor risiko tersebut. Selain itu, ketiadaan pedoman yang jelas mengenai faktor risiko apa yang relevan untuk dipertimbangkan dan bagaimana cara menilai faktor-faktor tersebut secara akurat, maka tentunya proses pengambilan keputusan penahanan akan berbeda antara satu pejabat dengan pejabat yang lain.
Memahami permasalahan tersebut, Pembicara Kunci dalam diseminasi penelitian, yaitu Plt. Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas, Dewo Broto Joko P, S.H., LL.M. menyatakan ke depannya peningkatan sistem penahanan di Indonesia memerlukan pendekatan komprehensif baik dari regulasi kelembagaan dan standardisasi syarat penahanan melalui indikator yang terukur melalui alat ukur berbasis Risk Bases Detention Tools. Selain itu juga penting untuk memiliki sarana yang mendukungnya yaitu integrasi data kejahatan dan kependudukan dan hal ini dimulai dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu berbasis Teknologi Informasi (SPPT TI) yang mengintegrasikan data perkara dari masing-masing sistem yang dimiliki oleh Aparat Penegak Hukum. Komitmen ini juga didukung oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial, Suharto, S.H., M.Hum, yang kembali menekankan pentingnya memiliki alat penilaian risiko dalam proses pengambilan keputusan penahanan agar menjadi objektif. Kedepannya, diharapkan ada penelitian lanjutan untuk melihat faktor-faktor yang relevan untuk dipertimbangkan dalam keputusan penahanan sebelum dituangkan menjadi sebuah alat penilaian risiko.
Pada sesi akhir, tanggapan dari Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M., Akademisi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menjadi penutup dari webinar diseminasi penelitian. Ia menyinggung bahwa kedepannya perlu mendorong mekanisme penahanan yang akuntabel dalam Revisi KUHAP melalui penguatan lembaga praperadilan. Salah satunya melalui alat penilaian risiko terhadap tersangka agar penahanan dilakukan dengan rasional dan objektif. Selain itu, perlu ada sinkronisasi data kependudukan dan data kejahatan sebagai mekanisme mitigasi melarikan diri jika alat penilaian risiko diberlakukan.
Analisis dan rekomendasi yang tertuang dalam studi ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk menyusun alat bantu yang dapat menerjemahkan faktor-faktor penilaian risiko secara sistematis. Harapannya, hal tersebut dapat membantu aparat penegak hukum dan hakim untuk dapat melakukan kategorisasi terhadap orang-orang ke dalam tingkat risiko yang cukup beralasan untuk dilakukan penahanan. Sehingga, praktik penahanan dapat dilakukan secara akuntabel dan tidak lagi dilakukan secara berlebihan dan dalam jangka panjang dapat berkontribusi pada pengurangan tingkat kelebihan muatan penghuni (overcrowding) pada tempat-tempat penahanan dan perubahan pendekatan yang diterapkan aparat penegak hukum dan hakim dalam melakukan penahanan.
Penelitian dapat Anda akses di sini