Selama ini Polisi paling diuntungkan dengan sistem Praperadilan yang Lemah
Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) berencana akan mengajukan permohonan praperadilan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penetapan status tersangka Komjen Pol Budi Gunawan (BG) atas kasus gratifikasi. Polri kali ini akan memainkan peran sebagai pihak yang merasa dirugikan, dan Praperadilan akan memainkan perannya sebagai lembaga uji kewenangan Penyidik, dalam hal ini KPK, guna melindungi hak dari tersangka.
Terkait rencana Polri mengajukan Permohonan Praparadilan, ada beberapa catatan dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) untuk dipelajari oleh Polri. Pertama, Praperadilan di Indonesia secara yuridis tidak memberikan ruang pengujian bagi penetapan tersangka. Kedua, Praperadilan di Indonesia bahkan selama ini tidak dapat menguji sah atau tidaknya bukti permulaan yang menjadi dasar ditetapkannya seseorang menjadi tersangka. Ketiga, sistem di Praperadilan membebankan pembuktian pada pemohon, yaitu Polri, padahal, seluruh dokumen dan alasan penggunaan kewenangan berada ditangan termohon, yaitu KPK, dengan sistem ini Polri dipastikan akan kesulitan dan tidak mampu melakukan pembuktian bahwa telah terjadi kesalahan dalam proses penyidikan Komjen Budi Gunawan.
Masalah lainnya bahwa dalam praktik Praperadilan di Indonesia, banyak hakim yang pada umumnya memandang bahwa pengujian kewenangan adalah diskresi dari pejabat yang berwenang, bahkan seringkali Pengadilan menolak untuk menguji kewenangan penyidik, dalam hal ini tentu saja nantinya kewenangan dari KPK, dengan kata lain pengujian materi dalam praperadilan hanya terbatas pada proses prosedur administrasi belaka.
Bagi ICJR ini adalah momentum yang tepat, agar Polri dapat melihat sendiri permasalahan Praperadilan Indonesia di lapangan, tentu saja dari kaca mata pemohon. Dengan begitu ICJR berharap bahwa Polri sendiri akan mendukung reformasi Praperadilan agar lebih efektif, karena selama ini mekanisme praperadilan gagal melakukan pengawasan horizontal atas upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum. ICJR juga mendorong agar Polri juga mendukung upaya pemerintah dan DPR untuk melakukan perubahan besar dalam hukum acara pidana di Indonesia (Rancangan KUHAP) terkait mekanisme uji dan kontrol secara horizontal terhadap kewenangan besar yang dimiliki penyidik dan Penuntut Umum. Selama ini, Polri diketahui, telah menolak untuk mendorong proses mendorong perubahan KUHAP dengan alasan memperlemah kewenangan yang telah dimiliki selama ini.