ICJR Kritik Keras Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Kasus Trisakti dan Semanggi Melalui Jalur Rekonsiliasi
Jaksa Agung belum menjalankan tugas dengan baik proses pemeriksaan hasil penyelidikan Komnas HAM 2002, Pemerintah harusnya mampu membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
Pada Senin, 30 Januari 2017 Pemerintah yang diwakili Kemenko Polhukam melakukan rapat koordinasi dengan Komnas HAM, Pada intinya, pemerintah memutuskan menempuh jalur non-yudisial berupa Penyelesaian kasus Trisakti dan Semanggi melalui jalur rekonsiliasi. Pemerintah memilih jalur ini sebagai “Pilihan Politik”.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyayangkan dan mempertanyakan langkah yang diambil pemerintah ini. ICJR menilai bahwa Pemerintah tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menempuh jalur Non-yudisial tanpa adanya kejelasan proses yudisal, terlebih lagi hanya didasarkan pada alasan pilihan politik.Ini justru mengingkari janji politik Presiden Joko Widodo yang ingin menyelasaikan masalah pelanggaran berat HAM masa lalu.
ICJR menilai, berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pemerintah melalui Keputusan Presiden dapat membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Perlu untuk dipahami bahwa pada dasarnya penyelidikan Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, telah selesai diselidiki Komnas HAM sebagai penyelidik berdasarkan UU Pengadilan HAM pada Maret 2002, namun sampai saat ini, Jaksa Agung belum menjalankan amanat UU Pengadilan HAM dengan melakukan penyidikan yang layak terhadap kasus-kasus tersebut.
Hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM seharusnya cukup untuk menaikkan kasus-kasus tersebut ke proses penyidikan, belum lagi karena baik korban, saksi dan pelaku pada dasarnya masih hidup dan lebih dari cukup untuk memberikan keterangan dalam proses peradilan.
ICJR mengingatkan bahwa ketidakjelasan proses hukum terkait kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II dapat diartikan sebagai tindakan melanggengkan praktik impunitas dan mengkhianati perjuangan Hak Asasi Manusia. Lebih dari itu, ICJR menganggap bahwa tindakan Pemerintah melalui Jaksa Agung sebagai tindakan Unwilling (Tidak ada kemauan atau itikad) dimana Pemerintah melalui Jaksa Agung enggan untuk meneruskan proses peradilan pidana dalam kasus pelanggaran berat HAM padahal memiliki kemampuan untuk itu.
ICJR pada dasarnya mendukung langkah-langkah rekonsiliasi, namun tanpa adanya pengungkapan kebenaran terlebih dalam jalur yudisial dengan seluruh kemampuan yang saat ini dimiliki oleh Pemerintah, maka Pemerintah dapat dianggap lari dari tanggung jawab kemanusiaan.
Artikel Terkait
- 05/07/2020 Penuntutan dan Penjatuhan Hukuman Mati Saat Masa Pandemi Adalah Hal yang Mengerikan
- 04/06/2020 [Perkembangan Kasus] Kasus Pencurian Tiga Tandan Buah Sawit: Kritik untuk Jaksa yang Tak Kesampingkan Perkara Tindak Pidana dengan Pelaku yang Kurang Mampu
- 03/06/2020 Kasus Pencurian Tiga Tandan Buah Sawit : Melalui Asas Opportunitas, Jaksa Dapat Kesampingkan Perkara Tindak Pidana dengan Pelaku yang Kurang Mampu
- 01/06/2020 1 Juni 1945 – 1 Juni 2020: 75 Tahun Setelah Pidato Bung Karno tentang Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Indonesia Masih Pertahankan Hukuman Mati
- 12/03/2020 Alternatives to Imprisonment: Provision, Implementation, and Projection of Alternatives to Imprisonment in Indonesia
Related Articles
ICJR: Sanksi Pidana dalam RUU Sisnas IPTEK Tidak Tepat
Beberapa hari ke belakang, dalam ragam berita yang tersebar di media, terdapat penolakan kalangan akademik terhadap isi ketentuan dalam Rancangan
Sistem Kesehatan Perlu Merespons Kebaruan Pengaturan Aborsi Aman dalam Rancangan KUHP
Salah satu isu yang masuk dalam isu krusial Rancangan KUHP (RKUHP) adalah mengenai kriminalisasi aborsi. Pada 12 diskusi publik sosialisasi
ICJR Desak Amicus Curiae diakui dan diatur dalam R KUHAP
Rancangan KUHAP harus mengakomodir partisipasi masyarakat dalam bentuk Amicus Curiae demikian kata Anggara, Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice