ICJR: Pemerintah Segera Percepat Revisi PP 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP
Nilai Ganti Rugi Harus Lebih Memadai dan Akses Korban Salah Tangkap dan Penahanan Sewenang-Wenang Harus Dipermudah
Pemerintah saat ini sedang berinisiasi melakukan perubahan terhadap PP 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, khususnya merevisi ketentuan yang mengatur bahwa Korban salah tangkap/peradilan diberi ganti rugi Rp 5 ribu dan maksimal Rp 1 juta. Ketentuan ini direvisi karena memiliki masalah dalam norma maupun penerapannya.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendukung langkah dari pemerintah ini karena ketentuan tersebut sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan nilai atau besaran ganti rugi saat ini, termasuk lemahnya akses korban salah tangkap untuk mengikuti prosedur yang disediakan.
Berdasarkan penelitian ICJR pada 2014, ditemukan bahwa masalah kerugian yang dialami oleh orang yang salah tangkap atau mengalami penahanan yang sewenang-wenang selama penyidikan dan penuntutan sangatlah besar, kerugian ini tidak hanya mencakup hilangnya kemerdekaan, namun juga kerugian finansial yang juga turut emban olejh keluarga dari orang yang ditahan.
Menurut ICJR, berdasarkan hasil penelitian, sebuah tindakan Penahanan akan menimbulkan beban biaya langsung pada tahanan dan keluarga. Rata-rata keluarga dari korban salah tangkap/penahanan sewenang-wenang, akan kehilangan pencari nafkah utama yang berakibat pada hilangnya mata pencaharian. Ditambah lagi keluarga perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk menyokong hidup tahanan dengan kisaran Rp 600.000,- hingga Rp 5.500.000,- per bulannya. Nilai tersebut, dengan Upah Minimum Regional berkisar antara Rp 2.000.000,- sampai dengan Rp 2.500.000,- cukup besar dan menjadi beban bagi banyak keluarga di Indonesia. Biaya finansial tersebut tentu saja bertambah besar sampai dengan keluarnya vonis hakim. Belum lagi buruknya mekanisme kontrol dan uji penahanan yang dimiliki aparat penegak hukum membuka peluang salah tangkap/peradilan atau proses peradilan yang dipaksakan terbuka lebar.
Oleh karena itu maka ganti rugi sebesar Rp 5 ribu dan maksimal Rp 1 juta yang diatur dalam PP 27 tahun 1983 tentu saja jauh dari kerugian yang sudah diderita, bahkan kerugian tersebut belum mencakup kerugian immateril seperti nama baik dan lain sebagainya.
Untuk itu sebagai masukan atas revisi PP 27 tahun 1983 tersebut, ICJR menekankan beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah., yaitu :
Pertama, besaran ganti rugi harus naik berkali lipat serta tidak dibatasi nilainya dan harus dihitung dengan nilai lamanya dalam tahanan. Kerugian yang dapat dihitung bisa meliputi hilangnya pekerjaan atau mata pencaharian, besarnya ongkos dari keluarga untuk membantu menyokong hidup korban selama di tahanan dan hal-hal materil lain yang timbul dikarenakan salah tangkap/peradilan atau proses hukum yang dipaksakan.
Kedua, proses, mekanisme dan prosedur dalam mengajukan ganti rugi harus dipermudah bagi pencari keadilan. Hal ini mencakup pengaturan rentang waktu pengajuan ganti sampai dengan pencairan ganti rugi harus diatur secara jelas, dengan titik tekan bahwa pencarian ganti rugi tidak boleh memakan waktu yang panjang karena berhubungan dengan kelangsungan hidup korban salah tangkap/peradilan
Ketiga, Perbaikan koordinasi Instansi. Dalam beberapa kasus, ganti rugi tidak dapat diberikan karena Polisi berargumen tidak memiliki anggaran, sedangkan Kementerian Keuangan sendiri tidak jelas posisinya dalam hal ini. ICJR menekankan bahwa persoalan koordinasi antar lembaga untuk alokasi pendanaan adalah kewajiban negara dan harus diatur dalam PP tersebut, sehingga tidak dapat dijadikan dasar penundaan atau penolakan pembayaran ganti rugi. Sederhananya, proses ganti rugi harus dipermudah
Atas argumen tersebut, ICJR mendorong adanya revisi PP 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, selain untuk menjamin terjaganya perlindungan terhadap warga negara juga sebagai tanggung jawab negara atas kelalaian aparat penegak hukumnya.
Artikel Terkait
- 23/02/2016 Pasca PP No. 92 Tahun 2015 Tentang Ganti Rugi Korban Salah Tangkap/ Peradilan Sesat, Menteri Keuangan Harus Segera Keluarkan Aturan Teknis Tentang Pembayaran Ganti Rugi
- 15/12/2015 Peraturan Pemerintah No 92 Tahun 2015 Harus Dapat Mendorong Keadilan Bagi Korban dan Profesionalitas Penegak Hukum
- 26/11/2015 Reformasi Sistem Penahanan di Indonesia : Ubah Mekanisme Uji dan Komplain yang Tidak Manusiawi
- 10/02/2015 ICJR Usulkan Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan MA tentang Hukum Acara Praperadilan
- 11/11/2019 ICJR Policy Brief: EU – Indonesia Human Rights Dialogue
Related Articles
ICJR Ingatkan Kembali Urgensi Pembahasan RKUHP, RKUHAP dan Revisi UU Narkotika
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah menetapkan 86 usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) di lingkungan pemerintah untuk masuk dalam program legislasi
ICJR : Kasus Kaesang Pangarep Tak Perlu Dilanjutkan
Memproses kasus seperti ini akan memberikan anggapan bahwa seluruh bentuk kritik dan ekspresi bisa dianggap sebagai ujaran kebencian dan perlu
Peluncuran Penelitian ICJR: Evaluasi Kerangka Hukum TPPO dan Bentuk Eksploitasi Lain Terkait: LPSK, KPPPA dan Masyarakat Sipil Beri Dukungan untuk Revisi UU Pemberantasan TPPO
Selasa, 4 Juli 2023, ICJR meluncurkan penelitian Evaluasi Kerangka Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Bentuk Eksploitasi Lain yang