Aturan penyadapan dalam Rancangan KUHAP yang diajukan pemerintah memiliki banyak kelemahan mendasar. Kelemahan itu terutama karena pasal 83 dan 84 RUU KUHAP tidak merinci antara lain tentang tujuan penyadapan secara spesifik, subjek hukum yang diberi kewenangan menyadap, tata cara penyadapan, adanya ijin atasan atau hakim sebelum menyadap, pengawasan dan penggunaan hasil penyadapan.
Dalam rilis yang diterima PortalKBR, Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menyatakan daripada diatur dalam KUHAP, lebih baik soal itu diatur secara lebih ketat dalam undang-undang khusus mengenai penyadapan. Menurut Anggara, pemerintah dan DPR harus memiliki kesadaran kuat untuk melindungi hak privasi warga negara.
Meski begitu, Anggara menghargai upaya pemerintah dan DPR untuk melakukan harmonisasi pengaturan penyadapan melalui satu pintu di KUHAP. Sebab, faktanya selama ini cukup banyak instansi penegak hukum yang diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan dengan beragam mekanisme dan tata cara.
Anggara juga mengakui, penyadapan adalah salah satu alat dan mekanisme yang efektif dalam membuktikan adanya suatu kejahatan yang serius dan terorganisir. Namun demikian, selain memiliki kegunaan dalam penegakan hukum, penyadapan juga memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk melanggar hak asasi manusia. Situasi ini khususnya terjadi karena tak ada satupun ketentuan tunggal yang mengatur dengan baik mengenai tata cara penyadapan oleh penegak hukum.
Sejak pemerintah menyerahkan RUU KUHAP beserta naskah akademiknya kepada DPR Januari lalu, berbagai kalangan menilai banyak masalah yang harus diperjelas dalam rancangan itu. Bahkan sebagian sudah mendesak agar DPR tak ragu untuk membatalkan pasal-pasal yang merugikan, termasuk pasal tentang penyadapan.
Sumber: KBR68H