Kedua putusan Pengadilan tersebut telah mencederai prinsip – prinsip dan asas – asas hukum pidana dan pelanggaran terhadap perlindungan atas kemerdekaan berpendapat yang dijamin dalam Konstitusi
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik putusan PN Bandung dalam kasus Wisni Yetti dan Putusan PN Yogyakarta karena kedua putusan ini sudah menyalahi prinsip – prinsip hukum pidana yang saat ini berlaku. Wisni Yetti dijatuhi hukuman penjara 5 bulan dan denda Rp. 100 juta oleh PN Bandung sementara Florence Sihombing divonis dua bulan penjara dan percobaan enam bulan beserta denda Rp10 juta oleh PN Yogyakarta
Dalam kasus Wisni Yetti, Jaksa Penuntut Umum menjerat Winsi telah melanggar Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE karena dianggap percakapan yang dilakukan melalui facebook adalah melanggar kesusilaan.
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”
ICJR mengingatkan bahwa tindak pidana kesusilaan dalam UU ITE tetap wajib dihubungkan dengan tindak pidana kesusilaan dalam KUHP. Karena “kesusilaan” dalam KUHP merujuk pada nama bab yang berisi 24 pasal yang mengatur tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Selain itu, pelanggaran kesusilaan dalam KUHP selalu harus dilakukan di muka umum atau berada dalam ruang public dan bukan berada dalam ruang privat seperti melakukan percakapan melalui fasilitas inbox di Facebook
ICJR juga mengkritik PN Bandung karena begitu saja menerima bukti print out percakapan tanpa melakukan validasi terhadap legalitas perolehan alat bukti dan juga terhadap percakapannya itu sendiri. Tanpa melakukan validasi tersebut, ICJR menganggap bahwa PN Bandung telah melanggar prinsip – prinsip pembuktian dalam KUHAP.
Dalam Kasus Florence Sihombing, Jaksa Penuntut Umum menjerat Florence dengan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan diputus bersalah oleh PN Yogyakarta karena telah melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)” (Pasal 28 ayat (2) UU ITE)
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” (Pasal 27 ayat (3) UU ITE)
ICJR menyatakan bahwa pernyataan emosional yang disampaikan oleh Florence Sihombing tidak dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena tindak pidana penghinaan hanya dapat ditujukan oleh orang pribadi dan bukan kepada kelompok. ICJR juga menyatakan bahwa pernyataan emosional tersebut bukanlah pernyataan yang ditujukan untuk menyebarkan kebencian terhadap golongan penduduk di Indonesia. Selain itu, kedua pasal ini tetap harus dihubungkan dengan ketentuan pidana dalam KUHP untuk menentukan kualitas dari pernyataan yang disampaikan oleh Florence melalui jejaring sosial tertutup “Path”.
PN Yogyakarta, dalam pandangan ICJR, juga telah menabrak prinsip hukum terkait penghinaan yang diatur berdasarkan konstruksi Bab Penghinaan dalam KUHP dan UU ITE yang hanya ditujukan pada orang pribadi dan bukan kepada kelompok orang atau bahkan daerah tertentu.
Melihat dalam kedua kasus ini, ICJR mendesak agar pemerintah secepatnya melakukan revisi terhadap UU ITE yang sudah tertunda sejak 2009. ICJR mendesak agar pemerintah dan DPR untuk mencabut ketentuan – ketentuan pidana yang merupakan duplikasi dari KUHP.