Daniel F.M. Tangkilisan, seorang aktivis lingkungan, dikriminalisasi dengan Pasal 27 (3) dan Pasal 28 (2) UU ITE 2016 karena pernyataannya di media sosial yang mengkritik keberadaan tambak udang di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan pencemaran di Pantai Cemara, Kabupaten Jepara.
Pada 23 Januari 2024, kasus ini telah dilimpahkan oleh Polres Jepara ke Kejaksaan Negeri Jepara dan selisih sehari kemudian, dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri Jepara ke Pengadilan Negeri Jepara. Daniel pun resmi ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jepara berdasarkan surat penahanan nomor PRINT-87/M.3.32/RTN/Eku.2/01/2024. Selanjutnya, Kajari Jepara melimpahkan kasus Daniel ke Pengadilan Negeri Jepara pada 24 Januari 2023 dan menjadikan ini sebagai alasan mereka untuk menolak permohonan penangguhan penahanan Daniel.
Hari ini (30/01), kami mengirimkan surat dan berkas pendapat hukum kepada Kepala Kejaksaan Negeri Jepara terkait proses hukum terhadap Daniel dan menuntut penghentian penuntutan terhadap Daniel. Berikut ini adalah pertimbangan kami.
Pertama, APH salah menggunakan undang-undang. Kasus Daniel dimulai pada 2022 namun, penyidik dan kejaksaan sepertinya lupa untuk menggunakan No. 1 Tahun 2024 yang merupakan hasil revisi kedua dari UU ITE. Berdasarkan prinsip hukum pidana—Pasal 1 ayat (2) KUHP—bilamana terjadi perubahan dalam perundang-undangan setelah perbuatan dilakukan, ketentuan yang paling menguntungkan terdakwalah yang seharusnya diterapkan. Asas ini seharusnya digunakan oleh aparat penegak hukum dalam memproses kasus Daniel. Terlebih ketika ketentuan Pasal 27A dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang baru telah memuat unsur-unsur pidana dan limitasi pemidanaan secara lebih rinci ketimbang UU ITE 2016 yang digunakan untuk mengkriminalisasi Daniel.
Kedua, dengan UU ITE baru, Daniel tidak dapat dikriminalisasi. Pasal 27A UU ITE 2024 menegaskan bahwa perbuatan yang dilarang adalah “dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal. Dalam hal ini, komentar Daniel di media sosial bukanlah suatu tuduhan dan juga tidak bisa dibaca terlepas dari konteks keseluruhan dari postingan yang dibuatnya. Apa yang Daniel utarakan merupakan suatu kritik atas pencemaran lingkungan yang terjadi karena keberadaan tambak-tambak udang (yang mayoritas merupakan tambak ilegal) di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Selain itu, Pasal 45 ayat (4) juncto Pasal 45 ayat (7) huruf a menegaskan bahwa seseorang tidak bisa dipidana menggunakan Pasal 27A UU ITE 2024 apabila perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum. Pencemaran yang terjadi di kawasan yang seharusnya merupakan lahan konservasi dan dilindungi tentunya akan berdampak pada kehidupan masyarakat sekitarnya dan berpotensi berdampak secara lebih luas di waktu mendatang.
Selain pasal penghinaan individu, Daniel juga dijerat dengan pasal ujaran kebencian dalam UU ITE 2016 yang sarat permasalahan. Pasal tersebut juga telah direvisi dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2024 dengan penjelasan unsur-unsur yang mana informasi dan/atau dokumen elektronik yang dilarang adalah yang sifatnya “menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain” dengan tujuan “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan”. Serta secara spesifik ujaran kebencian dalam UU ITE hanya ditujukan kepada kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik. Perbuatan Daniel jelas tidak masuk dalam rumusan pasal ini.
Kami menduga, penggunaan pasal ujaran kebencian dalam UU ITE hanya agar Daniel dapat ditahan. Sementara “oknum-oknum” yang merusak lingkungan secara tidak langsung terlindungi dari kritik publik. Hal ini keliru, karena orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat seharusnya tidak dipidana atau digugat secara perdata.
Ketiga, selain menggunakan ketentuan UU ITE 2024, aparat penegak hukum juga seharusnya memerhatikan ketentuan Pasal 66 UU PPLH tentang Anti-SLAPP serta pedoman teknis seperti Pedoman Jaksa Agung No. 8 Tahun 2022, serta PERMA No. 1 Tahun 2023 yang mengatur perlindungan bagi aktivis atau pejuang lingkungan hidup dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Postingan status Facebook serta Komentar dari Daniel seharusnya tidak dilihat secara terpisah tetapi harus dimaknai secara utuh sehingga poin kritik yang disampaikan dapat dipahami secara bersama sebagai bentuk partisipasi dalam memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Penyidik dan penuntut umum dalam hal ini mengabaikan ketentuan ini karena tidak melihat posisi Daniel dan tujuan dari pernyataan yang dibuatnya melalui media sosial.
Berdasarkan uraian tersebut, kami menyerukan agar pihak Kejaksaan Negeri Jepara menghentikan penuntutan atas Daniel F. M. Tangkilisan berdasarkan prinsip Jaksa sebagai dominus litis. Penuntutan yang menyasar partisipasi publik dalam memperjuangkan lingkungan harus ditolak.
Selain itu, kami juga menyerukan kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan UU No. 1 Tahun 2024 untuk seluruh kasus-kasus ITE yang masih ada dalam proses peradilan pidana. Penting diingat bahwa perubahan rumusan dalam UU ITE diupayakan agar pihak aparat penegak hukum mengimplementasikan pasal-pasal dalam UU ITE dengan lebih berhati-hati dan sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Oleh karena itu, perubahan ini harus dibarengi dengan perbaikan implementasi oleh aparat penegak hukum. Meneruskan proses pidana Daniel sama dengan merendahkan martabat aparat yang seharusnya memahami prinsip hukum pidana.
Jakarta, 30 Januari 2024
Unduh Dokumen Pendapat Hukum di sini