Pada 11 Juli 2017 lalu Ketua Mahkamah Agung mengesahkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang diinisiasikan oleh Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung.
ICJR sangat mengapresiasi pembentukan perma ini sebagai sebuah trobosan. Materi-materi yang diatur dalam perma ini belum pernah terakomodir dalam peraturan perundangan-undangan yang ada, khsusunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kendati PERMA ini secara lebih luas mengatur mengenai pedoman hakim dalam mengadili perkara, baik pidana maupun perdata yang melibatkan perempuan, namun keberadaannya sangat diperlukan terutama dalam peradilan pidana dan perempuan perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Pada praktiknya, sebelum lahirnya PERMA ini, terdapat inkonsistensi persepsi hakim terkait dengan proses peradilan yang melibatkan perempuan. Terdapat beberapa putusan hakim yang memberikan pertimbangan-pertimbangan yang justru menjauhkan perempuan untuk mendapatkan akses keadilan.
Sebagai contoh, dalam perkara kasus pencabulan dengan nomor perkara 1391/Pib.B/PA/2007/PN. LP, hakim justru memberikan pertimbangan yang tidak relevan dengan menjabarkan perbuatan-perbuatan korban yang dinilainya melanggar ketertiban umum, seperti riwayat seksual korban, hal ini justru membuat korban semakin sulit memperoleh keadilan.
Belum lagi permasalahan perbedaan pandangan antar hakim dalam memutus hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan dalam hal terdapat relasi kuasa. Putusan Nomor 106/Pid.Sus/2011/PN.SKH dengan Putusan Nomor 410/Pid.B/2014/PN. Bgl menujukkan ketimpangan tersebut. Dalam putusan pertama, majelis hakim melihat relasi kuasa sebagai hal yang dapat meringankan hukuman pelaku, hakim mempertimbangkan janji menikahi korban sebagai dasar peringan hukuman. Sedangkan dalam putusan kedua, relasi kuasa ditafsirkan hakim secara progresif sebagai unsur paksaan dalam tindak pidana perkosaan. Dari kedua putusan tersebut terlihat secara jelas tidak adanya pedoman yang jelas bagi hakim untuk memeriksa perkara yang berkaitan dengan adanya ketimpangan gender antara pelaku dengan korban dalam konteks ini perempuan.
Dengan cukup akomodatif, PERMA ini hadir memberikan definisi relasi kuasa itu sendiri dan memberikan pedoman bagi hakim untuk mengkaji relasi kuasa pada saat mengadili perkara yang melibatkan perempuan.
Adanya PERMA ini juga dapat dijadikan sebagai momentum yang baik bagi lahirnya putusan-putusan yang progresif dalam hal mengakomodir hak-hak korban khususnya perempuan serta mengantisipasi penafsiran rumusan-rumusan tindak pidana yang justru merugikan korban. Seperti yang diatur dalam Pasal 5 PERMA dimana hakim dilarang untuk menujukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi ataupun membenarkan terjadinya diskriminasi gender termasuk di dalamnya mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan pengalaman atau latar belakang seksual soal korban.
Pasal 6 PERMA ini juga mengatur tentang pedoman bagi hakim untuk mempertimbangkan dan menggali nilai-nilai untuk menjamin kesetaraan gender, hal ini dapat menjadi titik balik lahirnya putusan-putusan yang progresif menafsirkan rumusan yang menjamin kesetaraan gender. Yang patut diperhatikan selanjutnya adalah bagaimana tindak lanjut lahirnya PERMA ini.
ICJR mendorong perluanya sosialisasi yang komprehensif dan berkelanjutan mengenai implementasi PERMA ini, karena bagaimana pun juga penanganan perkara oleh hakim yang tidak sensitif gender jelas kerap terjadi. Jangan sampai PERMA ini hanya menjadi pedoman manis tanpa implementasi.
Hal yang penting pula untuk diperhatikan adalah bahwa perkara yang melibatkan perempuan tidak hanya melibatkan hakim dalam konteks di peradilan. Terdapat aparat penegak hukum lain misalnya kepolisian dan kejaksaan yang justru merupakan lembaga yang secara langsung dan pertama berinteraksi dengan perempuan yang berperkara.
Dalam beberapa kasus, justru kepolisian lah yang berperan menjadikan perkara yang melibatkan perempuan diproses atau tidak.
ICJR mendorong perlunya pemahaman yang sama antar lembaga dalam hal ini Aparat Penegak Hukum untuk menjamin kesetaraan gender tersebut terlaksana di setiap tahap proses penyelesaian perkara.