Ketua Badan Pengurus Lembaga Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahyu, Kamis (21/3/2013), menyatakan pengaturan penyadapan dalam Rancangan KUHAP masih kontroversi.
Dalam Pasal 83 dan 84 rancangan tersebut mengatur ihwal penyadapan yang dibolehkan dan tata caranya. Namun, ICJR menilai pengaturan tersebut belum memadai. Selain itu masih memiliki sejumlah kelemahan.
Sejumlah kelemahan muncul, kata Anggara, karena ketentuan tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai beberapa hal berikut di bawah ini.
Pertama, tentang wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan. Kedua, tujuan penyadapan secara spesifik. Ketiga, kategori subjek hukum yang diberi wewenang menyadap. Keempat, adanya izin dari atasan, atau izin hakim sebelum menyadap.
Kemudian kelima, tata cara penyadapan. Keenam pengawasan terhadap penyadapan. Dan ketujuh, penggunaan hasil penyadapan.
Di samping kelemahan-kelemahan tersebut di atas, kata Anggara, jika Rancangan KUHAP hendak serius mengatur tindak penyadapan, maka juga harus mengatur penggunaan materi hasil penyadapan yang mencakup beberapa ketentuan.
Ketentuan yang dimaksud ialah, pertama, adanya pembatasan orang yang dapat mengakses penyadapan dan jangka waktu penyimpanan hasil penyadapan. Kedua, prosedur penyadapan.
Kemudian, ketiga, mengatur mengenai materi penyadapan yang relevan.
“Selanjutnya ketentuan keempat ialah prosedur menjadikan materi penyadapan sebagai alat bukti di pengadilan dan kelima, menghancurkan hasil penyadapan yang sudah tidak relevan demi kepentingan umum dan hak privasi warga negara,” katanya.
Sumber: Wartakota