Penuntut Umum kasus kriminalisasi Sorbatua Siallagan (Ketua Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan) ternyata mengajukan permohonan kasasi di Mahkamah Agung. Permohonan kasasi itu dikirimkan pada 28 November 2024 dengan surat bernomor 3298/PAN.PN.W2-U16/ HK2.1/XI/2024. Permohonan itu kini sedang dalam proses kasasi dengan nomor perkara 4398 K/PID. SUS-LH/2025.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun dalam perkara 155/Pid.B/LH/2024/PN Sim menyatakan Sorbatua terbukti bersalah melakukan tindak pidana Mengerjakan dan Menduduki Kawasan Hutan berdasarkan dakwaan kedua Penuntut Umum. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Banding dalam perkara 1820/PID.SUS-LH/2024/PT MDN memutus berbeda dari putusan tingkat pertama. Sorbatua diputus lepas sebab hakim menganggap kasus itu adalah sengketa perdata, bukan pidana.
Kami sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan. Sengketa yang terjadi adalah perdata sebab konteksnya adalah kepemilikan tanah yang mana PT Toba Pulp Lestari (TPL) mengklaim area tersebut berdasarkan izin. Sementara itu, Sorbatua bersama komunitasnya tetap bertahan di tempat yang sama karena merupakan tanah adat yang ditempati turun temurun. Saat perkara ini masih di pengadilan tingkat pertama, kami telah mengirimkan amicus curiae (sahabat pengadilan) dan berpandangan bahwa hak masyarakat adat terhadap wilayahnya harusnya dihormati walaupun belum ada pengakuan administratif dalam Perda di daerah tersebut.
Kami, sebagai amici, masih berpendapat sama bahwa hak masyarakat adat secara substantif harus dihormati oleh negara. Walaupun tidak ada perda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat untuk komunitas Ompu Umbak Siallagan, bukan berarti mereka tidak punya hak atas wilayahnya. Pengakuan terhadap masyarakat adat pada dasarnya sudah ada dalam UUD 1945, sehingga adanya Perda sifatnya administratif, bukan untuk menghilangkan hak masyarakat adat.
Oleh karena itu dalam amicus curiae yang kami kirimkan kepada Majelis Hakim Kasasi, ada tiga poin yang coba kami simpulkan.
Pertama, Majelis Hakim Kasasi penting untuk memahami fakta bahwa Komunitas Masyarakat Hukum Adat Ompu Umbak Siallagan memang belum memiliki dasar hukum administratif berupa Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Akan tetapi, ketiadaan Perda tidak menghilangkan hak fundamental Masyarakat Hukum Adat Ompu Umbak Siallagan terhadap wilayah adatnya sebab secara substantif telah diakui berdasarkan UUD 1945. Penetapan yang sifatnya administratif berdasarkan Perda seharusnya tidak dijadikan dasar untuk meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat.
Kedua, Majelis Hakim Kasasi perlu memahami secara utuh bahwa pengakuan secara substantif melalui UUD 1945 berarti juga mengakui bahwa Masyarakat Hukum Adat Ompu Umbak Siallagan memiliki hak atas wilayah adat yang saat ini di atasnya terdapat kawasan konsesi PT TPL. Kondisi ini seharusnya diartikan sebagai sengketa kepemilikan tanah antara Masyarakat Hukum Adat dan PT TPL. Dengan kata lain, ini adalah bentuk sengketa keperdataan.
Ketiga, Majelis Hakim Kasasi penting untuk memperhatikan pertimbangan Majelis Hakim Banding dalam menilai penyelesaian sengketa ini sebagai sengketa keperdataan mengenai status kepemilikan dan penguasaan dari objek tanah yang dikerjakan oleh Sorbatua, sehingga perkara harus diputus secara perdata, bukan merupakan tindak pidana.
Semoga amicus curiae ini dapat dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Kasasi dalam kasus Sorbatua. Kami juga berharap, penegak hukum secara umum tidak menafsirkan pengakuan terhadap masyarakat adat hanya dalam konteks administrasi ada atau tidaknya peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan. Sudah seharusnya negara serta penegak hukumnya menghormati dan melindungi hak masyarakat adat secara substantif sebagaimana dimandatkan dalam UUD 1945.
Dengan demikian, kami berharap Majelis Hakim Kasasi menolak permohonan kasasi Penuntut Umum sehingga Sorbatua Siallagan tetap dinyatakan lepas atau memeriksa kembali dan memutus bebas.
Jakarta, 27 Mei 2025
Hormat Kami
ICJR