Pemberitaan mengenai Arif Kusnandar dengan postingan di Facebook yang provokatif dan bernada kebencian rasial terhadap warga Tionghoa telah menghiasi pemberitaan media. Dalam akun Facebook miliknya, Arif Kusnandar mengajak masyarakat untuk mengulangi tragedi pelanggaran HAM 1998, memburu masyarakat keturunan Tionghoa sampai dengan menyembelih (memotong leher). Tidak hanya itu, dirinya juga menggunakan kata ganti Cina untuk sebutan warga Tionghoa dengan sangat kasar
Dalam sebuah diskusi yang digelar Institute for Criminal Justice Reform (27/8/2015) di Jakarta, Supriyadi W. Eddyono, Direktur Eksekutif ICJR, menyatakan keprihatinan dengan masih munculnya kasus penyebaran kebencian berbasis ras ini. Menurutnya, perbuatan Arif Kusnandar telah dilarang di beberapa Undang-Undang, diantaranya adalah UU No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis (UU Anti Diskriminasi Rasial) dan Pasal 156 dan 157 KUHP. Ia menjelaskan bahwa penggunaan aturan larangan penyebaran rasa kebencian berbasis ras bukan hanya untuk melindungi etnis tertentu dari pebuatan jahat, namun juga sebagai bentuk rekayasa sosial agar pelanggaran hukum atas dasar Diskriminasi Rasial tidak lagi terjadi serta sebagai alat pencegahan kemungkinan munculnya genosida.
Supriyadi melihat lemahnya kinerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus serupa di masa lalu dan saat ini membuka potensi munculnya kasus serupa di masa depan. Dalam monitoring ICJR sejak 2013 sampai 2015 terhadap Kasus-kasus Penggunaan Tindak Pidana Diskriminasi berdasarkan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi, Etnis dan Ras dan pasal Pasal 156 dan 157 KUHP, ICJR tidak menemukan satu kasus pun yang pernah diproses sampai di pengadilan.
Dalam kurun waktu 7 tahun pasca dilahirkannya UU Penghapusan Diskriminasi RasiaI hanya ditemukan 4 kasus yang masuk penyidikan namun tidak jelas penyelesaiannya. Hanya kasus Obor Rakyat yang sampai pada rencana penuntutan walaupun berjalan sangat lambat. Ada kecenderungan bahwa aparat penegak hukum enggan untuk menyelesaikan kasus-kasus penyebar kebencian berbasis ras ini.
Di akhir diskusi, Supriyadi mendesak aparat penegak hukum untuk melakukan upaya serius terhadap kasus – kasus ini. Ia juga melihat jika aparat membiarkan kasus ini tanpa upaya penegakan hukum akan menguburkan pasal-pasal tindak pidana diskriminasi rasial dan membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia.