ICJR pada Kamis 27 Juli 2023 secara resmi meluncurkan hasil kajian yang berjudul “Menerapkan Standarisasi, Memperkuat Akuntabilitas dan Nilai-Nilai Ideal Profesi Advokat: Studi Kelembagaan Organisasi Advokat di Indonesia”. Peluncuran buku sekaligus acara diskusi diselenggarakan dalam bentuk seminar secara luring di Hotel Aloft Jakarta dan secara daring. Studi ini merupakan kerja sama ICJR dengan PERSADA Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan tim penyusun yang terdiri dari Fachrizal Afandi (akademisi pidana FH UB sekaligus peneliti senior ICJR) sebagai lead researcher dan tim peneliti ICJR yang terdiri dari Iftitahsari, Girlie L. A. Ginting, dan Erasmus A. T. Napitupulu.
Acara seminar menghadirkan keynote speaker Prof. Dr. Edward O. S. Hiariej, S.H., M.Hum. (Wakil Menteri Hukum dan HAM RI) serta para narasumber penanggap antara lain Wakil Ketua MPR RI dan Anggota Komisi III DPR RI Dr. H. Arsul Sani, S.H., M.Si.,Pr.M., Kepala Bagian Administrasi, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM, KemenkoPolhukam RI, Emir Ardiansyah, S.H., M.H., dan Direktur LBH Jakarta Citra Referandum, S.H., M.H. Para narasumber membahas urgensi untuk segera melakukan revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebagai upaya untuk mengatasi masalah kelembagaan organisasi advokat yang belum selesai ditindaklanjuti pembuat kebijakan pasca keluar Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004 yang menyatakan Organisasi Advokat berbentuk organ negara dalam arti luas yang mandiri (independent state organ).
Selain itu, dalam diskusi ini juga dibahas mengenai dampak-dampak yang terjadi berdasarkan kondisi faktual kelembagaan OA hari ini di mana banyak organisasi yang terus bermunculan (per Mei 2023 sebanyak 51 organisasi) menjalankan 8 (delapan) kewenangan organisasi profesi dalam UU Advokat yakni menyelenggarakan pendidikan profesi, pengujian, pengangkatan, membentuk kode etik, melakukan pengawasan, membentuk Dewan Kehormatan, membentuk Komisi Pengawas, dan memberhentikan advokat, tanpa merujuk pada satu sistem yang terstandarisasi. Salah satu dampak yang ditimbulkan yakni terkait pemenuhan kewajiban pro bono oleh setiap advokat yang kurang optimal, padahal pro bono merupakan perwujudan dari konsep ideal advokat sebagai officium nobile (profesi yang mulia). Sebagaimana ditekankan juga oleh narasumber penanggap Emir Ardiansyah bahwa, “reformasi lembaga advokat tentu saja tidak hanya untuk menjaga advokat sebagai officium nobile tetapi bagaimana menjaga advokat sebagai perilaku yang terhormat dalam memberikan jasa hukum untuk pemenuhan akses keadilan kepada para pencari keadilan”.
Beberapa dampak lainnya antara lain: belum tercapainya fungsi organisasi advokat untuk meningkatkan kualitas profesi advokat, tidak adanya jaminan kualitas advokat berada pada level kompetensi yang sama, sulitnya memastikan ketersediaan advokat yang merata di wilayah seluruh Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas (berdasarkan data berita acara sumpah sejak 2003 s/d 2022 dari 12 pengadilan tinggi seluruh Indonesia dapat terlihat komposisi advokat paling banyak terpusat di wilayah Jawa), serta negara (eksekutif, yudikatif) menerbitkan kebijakan yang berdampak pada ketidakteraturan kelembagaan organisasi advokat dan belum melaksanakan perannya secara optimal untuk fungsi pemantauan baik terhadap advokat dan organisasi advokat. Pada bagian yang lain, lemahnya akuntabilitas advokat dan organisasi advokat juga merupakan dampak yang serius dari sistem kelembagaan yang ada saat ini. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Arsul Sani bahwa “tidak boleh ada satupun organisasi yang dia merupakan regulator, sekaligus juga player (single player)”, sehingga ke depan perlu dibentuk badan khusus yang secara fungsi menjadi regulator tunggal yang hanya fokus untuk menetapkan standarisasi profesi advokat.
Berdasarkan hal tersebut studi ini menghasilkan analisis dan rekomendasi pengaturan kelembagaan organisasi advokat yang harapannya dapat memperbaiki kualitas penegakan hukum ke depan melalui penguatan peran advokat yang dapat dikerucutkan dalam beberapa isu pokok: (1) bentuk kelembagaan organisasi advokat yang perlu dikaitkan dengan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945; (2) memastikan adanya lembaga pengatur tunggal (single regulator) dalam organisasi profesi advokat; (3) standardisasi profesi advokat; (4) Kode Etik Advokat dan penegakannya; dan (5) isu-isu lain yang penting untuk menjadi bagian dari revisi UU Advokat di antaranya kewajiban pro bono serta pengelolaan data dan informasi terkait advokat. Rekomendasi dalam kajian ini akan didorong sebagai bahan rujukan untuk naskah akademik maupun draf perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang termasuk dalam daftar Prolegnas DPR RI Periode 2019-2024 sebagai RUU usulan dari DPR RI.
Silakan mengakses tautan berikut untuk membaca hasil kajian secara lengkap: https://icjr.or.id/advokat
Jakarta, 28 Juli 2023
ICJR