Mahkamah Agung melupakan prinsip “Lex Specialis Derogat Legi Generali” dalam Pembentukan SEMA Pembatasan PK
Mengakhiri 2014, Mahkamah Agung memberikan kado tahun baru berupa pembatasan Peninjauan Kembali (PK) yang diatur melalui instrument Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Pada intinya SEMA ini memberikan instruksi terhadap seluruh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi untuk tidak menerima permohonan peninjauan kembali lebih dari satu kali kepada terpidana.
Menurut Suhadi -Ketua Tim Perumus SEMA Peninjauan Kembali- Putusan MK No 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK bertentangan dengan konstitusi adalah cacat hukum karena masih ada aturan yang membatasi pengajuan PK yaitu Pasal 24 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Kedua peraturan ini menurut Suhadi tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
Pasal 24 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Pasal 66 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
|
Salah satu penyebab utama keluarnya SEMA ini adalah permintaan dari Jaksa Agung yang meminta agar Mahkamah Agung segera menerbitkan Perma untuk mengatur permohonan peninjauan kembali terhadap terpidana mati. Peraturan ini diperlukan karena Jaksa Agung Prasetyo menunda eksekusi mati terhadap dua terpidana narkoba, Agus Hadi dan Pujo Lestari, dikarenakan kedua terpidana itu mengajukan peninjauan kembali yang kedua kalinya setelah grasinya ditolak.
Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) berpendapat pengaturan pembatasan PK melalui SEMA tidak tepat, karena setiap pembatasan terhadap hak asasi haruslah dilakukan dengan Undang – Undang sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J UUD 1945. Anggara, Ketua Badan Pengurus ICJR, juga menyatakan bahwa Mahkamah Agung telah melupakan prinsip “Lex Specialis Derogat Legi Generali” dalam Pembentukan SEMA Pembatasan PK. Ia mengatakan kedua aturan Undang Undang yang menjadi sandaran pembentukan SEMA yaitu Pasal 24 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tersebut mengatur Peninjauan Kembali dalam semua perkara (Perdata, TUN, Agama), namun khusus untuk perkara pidana pengaturan PK sudah diatur secara khusus dalam KUHAP. “Mahkamah Agung semestinya berhati – hati menerobos prinsip hukum yang sudah lama dianut dalam Negara – Negara hukum modern. Dengan melanggar prinsip ini maka Mahkamah Agung telah mengingkari prinsip Negara hukum yang dianut dalam UUD 1945” kata Anggara.
Anggara juga menjelaskan bahwa meski ICJR tetap menolak hukuman mati, namun pidana hukuman mati masih dianggap sesuai dengan konstitusi menurut Putusan MK. Oleh karena itu, pengajuan PK oleh terpidana pada dasarnya tidak dapat menghalangi eksekusi terhadap terpidana yang telah dijatuhi hukuman mati. Ia juga mengingatkan, bahwa berdasarkan KUHAP meskipun terpidana sudah menjalani hukuman mati, PK masih bisa diajukan oleh ahli waris dari terpidana. Oleh karena itu, ia mengaku heran dengan kebijakan para pimpinan MA yang mengikuti kemauan dari Jaksa Agung beserta Presiden untuk menerbitkan SEMA tersebut dengan melanggar beragam prinsip – prinsip hukum yang berlaku umum di Negara – Negara hukum modern.
Ia juga mengingatkan, kalau Jaksa Agung enggan mengeksekusi terpidana mati karena masalah pengajuan PK, mestinya Jaksa Agung juga tidak menuntut terdakwa dengan tuntutan hukuman mati.
Ia mengingatkan di tengah buruknya sistem peradilan pidana Indonesia saat ini, pemberlakukan tuntutan hukuman mati harus diterapkan dengan hati – hati dan sangat ketat. Tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana mati harus dijamin dan dilindungi dengan sangat ketat hak – haknya agar proses “peradilan sesat” dapat diminamilisir.