Menteri Dalam Negeri melalui pemberitaan beberapa media telah merespon dan berjanji akan melakukan review atau meninjau ulang atas produk hukum Qanun Jinayat Aceh oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Terkait hal tersebut, Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendorong agar Mendagri segera membekukan sementara qanun jinayat ini sambil melakukan review. Pembekuan ini penting, agar ada kepastian hukum dan tidak menimbulkan ekses yang berlebihan dalam prakteknya nanti. Ia berpendapat bahwa sebaiknya Mendagri jangan hanya melihat masalah qanun jinayat dihubungkan dengan pemberlakuan bagi warga non-Muslim di Aceh, tapi juga dari aspek lainnya.
ICJR melihat ada tiga masalah pokok atas berlakuknya qanun jinayat ini yaitu: Pertama, terkait dengan rumusan tindak pidana terutama unsure unsur tindak pidana, kedua jenis pemidanaannya yang bertolak belakang dengan sistem pemidanaan di Indonesia dan ketiga terkait dengan masalah hukum acaranya.
Terkait dengan rumusan tindak pidananya, Qanun tersebut di antaranya berisi sanksi bagi mereka yang melakukan jarimah (perbuatan yang dilarang syariat Islam dan dikenai hukuman hudud atau takzir) dan minuman keras, maisir (judi), khalwat (berdua-duaan di tempat tertutup yang bukan mahram), ikhtilath (bermesraan di ruang terbuka atau tertutup), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat membuktikan dengan menghadirkan empat saksi), liwath (hubungan seksual sesama jenis), dan musahaqah. Hampir semua konstruksi tindak pidana tersebut sudah ada padanannya dalam KUHP nasional. Yang lebih eksesif lagi tindak pidana dalam qanun ini sangat bias karena ada kriminalisasinya terhadap individu yang lebih ditujukan kepada orientasi seksualnya. Disamping itu karena karena kosentrasi tindak pidana dalam Qanun Jinayat ini terkait dengan moral maka hampir tindak pidana yang dicantumkan dalam qanun ini merupakan victimless crime, yakni tindak pidana yang tidak ada korbannya. Akibatnya dalam qanun ini dipastikan terjadi over kriminalisasi.
Terkait dengan jenis pemidanaannya, Qanun Jinayat bertolak belakang dengan sistem pemidanaan di Indonesia, terutama karena rezim hukum pemidanaan kita telah menolak secara tegas penghukuman badan (corporal punishment). Mereka yang melanggar qanun diancam dengan hukuman yang beragam, misalnya untuk Qanun Jinayat kepada pelaku diancam hukuman 10 hingga 200 kali cambuk. Ada juga hukuman denda mulai 200 hingga 2.000 gram emas murni atau 20 bulan sampai 200 bulan penjara. Dari aspek anti penyiksaan, ICJR menilai bentuk bentuk hukuman dalam qanun ini merupakan bentuk penghukuman kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat yang bertentangan dengan Konvensi Anti Penyiksaan, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan UU No. 5 Tahun 1998, juga melanggar hukum positif lainnya yang berlaku di Indonesia
Terkait dengan hukum acaranya, prosedur hukum acaranya dalam implementasi qanun juga berpotensi lebih buruk dari KUHAP. Hukum Acara yang diatur dalam Qanun juga berpotensi diskriminatif dan cenderung dalam prakteknya menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi dan bias gender. Selain itu, peraturan hukum acaranya tidak mengatur tentang bantuan hukum (pengadilan yang fair) bagi mereka yang dikenakan hukuman cambuk, termasuk hak-hak tersangka secara lebih baik.
ICJR menyerukan agar pihak Pemerintah yakni Mendagri melakukan uji publik atas aturan-aturan dalam qanun tersebut dengan mengundang para akademisi dan pakar hukum pidana termasuk hukum acara pidana di Indonesia untuk melihat secara lebih jernih muatan qanun jinayat tersebut apakah bertentangan dengan UU di Indonesia. Mendagri juga diminta agar konsisten menerapkan aturan-aturan Hak Asasi Manusia sebagai batu uji untuk melakukan review atas qanun seperti konevensi Hak sipil dan Politik, Konvensi Anti penyiksaan, konvensi anak, CEDAW dan lain lain yang telah di ratifikasi di Indonesia.